Kabar latuharhary – Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM, M. Choirul Anam menjadi pemateri dalam kuliah tamu secara daring, dengan tema “Hukum HAM dalam Hubungan International” yang diselenggarakan oleh Laboratoriun Hubungan Internasional Universitas Brawijaya, pada Kamis (14/5/2020).
Salah satu materi yang disampaikan M. Choirul Anam pada kesempatan kali ini ialah mengenai sejarah HAM, dimulai dengan didirikannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Deklarasi yang dikenal sebagai DUHAM tersebut, lahir karena adanya kejahatan kekerasan dan diskriminasi ras.
“Kesepahaman pertama soal meletakkan hubungan dan bagaimana kita membangun dunia agar manusia dianggap setara, tidak boleh dibeda-bedakan dalam bentuk ras atau apapun. Pada 1957 lahir Konvensi Anti Diskriminasi Ras dan Etnis, jauh sebelum dunia bicara Konvensi Hak Sipil Politik, dan Konvensi Ekonomi, Sosial dan Budaya,” ucap M. Choirul Anam.
Selanjutnya, M. Choirul Anam menjelaskan dalam fase pertama sejarah hak asasi manusia, terdapat beberapa catatan besar terkait HAM dalam hubungan internasional dan hubungan antar negara, beberapa di antaranya ialah terkait dengan persoalan agama, kebudayaan, konteks perempuan. hingga melahirkan Deklarasi Kairo, Deklarasi ini dengan tujuan untuk mengelola Konvensi Hak Sipil dan Politik.
“Di dalam Konvensi Hak Sipil dan Politik atau instrumen HAM lainnya, perempuan harus diperlakukan setara. Penolakan pada waktu itu adalah dengan dalih bahwa tidak selamanya perempuan itu harus setara. Karena masih ada kebudayaan di masing-masing negara yang meletakkan perempuan tidak setara. Maka, mereka yang menolak ICCPR salah satunya melahirkan Deklarasi Kairo. Nah itu background-nya adalah agama dan kebudayaan serta konteks perempuan”.
“Background agama lainnya ialah soal keluar dari agama, khususnya keluar dari agama Islam. Beberapa negara menegaskan bahwa orang yang keluar dari agama Islam akan dihukum dan ditindak pidana karena itu menjadi satu nilai dasar negara tersebut. Hal lain yang tak kalah pentingnya adalah terkait hukuman mati. Untuk sebagian negara yang mendasarkan pada agama, politik hukumnya masih menerapkan hukuman mati. Karena hukuman mati itu mengekspresikan nilai keagamaannya, atau sebagian negara menilai hukuman mati sebagai perwujudan dari nilai keadilan dan semangat untuk penjeraan, hal ini tidak sesuai dengan ICCPR yang semangatnya menghapus hukuman mati,” sambungnya.
Fase berikutnya adalah tentang relasi hubungan hak asasi manusia dalam berbagai diskusi, yang satu diskusi dengan diskusi lainnya berpendapat bahwa instrumen ini hanya menguntungkan satu pihak tertentu, dan hanya dipakai sebagai instrumen politik tertentu. Oleh karena itu, harus ada aturan atau instrumen yang dianggap sesuai dengan kebutuhan bersama. Kemudian M. Choirul Anam menegaskan pula bahwa fase kedua ini terkait persoalan pengaturan ekonomi, pembangunan dan lain sebagainya yang jauh lebih rumit dibandingkan persoalan di fase pertama. Oleh karenanya, hal ini yang membuat tata kelola hubungan antar negara, menjadi saling terikat.
“Ada pertimbangan soal bagaimana memperlakukan perdagangan, pertumbuhan ekonomi, instrumen soal tata kelola pembangunan yang adil dan merata, serta tata kelola lingkungan, karena lingkungan tidak hanya dimiliki di mana lingkungan itu ada, seperti kita punya Kalimantan tapi yang menguasai kan bukan hanya Indonesia namun perusahaan Internasional,” Ujarnya.
Perlu disampaikan, bahwa kuliah tamu diikuti oleh kurang lebih 100 peserta yang di antaranya merupakan mahasiswa Universitas Brawijaya. Dalam sesi tanya jawab, salah satu pertanyaan dari peserta ialah terkait status kewaganegaraan dari anak –anak Indonesia yang ikut serta dalam organisasi ISIS.
“Saya ingin menanyakan kasus pemulangan anak-anak WNI eks ISIS, terkait dengan status kewarganegaraan yang secara otomatis hilang dan tidak lagi menjadi tanggung jawab negara. Saya ingin meminta penjelasan apakah mereka masih bisa dipulangkan kembali ke Indonesia? Karena yang saya ketahui, bergabungnya anak-anak dengan ISIS sebagian besar bukan atas kemauan sendiri, melainkan mengikuti orang tua saja,” Ucap Maria Syalomita
Menanggapi pertanyaan tersebut, M. Choirul Anam menegaskan bahwa tidak ada satu pun instrumen hukum yang dimiliki oleh Indonesia yang dengan tegas mengatakan bahwa seorang warga negara dapat secara otomatis kehilangan kewarganegaraannya karena begabung dengan organisasi asing. Selain itu, Komnas HAM juga meminta kepada Pemerintah Indonesia untuk memperlakukannya sebagai warga negara.
“Apabila ada perdebatan bahwa mereka menjadi anggota militer dari negara lain, pertama adalah ISIS itu bukan negara, ISIS adalah organisasi. Hal berikutnya ketika berbicara mengenai militer, pertanyaannya ISIS itu militer atau kombatan? Apakah yang disebut militer itu organisasi atau prilaku? Kalau prilaku, yang sebut saja kombatan bukan militer. Kalau prosedur dalam PP soal tentang kehilangan kewarganegaraan, sangat ketat, sampai harus ada Keputusan Presiden. Komnas HAM juga meminta kepada Pemerintah Indonesia untuk memperlakukan mereka sebagai warga negara, jemputlah mereka. Jauh lebih aman dari pada dibiarkan di Suriah. Kalau mereka dijemput, dan dikategorisasi mana yang memang penjahat terorisme dan diadili secara hukum, mereka akan jauh bisa terkontrol,” jawabnya. (Radhia/LY)
Short link