Latuharhary – Kepala Bagian Dukungan Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM, Mimin Dwi Hartono, menjadi salah satu pemantik diskusi yang diadakan secara online oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Kesehatan (BEM FIKES) 2020 Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta (UPNVJ) via aplikasi Zoom, pada Sabtu (09/05/20).
Diskusi online ini berlangsung selama dua setengah jam dengan mengangkat tema “Herd Immunity dalam Penanganan Covid-19” yang dimoderatori oleh Fathinah Ranggauni yang merupakan dosen FIKES UPNVJ. Selain Mimin, turut hadir Dr. Joko Mulyanto, M.Sc, Ph.D., seorang epidemiologist sekaligus dosen Universitas Jenderal Soedirman.
Diskusi online ini berlangsung selama dua setengah jam dengan mengangkat tema “Herd Immunity dalam Penanganan Covid-19” yang dimoderatori oleh Fathinah Ranggauni yang merupakan dosen FIKES UPNVJ. Selain Mimin, turut hadir Dr. Joko Mulyanto, M.Sc, Ph.D., seorang epidemiologist sekaligus dosen Universitas Jenderal Soedirman.
Seperti yang kita ketahui, Indonesia selama dua bulan terakhir dilanda virus Covid-19 yang tidak hanya mempengaruhi sektor kesehatan saja tetapi juga berdampak pada sektor ekonomi, sosial, budaya dan politik. Tentu saja Pemerintah pusat maupun daerah tidak tinggal diam. Berbagai kebijakan telah pemerintah terapkan sebagai upaya untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19 yang korbannya semakin hari semakin meningkat jumlahnya.
Namun, dalam penerapannya kebijakan-kebijakan tersebut menimbulkan beberapa kontroversi karena adanya kerancuan di masyarakat, seperti misalnya mudik dilarang namun pulang kampung diperbolehkan, kemudian sejumlah daerah menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) namun pemerintah membolehkan warganya yang berusia kurang dari 45 tahun untuk dapat beraktivitas kembali. Tidak hanya itu, statement “berdamai dengan Corona” pun menjadi perhatian publik yang menyebabkan banyak interpretasi.
Joko berpendapat jika salah satu penyebab adanya kerancuan dalam kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah adalah akibat adanya ego sektoral. “Ego sektoral dari Kementerian itu masih berjalan, sehingga terjadi banyak kebijakan yang mungkin membingungkan”, ungkapnya.
Lebih lanjut, menurut Joko perlu adanya kejelasan informasi dari Pemerintah apabila Pemerintah mengambil suatu kebijakan tertentu.“Atas dasar apa dan apa saja indikator-indikator Pemerintah dalam memberikan suatu kebijakan, itu harus dibuka ke publik dengan transparan sehingga tidak menimbulkan spekulasi-spekulasi liar di masyarakat”, jelas Joko.
Senada dengan Joko, Mimin menyampaikan bahwa yang terpenting adalah bagaimana informasi terkait Covid-19 tersampaikan ke masyarakat dan dikaji secara mendalam, namun jangan menimbulkan kegaduhan di masyarakat. Menurutnya, persoalan saat ini yang perlu diperhatikan serta dikritisi adalah ketidaksinkronan kebijakan-kebijakan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah. Pemerintah Daerah menerapkan kebijakan PSBB namun Pemerintah Pusat justru memberikan kelonggaran PSBB yang mana kebijakan ini justru menghambat upaya-upaya untuk meminimalisir dampak dari Covid-19.
Namun, dalam penerapannya kebijakan-kebijakan tersebut menimbulkan beberapa kontroversi karena adanya kerancuan di masyarakat, seperti misalnya mudik dilarang namun pulang kampung diperbolehkan, kemudian sejumlah daerah menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) namun pemerintah membolehkan warganya yang berusia kurang dari 45 tahun untuk dapat beraktivitas kembali. Tidak hanya itu, statement “berdamai dengan Corona” pun menjadi perhatian publik yang menyebabkan banyak interpretasi.
Joko berpendapat jika salah satu penyebab adanya kerancuan dalam kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah adalah akibat adanya ego sektoral. “Ego sektoral dari Kementerian itu masih berjalan, sehingga terjadi banyak kebijakan yang mungkin membingungkan”, ungkapnya.
Lebih lanjut, menurut Joko perlu adanya kejelasan informasi dari Pemerintah apabila Pemerintah mengambil suatu kebijakan tertentu.“Atas dasar apa dan apa saja indikator-indikator Pemerintah dalam memberikan suatu kebijakan, itu harus dibuka ke publik dengan transparan sehingga tidak menimbulkan spekulasi-spekulasi liar di masyarakat”, jelas Joko.
Senada dengan Joko, Mimin menyampaikan bahwa yang terpenting adalah bagaimana informasi terkait Covid-19 tersampaikan ke masyarakat dan dikaji secara mendalam, namun jangan menimbulkan kegaduhan di masyarakat. Menurutnya, persoalan saat ini yang perlu diperhatikan serta dikritisi adalah ketidaksinkronan kebijakan-kebijakan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah. Pemerintah Daerah menerapkan kebijakan PSBB namun Pemerintah Pusat justru memberikan kelonggaran PSBB yang mana kebijakan ini justru menghambat upaya-upaya untuk meminimalisir dampak dari Covid-19.
“Padahal di satu sisi masyarakat sudah patuh dan berusaha untuk melakukan social distancing dengan bekerja, belajar dan beribadah di rumah seperti hasil survei yang telah dilakukan Komnas HAM”, terang Mimin.
Pada kesempatan ini Mimin memberikan sekilas hasil atas survei kepatuhan masyarakat untuk beribadah di rumah selama bulan Ramadhan 1441 H untuk menanggulangi Covid-19. Laporan hasil survei ini sudah Komnas HAM luncurkan pada Jumat (08/05/20) via aplikasi Zoom yang dimana 94,5% responden patuh melaksanakan kebijakan Pemerintah tersebut.
“Sehingga saya kira diperlukan leadership dari Pemerintah, jangan sampai masyarakat sudah berkorban untuk melaksanakan social distancing dengan cara tidak mudik dan tidak keluar rumah sehingga berkurang penghasilannya, tetapi di sisi lain Pemerintah justru menerbitkan atau mengubah-ubah kebijakan yang membuat masyarakat bingung baik di pusat maupun daerah, sehingga perlu adanya perbaikan, salah satunya adalah dengan menerbitkan peraturan Pemerintah pengganti undang-undang (perppu) terkait dengan penanggulangan kesehatan disaat pandemi Covid-19.
Hal ini pun telah dinyatakan oleh Komnas HAM beberapa waktu lalu karena Komnas HAM melihat landasan hukum yang saat ini digunakan yaituUndang-Undang tentang Kekarantinaan Kesehatan tidak cukup memadai untuk mengatur atau melakukan langkah-langkah strategis dalam menanggulangi Covid-19 yang multi sektoral.
“Perlu adanya perbaikan kebijakan untuk kedepannya sehingga target dari pemerintah untuk melandaikan penyebaran virus Covid-19 di bulan Juni bisa tercapai”, tukas Mimin. (Ratih/MDH/Ibn)
Pada kesempatan ini Mimin memberikan sekilas hasil atas survei kepatuhan masyarakat untuk beribadah di rumah selama bulan Ramadhan 1441 H untuk menanggulangi Covid-19. Laporan hasil survei ini sudah Komnas HAM luncurkan pada Jumat (08/05/20) via aplikasi Zoom yang dimana 94,5% responden patuh melaksanakan kebijakan Pemerintah tersebut.
“Sehingga saya kira diperlukan leadership dari Pemerintah, jangan sampai masyarakat sudah berkorban untuk melaksanakan social distancing dengan cara tidak mudik dan tidak keluar rumah sehingga berkurang penghasilannya, tetapi di sisi lain Pemerintah justru menerbitkan atau mengubah-ubah kebijakan yang membuat masyarakat bingung baik di pusat maupun daerah, sehingga perlu adanya perbaikan, salah satunya adalah dengan menerbitkan peraturan Pemerintah pengganti undang-undang (perppu) terkait dengan penanggulangan kesehatan disaat pandemi Covid-19.
Hal ini pun telah dinyatakan oleh Komnas HAM beberapa waktu lalu karena Komnas HAM melihat landasan hukum yang saat ini digunakan yaituUndang-Undang tentang Kekarantinaan Kesehatan tidak cukup memadai untuk mengatur atau melakukan langkah-langkah strategis dalam menanggulangi Covid-19 yang multi sektoral.
“Perlu adanya perbaikan kebijakan untuk kedepannya sehingga target dari pemerintah untuk melandaikan penyebaran virus Covid-19 di bulan Juni bisa tercapai”, tukas Mimin. (Ratih/MDH/Ibn)
Short link