Kabar Latuharhary - Koordinator Sub Komisi Pemajuan HAM, Komnas HAM RI, Beka Ulung Hapsara menyampaikan mungkinkah apabila Indonesia berkaca dari Korea Selatan sebagai satu-satunya negara yang berhasil menyelenggarakan Pemilu di tengah pandemi COVID-19 pada diskusi melalui media daring (dalam jaringan) yang bertajuk “Pilkada yang Ramah HAM dalam Kondisi Pandemik: Bagaimana Persiapan KPU?", Selasa (28/4/2020).
“Ada 2 (dua) hal pokok yang bisa kita pelajari dari Korea Selatan yaitu soal teknis dan komitmen,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Beka memberikan penjelasan dengan menggunakan contoh terkait 2 (dua) hal pokok yang telah disebutkan sebelumnya. “Soal teknis misalnya, jarak antara pemilih 1 dengan lain yaitu 1 meter, pada saat memilih semua memakai masker, dilakukan pengecekan suhu tubuh pemilih juga penggunaan sarung tangan plastik dan penyemprotan disinfektan di TPS secara teratur,” jelasnya.
“Selain itu, terkait waktu pemilihan, apabila ada pemilih awal yang akan memilih diperbolehkan dan tidak harus serentak pada hari itu. Pemilih dalam karantina juga bisa memilih melalui saluran digital,” tambahnya.
Menurut Beka, hal yang paling penting adalah soal komitmen. “Pemerintah Korea Selatan mempunyai komitmen yang tinggi soal demokrasi. Kaitannya dengan komitmen adalah political will dari pemimpinnya tegas dan jelas bagaimana secara politik akan bekerja. Selain itu, faktor kepercayaan publik terhadap pemerintah dan penyelenggara Pemilu juga sangat tinggi karena sebelumnya pemerintah Korea Selatan sudah berhasil meyakinkan masyarakat bahwa Pemerintah bisa mengatasi masalah pandemi COVID-19 di negaranya,” imbuhnya.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Divisi Teknis Penyelenggaraan KPU Kota Depok, Kholil Pasaribu meragukan apabila Pemilihan Umum yang dilaksanakan di Korea Selatan sesuai dengan perilaku masyarakat di Indonesia. “Saya ragu jika Pemilu Korea Selatan kompatibel dengan perilaku di Indonesia. Pertama, itu Pemilu legislatif dimana orang yang ingin berkampanye banyak sehingga menjadi salah satu pendorong tingkat partisipasi meningkat. Kedua, apakah mungkin apabila pemilu di Korea Selatan dengan berbagai inovasi dilaksanakan di Indonesia,” ungkapnya.
“Jika model kampanye seperti di Korea Selatan dilakukan di Indonesia, maka yang mempunyai akses bebas untuk berkampanye langsung kepada pemilihnya adalah petahana. Karena petahana mempunyai agenda menyalurkan dukungan kebutuhan masyarakat selama pandemi juga karena Pemerintah Daerah mempunyai akses yang lebih besar untuk berkampanye dengan jalur yang lain. Jadi apabila dilakukan di Indonesia, saya ragu itu bisa dilakukan dengan adil,” tambah Kholil.
Lebih lanjut, Kholil menjelaskan apabila Pilkada tetap dilaksanakan, dengan kampanye di masa pandemi. “Selama masa pandemi Pemerintah aktif memberikan bantuan sembako, sementara di desain regulasi pilkada kita, memberikan sembako bisa bermasalah. Karena dalam konteks pilkada bisa dikaitkan dengan money politics. Saya tidak yakin jika Pilkada dilaksanakan dengan petahana tetap bisa memberikan bantuan-bantuan sosial akan disetujui oleh oposisi atau partai lain yang mana akan menimbulkan permasalahan selanjutnya karena di Indonesia belum bisa sampai pada taraf seperti itu melihat situasi-situasi yang terjadi,” pungkasnya. (Utari/Ibn)
Short link