Latuharhary - Pemerintah harus mampu mengambil keputusan yang
tepat atas penanganan warga negara Indonesia yang menjadi eks anggota ISIS yang
merupakan organisasi terorisme global. Namun sejalan dengan koridor hukum baik
hukum internasional maupun hukum yang berlaku di Indonesia, tentunya penanganan
dan penegakan hukum atas mereka harus mempertimbangkan standar dan norma hak asasi manusia.
Hal ini diungkapkan
Ketua Komnas HAM RI Ahmad Taufan Damanik dalam sebuah talkshow yang digelar
Medcom.id bertajuk "Menimbang Kombatan ISIS Pulang" bertempat di
Upnormal Coffee Roaster, Minggu (9/02/2020). Narasumber lain dalam talkshow ini
adalah Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Ali Mochtar Ngabalin, Anggota
Komisi I DPR dari Fraksi Partai Nasdem Willy Aditya, dan Pakar Terorisme UI
Ridwan Habib.
Diskusi ini digelar sebagai respons media atas polemik yang
berkaitan dengan wacana pemulangan warga negara Indonesia yang pernah bergabung
dengan Islamic State of Iraq and Syria ( ISIS).
Berkaitan dengan pro dan kontra atas pemulangan tersebut, Taufan
menjelaskan bahwa Komnas HAM merupakan lembaga negara yang salah satu tugasnya
adalah memberi masukan berdasarkan pandangan-pandangan terkait hak asasi manusia
baik sesuai dengan standar hukum internasional maupun hukum nasional.
“Diksi yang dipolemikkan yakni pemulangan memiliki bias
konotatif yang bisa menimbulkan kesalahfahaman dan sentimen pro-kontra publik.
Alih-alih mencari solusi, bangsa Indonesia justru akan kembali berdebat
emosional tanpa ujung”, demikian Taufan memulai diskusi. Ia mengedepankan
langkah penegakan hukum, karena peristiwa kekejaman yang dilakukan ISIS dan
melibatkan orang Indonesia, baik yang secara sukarela atau tertipu ikut di dalam
gerakan ini, merupakan peristiwa pelanggaran hukum. Hukum internasional dan
nasional mesti digunakan dalam mengatasi issu ini.
Lebih lanjut menyoal kejelasan status kewarganegaraan Indonesia
para kombatan atau pengikut ISIS ini, Taufan melihat UU Nomor 12 Tahun 2006
tentang Kewarganegaraan yang mengatur bahwa setiap orang keluar dari
kewarganegaraan Indonesia atau tidak lagi menjadi warga negara Indonesia
apabila menjadi warga negara lain, menerima paspor dari negara lain dan
bersumpah setia pada negara lain.
"Pertanyaannya
apakah ISIS sebuah negara? Internasional mengatakan ISIS adalah sebuah organisasi terorisme internasional,
bukan negara. Jadi jika mereka (para WNI yang menjadi anggota ISIS) menyatakan
keterlibatan mereka menjadi bagian dalam ISIS tidak serta merta dapat dikenakan
pasal mengenai hilangnya status kewarganegaraan," terang Taufan.
Kemudian, jika dikaitkan dengan pasal yang menyebut status
kewarganegaraan akan hilang jika dalam waktu lima tahun berturut-turut
bertempat tinggal di luar negeri tidak melapor ke Perwakilan Republik
Indonesia, ia mempertanyakan apakah masa tinggal para WNI yang menjadi anggota
ISIS ini keseluruhan selama lima tahun, bagaimana untuk yang baru bergabung di
bawah masa lima tahun. Ia juga mengingatkan bahwa UU Kewarganegaraan kita juga
tidak mengenal istilah Statelessness, karena itu kita mesti mempertimbangkan
kemungkinan kondisi itu. “Kita sangat marah kepada mereka, bahkan boleh saja
menganggap mereka “monster”, namun hak dasar status kewarganegaraan seseorang
tidak boleh dihilangkan sebab itu merupakan hak asasi yang penting (precious
rights)”, demikian penjelasan Taufan.
"Kita akan kasih masukan ke Pak Jokowi supaya Pak Jokowi
dapat mengambil sikap yang tepat," sambung Taufan. Dengan tetap melihat
mereka sebagai WNI maka ada legitimasi kuat untuk Indonesia ikut serta
menyelesaikan masalah terorisme global ISIS. Apalagi Indonesia juga anggota
Dewan Keamanan PBB dan Dewan HAM PBB, maka penting meneguhkan sikap untuk
menyelesaikan masalah ini, melalui proses penegakan hukum yang tepat baik
melalui mekanisme hukum domestik mau pun internasional.
Taufan menjelaskan bahwa memang ada beberapa negara Eropa
mengambil kebijakan mencabut kewarganegaraan anggota ISIS yang berasal dari
negara mereka, namun selain itu terpilih pada individu tertentu (anak-anak
tetap dikembalikan ke negerinya), negara tersebut, misalnya Inggris mengakui
dual kewarganegaraan, sehingga dicabutnya status warga negara Inggris, masih
menyisakan satu kewarganegaraan lainnya. Langkah ini tetap saja menyisakan
kritik dan tak sepenuhnya memenuhi harapan penyelesaian masalah.
Taufan menjelaskan langkah pro aktif menyelesaikan persoalan
hukum WNI yang terlibat ISIS dapat dilakukan di dalam negeri atau melalui
mekanisme internasional. “Sebagai anggota Dewan Keamanan dan Dewan HAM PBB,
maka peluang kita menyelesaikan melalui mekanisme internasional sangat besar,
sekaligus berperan lebih aktif di dalam perang melawan terorisme”, demikian
penjelasan Taufan.
(AAP/ATD)
Short link