Latuharhary – Analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) tidak dapat dipisahkan dengan lingkungan hidup yang sehat yang merupakan hak asasi manusia (HAM). Namun, dalam RUU Cipta Kerja, AMDAL menjadi salah satu aspek yang dilemahkan fungsinya. Dibutuhkan penelaahan lebih mendalam terkait substansinya agar tidak berpotensi pelanggaran HAM.
Demikian disampaikan Komisioner Pengkajian dan Penelitian, Mohammad Choirul Anam, saat membuka Forum Group Discussion (FGD) online Tim Kajian Omnibus Law Komnas HAM, Senin (18/05/20). “FGD ini merupakan diskusi internal yang bertujuan untuk memperdalam substansi dari RUU Cipta Kerja terkait hak asasi manusia dan salah satunya adalah hak atas lingkungan hidup yang merupakan hak dasar manusia”, buka Anam.
AMDAL berpengaruh pada kualitas lingkungan hidup, maka dibutuhkan pengawalan Pemerintah dan masyarakat agar AMDAL tidak hanya dijadikan selembar persyaratan dalam mendirikan suatu usaha. Hal ini disampaikan oleh salah satu narasumber, Raynaldo Sembiring, Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law (ICEL). “AMDAL adalah syarat untuk mendapatkan ijin lingkungan yang digunakan untuk mengajukan ijin usaha. Namun realitanya justru terbalik, usaha berjalan terlebih dahulu dengan mengesampingkan ijin-ijin tersebut”.
Raynaldo menjelaskan jika tim penilai AMDAL dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup adalah komite yang terdiri dari berbagai pihak seperti masyarakat, pemerhati lingkungan hidup, pakar usaha, dan pihak lainnya. Hal ini menunjukan Undang-Undang Lingkungan Hidup membuka ruang partisipasi yang luas, sehingga jika ada penyalahgunaan AMDAL dan dianggap berakibat buruk pada lingkungan maka pihak-pihak tersebut dapat melakukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Berbeda dengan RUU Cipta Kerja yang dimana partisipasi publik ditekan. Penilaian AMDAL dilakukan oleh Pemerintah dan dapat menunjuk pihak swasta. Apabila penilaian sepenting ini diserahkan ke pihak swasta, dikhawatirkan hanya akan memuluskan jalan para pelaku usaha tanpa memperdulikan lingkungan hidup.
“Dikhawatirkan akan ada kelonggaran dalam meloloskan AMDAL dan ini berpotensi mal-administrasi, padahal AMDAL berpengaruh pada kualitas lingkungan hidup”, ungkap Raynaldo yang akrab disapa Dodo.
Demikian disampaikan Komisioner Pengkajian dan Penelitian, Mohammad Choirul Anam, saat membuka Forum Group Discussion (FGD) online Tim Kajian Omnibus Law Komnas HAM, Senin (18/05/20). “FGD ini merupakan diskusi internal yang bertujuan untuk memperdalam substansi dari RUU Cipta Kerja terkait hak asasi manusia dan salah satunya adalah hak atas lingkungan hidup yang merupakan hak dasar manusia”, buka Anam.
AMDAL berpengaruh pada kualitas lingkungan hidup, maka dibutuhkan pengawalan Pemerintah dan masyarakat agar AMDAL tidak hanya dijadikan selembar persyaratan dalam mendirikan suatu usaha. Hal ini disampaikan oleh salah satu narasumber, Raynaldo Sembiring, Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law (ICEL). “AMDAL adalah syarat untuk mendapatkan ijin lingkungan yang digunakan untuk mengajukan ijin usaha. Namun realitanya justru terbalik, usaha berjalan terlebih dahulu dengan mengesampingkan ijin-ijin tersebut”.
Raynaldo menjelaskan jika tim penilai AMDAL dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup adalah komite yang terdiri dari berbagai pihak seperti masyarakat, pemerhati lingkungan hidup, pakar usaha, dan pihak lainnya. Hal ini menunjukan Undang-Undang Lingkungan Hidup membuka ruang partisipasi yang luas, sehingga jika ada penyalahgunaan AMDAL dan dianggap berakibat buruk pada lingkungan maka pihak-pihak tersebut dapat melakukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Berbeda dengan RUU Cipta Kerja yang dimana partisipasi publik ditekan. Penilaian AMDAL dilakukan oleh Pemerintah dan dapat menunjuk pihak swasta. Apabila penilaian sepenting ini diserahkan ke pihak swasta, dikhawatirkan hanya akan memuluskan jalan para pelaku usaha tanpa memperdulikan lingkungan hidup.
“Dikhawatirkan akan ada kelonggaran dalam meloloskan AMDAL dan ini berpotensi mal-administrasi, padahal AMDAL berpengaruh pada kualitas lingkungan hidup”, ungkap Raynaldo yang akrab disapa Dodo.
Lebih lanjut Dodo menjelaskan perbedaan perspektif terkait masyarakat pada Undang-Undang Lingkungan Hidup dengan RUU Cipta Kerja. Dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup masyarakat yang dimaksud adalah orang-orang yang terkena dampak, pemerhati lingkungan dan semua yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses AMDAL. Sedangkan pada RUU Cipta Kerja masayarakat hanyalah orang yang terdampak langsung. “Padahal dampak lingkungan tidak hanya timbul pada saat pengajuan AMDAL, tetapi dapat timbul dalam jangka waktu yang panjang hingga bertahun-tahun”, sesal Dodo.
Dalam RUU Cipta Kerja kriteria-kriteria usaha atau kegiatan wajib AMDAL juga dikurangi dari 9 kriteria (dalam UU Lingkungan Hidup) menjadi 3 kriteria umum. Hal ini justru memudahkan pelaku usaha untuk mendirikan usaha karena semakin sedikit administrasi yang diperlukan. “Alasannya agar dapat mengikuti dinamika usaha berbasis resiko, namun penghapusan ini berpotensi melemahkan substansi AMDAL”, lanjutnya.
AMDAL harus menjadi perhatian khusus kita semua demi lingkungan hidup yang sehat. “Dampak dari hasil buangan limbah seperti pencemaran air, tanah, polusi udara, pembangunan yang timpang dan sebagainya merupakan dampak subjektif yang berpotensi menimbulkan pelangggaran HAM dan konflik di masyarakat”, terang Dodo.
Pada kesempatan ini Anam menekankan jika tata kelola soal hukum, termasuk Omnibus Law dengan berbagai temanya, tidak boleh melanggar prinsip-prinsip HAM. “Apa pun kebijakan Negara, bermuaranya pada penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM untuk semua tanpa diskriminasi”, tekan Anam.
Menurutnya, Komnas HAM telah memiliki catatan awal terkait hak atas lingkungan dalam konteks Omnibus Law RUU Cipta Kerja, namun perlu pendalaman sebelum Komnas HAM mempublikasikan hasil pengkajian dan penelitiannya. “Maka dari itu, Komnas HAM melalui siaran pers pada 08 April 2020 telah menyatakan permintaannya kepada DPR dan Presiden untuk menunda pembahasan RUU Cipta Kerja dengan pertimbangan proses dan momentum yang tidak tepat karena sedang pandemi Covid-19, serta substansi yang berpotensi melanggar HAM”, pungkas Anam. (Ratih/Ibn/RPS)
Short link