Latuharhary – Ketidakmampuan mengendalikan tembakau jelas
menimbulkan pelanggaran hak anak, yang berarti juga pelanggaran hak asasi
manusia. Anak-anak akan terpapar secara aktif sebagai perokok, terdampak secara
pasif mau dijadikan objek pemasaran rokok, yang itu mengancam kesehatan dan
tumbuh kembang anak.
Ketua Komnas HAM RI Ahmad Taufan Damanik menyampaikan
pandangannya dengan merujuk Konvensi Hak Anak (The United Nation
Convention on the Rights of the Child) yang merupakan instrumen dalam
perlindungan anak. “Pasal 3
dalam konvensi, yang bukan sekedar pasal tentang hak anak tetapi merupakan satu dari empat prinsip hak
anak yaitu prinsip the Best Interest of The Child atau kepentingan terbaik bagi
anak. Jadi apa pun
yang dilakukan terkait dengan anak harus mempertimbangkan kepentingan terbaik
bagi anak,”jelas Taufan dalam workshop yang digagas oleh Koalisi Nasional
Masyarakat Sipil untuk Pengendalian Tembakau bertajuk "Anak-Anak Indonesia
Kecanduan Merokok, Bentuk Pelanggaran HAM?" bertempat di Sotis Hotel,
Jakarta, Jumat (31/1/2020).
Ia juga mencermati bentuk keterlibatan anak dengan rokok bersifat
aktif maupun pasif. Maka, prinsip the Best Interest of The Child dipakai karena
berkaitan dengan hak untuk hidup, tumbuh dan kembang anak secara komprehensif
dari segi fisik, spiritual, intelektual, dan moral.
"Tidak ada ahli medis yang mengatakan anak merokok atau anak
yang terpapar asap rokok itu sehat. Jelas semua akan mengatakan jauhkan anak
dari rokok baik aktif maupun pasif. Untuk itu, harus ada suatu kerangka yang
jelas bahwa tidak boleh rokok didekatkan dengan dunia anak,”terang Taufan.
Sorotan terhadap pemerintah dalam menangani persoalan anak dan
rokok disandarkan sesuai Pasal 24 Konvensi Hak Anak yang bertujuan mengajak
pemerintah dan negara untuk mengupayakan dengan berbagai cara, program dan
anggaran untuk bisa memenuhi standar tertinggi kesehatan bagi anak.
Terlebih lagi, pemerintahan Presiden RI Joko Widodo kini berfokus
pada pembangunan sumber daya manusia (SDM) yang unggul sebagaimana yang
tertuang dalam dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
2020-2024. Pembangunan sumber daya manusia tentunya menyangkut aspek kesehatan
anak.
Selain itu, Komite Ekonomi, Sosial dan Budaya (Ekosob) PBB telah
melayangkan rekomendasi dalam pertemuan ke-40 pada 23 Mei 2014 bahwa Indonesia
dituntut untuk meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FTCT)
serta melakukan pencegahan anak-anak untuk merokok, dan melarang segala bentuk
promosi produk rokok.
Komnas HAM mendorong langkah ratifikasi bersama lembaga negara
lainnya dan tentunya masyarakat sipil.
“Kita sangat mendorong ratifikasi FCTC, bahkan Komnas
HAM pernah menyiapkan naskah akademis pada tahun 2012 lalu, agar meratifikasi
FCTC sehingga dapat menjadi basis legal untuk pengendalian tembakau terutama
dalam kaitan dengan hak anak, perempuan, dan hak asasi yang lebih luas,”
pungkas Taufan.
Komisioner Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Sitti Hikmawatty ikut menyerukan agar
pemerintah serius dalam menangani masalah ini. Lantaran berdasarkan datanya, 10-20 % anak
Indonesia usia di bawah 14 tahun sudah mulai merokok.
“Jika bicara
tentang Indonesia Emas berarti membangun generasi, pasal 28 B ayat 2 UUD 1945
mengamanahkan bahwa anak Indonesia berhak hidup dan tumbuh kembang secara
optimal,”terang Hikma.
Pembicara lainnya dalam workshop ini, antara lain Ifdhal Kasim
(Koalisi Nasional Masyarakat Sipil untuk Pengendalian Tembakau), Rafendi Djamin
(Human Rights Working Group/HRWG), dan Manik Marganamahendra (Ketua BEM
Universitas Indonesia 2019). Hadir pula perwakilan dari Kemenko PMK RI,
Kementerian Kesehatan RI dan organisasi masyarakat serta akademisi yang peduli
terhadap persoalan anak dan rokok. (AAP/IW)
Short link