KabarLatuharhary – Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM, M. Choirul Anam hadir dalam diskusi online bertema “Pembungkaman atas Hak Berserikat, Berkumpul, dan Mengeluarkan Pendapat dengan dalih Pandemi COVID-19” pada Senin (27/04/2020). Diskusi diselenggarakan oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Timur. Narasumber lain dalam diskusi tersebut adalah Direktur Pusat Studi Hukum HAM (HRLS) Fakultas Hukum Airlangga, Herlambang P Wiratraman, Kepala Bidang Kasus Tanah dan Lingkungan di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya, Moh. Soleh dan Direktur Eksekutif Daerah WALHI Jawa Timur, Rere CH.
Diskusi diawali dengan pemaparan dari Mohammad Soleh terkait dengan kasus pembungkaman yang terjadi di masyarakat. “Dalam catatan akhir tahun 2019 LBH Surabaya terdapat beberapa kasus pembungkaman terhadap partisipasi masyarakat di sektor tanah dan lingkungan yang berakhir kriminalisasi,” ungkapnya
Beberapa kasus yang disebutkan di antaranya adalah tiga kasus di Pasuruan, satu di Lumajang, dua puluh kasus di Banyuwangi, tiga kasus di Tuban, dua belas kasus di Blitar serta dua kasus di Surabaya. Salah satu kasus yang masih hangat yakni terkait kebijakan penanganan COVID-19 di Tumpang Pitu, Banyuwangi. Pada 21 Maret 2020 Kapolri mengeluarkan maklumat Larangan berkumpul yang diimplementasikan oleh Polres Banyuwangi dengan melarang masyarakat berkumpul pada Tenda Perjuangan di Tumpang Pitu, Banyuwangi.
Warga meminta aktifitas pertambangan di tambang emas Tumpang Pitu dihentikan sebagai bentuk partisipasi penanganan COVID-19. Namun ternyata aktifitas penambangan tetap berlangsung sehingga warga memblokir akses menuju pertambangan agar aktfitas penambangan segera ditutup. Hal ini menimbulkan kericuhan antara warga yang menolak aktifitas penambangan dengan warga yang pro terhadap adanya aktifitas penambangan. Pada 19 April 2020 warga yang menolak aktifitas penambangan tersebut menerima panggilan dari Penyidik POLDA dan terkena tindak pidana pasal 170 KUHP terkait penganiayaan/pengrusakan bersama-sama terhadap orang atau barang.
Komisioner M. Choirul Anam memaparkan mengenai penanganan pandemic COVID-19 dalam perspektif HAM. “Penanganan COVID-19 dalam perspektif HAM diabdikan untuk kesehatan. Penilaian dan penanganan jalan keluarnya memang ahli kesehatan yang menentukan. Salah satu yang paling penting adalah jaga jarak/sosial distancing. Oleh karenanya seluruh kebijakan kedaruratan diabdikan pada jaga jarak. Permasalahan utama dalam tema ini belum adanya platform kebijakan,” paparnya.
Anam memberikan pandangannya mengenai soliditas kebijakan oleh pemerintah dalam tata kelola penanganan pandemi COVID—19. “...yang merupakan permasalahan kesehatan seharusnya ditangani dengan platform kesehatan, penanganan dan soliditas yang dilakukan oleh pemerintah harus fokus untuk menangani kesehatan bukan untuk kepentingan yang lain. Kepentingan lain yang paling terasa adalah kepentingan ekonomi. Salah satu contohnya adalah masih berjalannya KRL di Pemda-Pemda sekitar DKI Jakarta yang menyebabkan terjadinya kerumunan-kerumunan di stasiun,” ungkapnya.
Anam juga mengkritisi mengenai Peraturan Pemerintan Pengganti Undang-undang (Perppu) yang dikeluarkan pemerintah. “Perppu yang diharapkan adalah untuk menangani kesehatan namun justru yang dilakukan untuk penyelamatan ekonomi sehingga wajah politisnya bukan penyelamatan kesehatan, hal inilah yang diduga menyebabkan tindakan-tindakan represif marak terjadi, “ ujarnya.
Herlambang P Wiratraman dari Pusat Studi Hukum dan HAM UNAIR menanggapi respon negara terhadap hak atas kebebasan pribadi di masa pandemi. “Proses politis hukum saat ini terkesan memprihatinkan terutama respon negara terhadap kritik, juga kebebasan ekspesi, berpendapat, dan berkumpul. Kawan-kawan yang melakukan aksi mendapatkan represif dan sanggahan yang unik-unik. Menyimak kronologi yang disampaikan oleh Soleh menjadi timpang terutama penegakan hukum yang bersifat diskriminatif. Mungkin Observasi yang disampaikan Anam benar, pendekatan keamanan menjadi penopang untuk penyelamatan Perppunya,” ungkapnya.
Herlambang menjelaskan “bahwa sesuai dengan pasal 1 ayat 3 UUD 1945 Indonesia adalah negara hukum oleh karenanya perlu ada ketentuan hukum terkait Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), social distancing, dan seterusnya. Hal ini agar setiap tindakan yang berjalan nantinya dapat dipertanggungjawabkan secara hukum . Oleh sebab itu pemerintah segera mengeluarkan Perppu dan pernyataan darurat kesehatan atau bencana yang sifatnya menopang otoritas agar segala tindakan dapat dimintai pertanggungjawaban terkait dengan praktek atau tindakan dilapangan. Dalam catatan riset saya dan Tim di Pusat Studi, tekanan terhadap kebebasan berekspresi dari waktu ke waktu trennya semakin menguat mungkin akan lebih menguat dengan lahirnya sejumlah produk hukum yang muncul di masa pandemi. ”
Menutup diskusi, Anam menyampaikan bahwa ”Penting untuk memberikan sanksi yang tegas terhadap pelanggar berupa denda atau kerja sosial, bukan memenjarakan atau pemukulan. Sanksi ini bagian dari menumbuhkan solidaritas dan tanggungjawab di masyarakat. Hal ini dikarenakan pendemi yang berlangsung saat ini butuh solidaritas dari semua pihak. Selain itu, Ketegasan harus ditopang dengan jaminan kehidupan sosial berupa pemenuhan kebutuhan pokok dan lain lain. Hal ini diharapkan membuat ketertiban PSBB berjalan efektif.”(Feri/Ibn)
Diskusi diawali dengan pemaparan dari Mohammad Soleh terkait dengan kasus pembungkaman yang terjadi di masyarakat. “Dalam catatan akhir tahun 2019 LBH Surabaya terdapat beberapa kasus pembungkaman terhadap partisipasi masyarakat di sektor tanah dan lingkungan yang berakhir kriminalisasi,” ungkapnya
Beberapa kasus yang disebutkan di antaranya adalah tiga kasus di Pasuruan, satu di Lumajang, dua puluh kasus di Banyuwangi, tiga kasus di Tuban, dua belas kasus di Blitar serta dua kasus di Surabaya. Salah satu kasus yang masih hangat yakni terkait kebijakan penanganan COVID-19 di Tumpang Pitu, Banyuwangi. Pada 21 Maret 2020 Kapolri mengeluarkan maklumat Larangan berkumpul yang diimplementasikan oleh Polres Banyuwangi dengan melarang masyarakat berkumpul pada Tenda Perjuangan di Tumpang Pitu, Banyuwangi.
Warga meminta aktifitas pertambangan di tambang emas Tumpang Pitu dihentikan sebagai bentuk partisipasi penanganan COVID-19. Namun ternyata aktifitas penambangan tetap berlangsung sehingga warga memblokir akses menuju pertambangan agar aktfitas penambangan segera ditutup. Hal ini menimbulkan kericuhan antara warga yang menolak aktifitas penambangan dengan warga yang pro terhadap adanya aktifitas penambangan. Pada 19 April 2020 warga yang menolak aktifitas penambangan tersebut menerima panggilan dari Penyidik POLDA dan terkena tindak pidana pasal 170 KUHP terkait penganiayaan/pengrusakan bersama-sama terhadap orang atau barang.
Komisioner M. Choirul Anam memaparkan mengenai penanganan pandemic COVID-19 dalam perspektif HAM. “Penanganan COVID-19 dalam perspektif HAM diabdikan untuk kesehatan. Penilaian dan penanganan jalan keluarnya memang ahli kesehatan yang menentukan. Salah satu yang paling penting adalah jaga jarak/sosial distancing. Oleh karenanya seluruh kebijakan kedaruratan diabdikan pada jaga jarak. Permasalahan utama dalam tema ini belum adanya platform kebijakan,” paparnya.
Anam memberikan pandangannya mengenai soliditas kebijakan oleh pemerintah dalam tata kelola penanganan pandemi COVID—19. “...yang merupakan permasalahan kesehatan seharusnya ditangani dengan platform kesehatan, penanganan dan soliditas yang dilakukan oleh pemerintah harus fokus untuk menangani kesehatan bukan untuk kepentingan yang lain. Kepentingan lain yang paling terasa adalah kepentingan ekonomi. Salah satu contohnya adalah masih berjalannya KRL di Pemda-Pemda sekitar DKI Jakarta yang menyebabkan terjadinya kerumunan-kerumunan di stasiun,” ungkapnya.
Anam juga mengkritisi mengenai Peraturan Pemerintan Pengganti Undang-undang (Perppu) yang dikeluarkan pemerintah. “Perppu yang diharapkan adalah untuk menangani kesehatan namun justru yang dilakukan untuk penyelamatan ekonomi sehingga wajah politisnya bukan penyelamatan kesehatan, hal inilah yang diduga menyebabkan tindakan-tindakan represif marak terjadi, “ ujarnya.
Herlambang P Wiratraman dari Pusat Studi Hukum dan HAM UNAIR menanggapi respon negara terhadap hak atas kebebasan pribadi di masa pandemi. “Proses politis hukum saat ini terkesan memprihatinkan terutama respon negara terhadap kritik, juga kebebasan ekspesi, berpendapat, dan berkumpul. Kawan-kawan yang melakukan aksi mendapatkan represif dan sanggahan yang unik-unik. Menyimak kronologi yang disampaikan oleh Soleh menjadi timpang terutama penegakan hukum yang bersifat diskriminatif. Mungkin Observasi yang disampaikan Anam benar, pendekatan keamanan menjadi penopang untuk penyelamatan Perppunya,” ungkapnya.
Herlambang menjelaskan “bahwa sesuai dengan pasal 1 ayat 3 UUD 1945 Indonesia adalah negara hukum oleh karenanya perlu ada ketentuan hukum terkait Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), social distancing, dan seterusnya. Hal ini agar setiap tindakan yang berjalan nantinya dapat dipertanggungjawabkan secara hukum . Oleh sebab itu pemerintah segera mengeluarkan Perppu dan pernyataan darurat kesehatan atau bencana yang sifatnya menopang otoritas agar segala tindakan dapat dimintai pertanggungjawaban terkait dengan praktek atau tindakan dilapangan. Dalam catatan riset saya dan Tim di Pusat Studi, tekanan terhadap kebebasan berekspresi dari waktu ke waktu trennya semakin menguat mungkin akan lebih menguat dengan lahirnya sejumlah produk hukum yang muncul di masa pandemi. ”
Menutup diskusi, Anam menyampaikan bahwa ”Penting untuk memberikan sanksi yang tegas terhadap pelanggar berupa denda atau kerja sosial, bukan memenjarakan atau pemukulan. Sanksi ini bagian dari menumbuhkan solidaritas dan tanggungjawab di masyarakat. Hal ini dikarenakan pendemi yang berlangsung saat ini butuh solidaritas dari semua pihak. Selain itu, Ketegasan harus ditopang dengan jaminan kehidupan sosial berupa pemenuhan kebutuhan pokok dan lain lain. Hal ini diharapkan membuat ketertiban PSBB berjalan efektif.”(Feri/Ibn)
Short link