Latuharhary – Saat menyusun suatu kebijakan, Pemerintah tentu memiliki fokus tersendiri terhadap hal-hal yang dianggap penting dalam pembangunan, namun ada masalah lain ketika Pemerintah dianggap masih abai terhadap isu-isu HAM, terutama bagi Pembela HAM, buruh, dan masyarakat sipil. Topik tersebut kemudian, menjadi bahan diskusi hangat yang diselenggarakan oleh Yayasan Pusaka, “Kebijakan Pencegahan & Resiko Pelanggaran HAM terhadap Aktivis Pembela HAM, Lingkungan dan Buruh”melalui platform Zoom, Rabu, (20/05).
Hadir sebagai narasumber pada diskusi tersebut, Beka Ulung Hapsara Komisioner Pendidikan dan Penyuluhan Komnas HAM; Doli Kuum, Pembela HAM Lingkungan Timika; Emelia Yanti, Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI), dan Sekar Banjaran Aji, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM).
Doli Kuun, sebagai narasumber pertama, dalam paparannya menggambarkan bagaimana kebijakan Pemerintah Daerah (Pemda) Timika sebagai respon pencegahan adanya pandemi. Kebijakan yang diterapkan Pemda setempat justru semakin banyak menimbulkan permasalahan dan berpotensi melanggar HAM.
“Kebijakan Pemda, dalam melihat kasus hari ini, justru semakin banyak menimbulkan permasalahan. Ada peningkatan kriminalisasi terhadap aktivis HAM di Timika, Papua. Hal ini kemudian, memperkecil ruang gerak para aktivis untuk beraktivitas, berdiskusi, dan membahas persoalan-persoalan yang timbul dari kebijakan pemerintah yang ada”, papar Doli.
Doli kemudian mengisahkan bagaimana potensi pelanggaran HAM itu dapat terjadi terhadap aktivis HAM maupun masyarakat sipil di Timika.
“Persoalan ini mulai dari penangkapan, pemenjaraan, pembungkaman ruang gerak aktivis, penembakan mati masyarakat sipil, hingga stigma yang diberikan sebagai bagian dari anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM)”, kisahnya.
“Persoalan ini mulai dari penangkapan, pemenjaraan, pembungkaman ruang gerak aktivis, penembakan mati masyarakat sipil, hingga stigma yang diberikan sebagai bagian dari anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM)”, kisahnya.
Tidak jauh berbeda kondisinya dengan permasalahan yang dijelaskan oleh narasumber sebelumnya, Sekar memaparkan bagaimana faktor kebijakan lebih pro modal dan meminggirkan HAM. Bahkan pendekatan keamanan lebih pada militeristik sebagai faktor yang melatarbelakangi kecenderungan tindakan yang terjadi terhadap Pembela HAM.
“Sejak masa kampanye presiden 2019, Presiden Jokowi telah menunjukkan sinyal akan mempertahankan visi pembangunan dan ekonomi yang terbangun pada periode sebelumnya. Ada juga pernyataan terbuka pemerintah bahwa isu HAM bukanlah prioritas, kemudian nasionalisme sebagai dalih melakukan tindakan militeristik, terutama di Papua, dan pengangkatan Doni Monardo sebagai kepala BNPB”, papar Sekar.
Beberapa faktor tersebut yang kemudian dinilai oleh Sekar menimbulkan sejumlah kecenderungan baru. “ada kecenderungan baru dimana penyerangan terhadap aktivis menjadi lebih brutal hingga kepada percobaan pembunuhan, kriminalisasi dengan penggunaan Undang-undang Informasi dan Transaksi (ITE), serta keterlibatan atau pelibatan serikat pekerja dan masyarakat adat dalam penyerangan terhadap Pembela HAM atas lingkungan”, ungkap Sekar.
Senada dengan dua narasumber sebelumnya, Yanti juga melihat adanya peningkatan potensi pelanggaran HAM terhadap buruh, terutama jika melihat sebelum dan sesudah adanya pandemi di Indonesia. Dalam situasi normal, menurut Yanti, persoalan kebijakan pemerintah terkait buruh memang sudah ada dan semakin meningkat di situasi pandemi ini. Pemerintah dan korporasi justru menjadikan Covid sebagai alasan.
“Situasi Covid saat ini membuat fenomena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terjadi tanpa negosiasi dengan Serikat Buruh. Arogansi perusahaan semakin menjadi. Selain itu, situasi Covid juga membuka jalan bagi perusahaan untuk merelokasi upah buruh menjadi lebih rendah. Kekerasan verbal juga semakin meningkat karena adanya kekhawatiran yang tinggi dari para buruh akan di-PHK, maka mereka berpandangan selama masih bisa bekerja, apapun perintah atasan akan dituruti”, jelas Yanti.
Lebih lanjut, Yanti menambahkan dari sisi pemerintah pun tidak ada kontrol ataupun monitoring terhadap kebijakan-kebijakan yang ada.
“Pemerintah misalnya, di masa pandemi ini, memberikan peringatan dan himbauan untuk menggunakan masker dan mencuci tangan, namun masih banyak perusahaan yang abai terhadap Alat Pelindung Diri (APD) ini, tools nya tidak disediakan di pabrik”, lanjut Yanti.
Beka Ulung Hapsara, sebagai narasumber terakhir menjelaskan bahwa Komnas HAM telah mengeluarkan 18 rekomendasinya terkait tata kelola penanganan Covid di Indonesia, salah satunya terkait perlindungan buruh dan pekerja.
“Buruh dan pekerja menjadi salah satu fokus karena banyak sekali kasus-kasus buruh yang kemudian di-PHK secara sepihak, diminta untuk resign, pembayaran upah tidak dibayarkan dan lain sebagainya. Ini juga sebenarnya sudah diantisipasi Komnas HAM dan disampaikan kepada Presiden agar menaruh perhatian khusus kepada kawan-kawan buruh terlebih dahulu, bukan pengusaha. Kementerian Tenaga Kerja pun juga harus memiliki solusi praktis untuk menghadapi situasi saat ini,”, jelas Beka.
Komnas HAM lanjut Beka, terkait rekomendasi yang telah diberikan kepada Presiden, telah melakukan pemantauan di setiap minggu.
“Setelah dilakukan pemantauan, secara umum, kami menilai penanganan terhadap Covid-19 ini berantakan, tidak terkoordinasi dan terkonsolidasikan dengan baik, kementerian dan lembaganya tidak melakukan komunikasi satu sama lain, sehingga adanya tumpang tindih peraturan yang berdampak membingungkan masyarakat”, lanjut Beka.
Sebagai bahan penutup, Beka mengungkapkan terkait pentingnya solidaritas dari semua elemen masyarakat dalam penyelesaian pelanggaran HAM saat ini di Indonesia.
“Tentu saja penyelesaian pelanggaran dan penegakan HAM memerlukan komitmen dan kemauan politik yang kuat. Bukannya hanya dari pemerintah atau dari negara yang memang sudah seharusnya bertanggung jawab, tetapi, juga dari semua elemen masyarakat agar terus mendorong isu-isu HAM menjadi lebih tegak dan maju,” pungkas Beka. (Niken/Ibn/RPS)
Short link