Kabar Latuharhary – Komnas HAM merekomendasikan penundaan pengesahan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) oleh DPR RI berdasarkan sejumlah catatan, sebagaimana disampaikan pada jumpa pers di ruang Media Center Gedung Komnas HAM, Jakarta, pada Kamis (20/09/19).
Hal ini disampaikan langsung oleh Komisioner Pengkajian dan Penelitian, M. Choirul Anam dan Wakil Ketua Bidang Eksternal, Sandrayati Moniaga.
“Kami menyampaikan sejumlah catatan terkait RKUHP. Terdapat beberapa poin yang kita pertegas dalam press conference ini, menambahkan juga terhadap substansi yang sudah pernah diutarakan dan disampaikan kepada DPR RI beberapa waktu lalu”, ungkap Anam mengawali konferensi pers tersebut.
Menurut Anam, catatan paling mendasar terkait RKUHP, adalah berkenaan dengan pengaturan khusus atas pelanggaran HAM yang berat yang dinilai berbeda dengan prinsip dan hukum internasional.
“Di dalam buku kedua RKUHP, khususnya Pasal 599 dan Pasal 600, perumusan kejahatannya diletakkan kepada orang. Terdapat kata setiap orang yang melakukan tindakan kejahatan itu akan dihukum. Sementara pada konteks hukum internasional, perumusan kejahatannya tidak diletakkan kepada setiap orang namun setiap tindakan, “urai Anam.
Kondisi RKUHP yang demikian, lanjut Anam, akan menyulitkan bagi proses penanganan pelanggaran HAM yang berat karena menurutnya pelanggaran HAM yang berat merupakan kasus yang lahir dari kebijakan dan kekuasaan.
Lebih lanjut, Anam menjelaskan, kalau menggunakan terminologi setiap orang, hanya akan mampu menjerat pelaku lapangan. Lain halnya dengan terminologi setiap tindakan, bahwa siapapun yang melakukan tindakan, baik langsung maupun tidak langsung, baik di lapangan maupun pencipta kebijakan, akan dapat dijerat hukuman.
Catatan berikutnya adalah terkait konsekuensi/hukuman yang dapat dikenakan. “RKUHP menetapkan hukuman yang lebih ringan terhadap pelaku pelanggaran HAM yang berat apabila dibandingkan dengan ketentuan UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Apabila UU No.26 Tahun 2000 menetapkan masa hukuman 10 s.d. 25 tahun untuk kejahatan genosida, RKUHP hanya menetapkan 5 s.d. 20 tahun. Ini benar-benar mematahkan rantai siapa yang paling bertanggungjawab membuat kebijakan”, lanjut Anam.
Anam menilai kondisi ini tidak memberikan dukungan yang seharusnya bagi pemajuan dan penegakan hak asasi manusia. “Tindakan yang seharusnya mendapatkan ganjaran hukuman yang berat akibat basis pelanggaran HAM yang serius, justru dikenakan hukuman yang tergolong ringan,” sesalnya.
Problem lain dalam RKUHP, lanjut Anam, adalah terkait tindakan seksualitas semisal pencabulan. “Orang dapat diberikan hukuman karena tindak pencabulan, hanya jika dilakukan di muka umum. Bagaimana kalau orang tidak berdaya ini dicabuli bukan di muka umum? Kalau ini terjadi, maka tidak akan dilakukan pemidanaan karena tidak dilakukan di muka umum,” tambah Anam.
Terkait sejumlah catatan tersebut, Anam menegaskan agar pengesahan RKUHP sebaiknya ditunda. “Oleh karenanya, kami berharap walaupun ini injury time akan lebih bijak untuk menunda pengesahan ini”, tegas Anam.
Pada kesempatan yang sama, Sandrayati Moniaga juga menegaskan bahwa catatan atas RKUHP tersebut bukanlah sesuatu hal yang baru. “Komnas HAM sudah menyampaikan rekomendasi sejak beberapa tahun lalu. Isu mengenai pidana khusus itu baru muncul di tahun 2018, Komnas HAM telah keliling bersama KPK dan BNN di beberapa kota untuk menyampaikan bahwa RKUHP memasukkan pidana khusus dan Komnas HAM sangat berkeberatan terhadap hal ini. Kami beberapa kali juga sudah bertemu dengan anggota tim. Sejak awal kami menegaskan bahwa pidana khusus seharusnya tidak diatur dalam RKUHP”, tegas Sandra.
Senada dengan Anam, Sandra juga meminta agar pengesahan RKUHP ditunda. “Jadi, Komnas HAM merekomandasikan agar proses pengesahan ditunda karena fundamental sekali persoalan yang dimuat dalam RKUHP draft terakhir ini,” tutup Sandra. (Niken/ENS)
Short link