Jakarta - Peristiwa konflik sosial berlatar belakang diskriminasi suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) kerap terjadi di Indonesia. Sebagai lembaga mandiri yang berwenang memberikan rekomendasi penyelesaian kasus terkait hak asasi manusia, Komnas HAM ingin kewenangannya diperkuat.
“Harus dipahami bahwa ini ada potensi untuk membesar dan itu ditunjukkan oleh peristiwa yang terjadi sebelumnya. Di sisi lain, tidak hanya diskriminasi ras dan etnis yang terjadi. Sebenarnya sekarang jauh berkembang lagi diskriminasi itu mulai dari diskriminasi agama, jenis kelamin, dan sebagainya. Sehingga memang harus diantisipasi juga kemungkinan itu,” tegas Wakil Ketua Internal Komnas HAM Hairansyah dalam diskusi publik, “Memperkuat Langkah Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnik” yang diselenggarakan oleh Peaceful Papua Initiative (PPI)-SETARA Institute, Hotel Ashley, Jakarta, Kamis (12/9/2019).
Pernyataan tersebut ia dasarkan dari hasil survei Komnas HAM terkait ras dan etnis medio 25 September-5 Oktober 2018. Survei terkait penilaian masyarakat terhadap penghapusan diskriminasi ras dan etnis tersebut dilakukan terhadap 1.200 responden yang tersebar di 34 provinsi.
Hasilnya, jelas Hairansyah, cukup mencengangkan. Perbedaan latar belakang ras dan etnis menurut lebih dari 80 persen responden sebagai sesuatu yang memudahkan dan menguntungkan. Primordialisme pun masih menjadi nilai penting yang dipegang oleh masyarakat sosial. Walhasil, potensi diskriminasi memiliki probabilitas sangat tinggi.
Mencermati hasil tersebut, Komnas HAM berupaya bertindak sesuai kewenangannya yang diatur dalam UU Nomor 40 tahun 2008. "Bagi Komnas HAM Undang-Undang tersebut memberikan kewenangan, tentu poin besarnya adalah sejauh mana kewenangan itu diberikan,"tutur Hairansyah.
Kewenangan tersebut mencakup pengawasan di daerah dan di pusat, pencarian fakta terhadap diskrimasi ras dan etnis, kemudian memberikan rekomendasi. Khusus rekomendasi, ulas Hairansyah, Komnas HAM memiliki kesulitan tersendiri, terutama dalam kepatuhan pelaksanaannya. Lantaran sebagian kelompok masyarakat seringkali tidak menindaklanjuti rekomendasi tersebut karena tidak adanya sanksi yang jelas bila rekomendasi yang diberikan tidak dipatuhi.
Cakupan pengawasan terhadap kebijakan pemerintah pusat dan daerah pun dinilainya terbatas. Lantaran Komnas HAM hanya memiliki enam kantor perwakilan saja, yakni di Aceh, Ambon, Padang, Palu, Pontianak, dan Jayapura (Papua).
Jumlah ini, menurut Hairansyah, tidak memadai untuk melakukan pengawasan di seluruh Indonesia padahal seluruh daerah di Indonesia berpotensi terjadi tindak diskriminasi yang sama sehingga memengaruhi kecepatan Komnas HAM dalam merespons ketika terjadi masalah.
Tantangan lainnya terkait keterbatasan anggaran. "Di luar fungsi-fungsi penegakan dan pemajuan ada fungsi pengawasan yang spesifik tentang ras dan etnis. Dengan demikian, political will negara dan pemerintah tentang HAM terutama tentang penghapusan diskriminasi ras dan etnis tergantung dari politik anggaran yang diberikan kepada Komnas HAM,” kata Hairansyah.
Komnas HAM saat ini mengelola anggaran sebanyak Rp 100 miliar yang digabung dengan Komnas Perempuan. Sebanyak 60 persen dialokasikan untuk operasional kepegawaian.
Sementara untuk memperkuat proses pengawasan, Komnas HAM sedang mengembangkan standar norma dan setting tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan serta kebebasan berbicara dan berpendapat.
"Standar norma dan setting menjadi penting sehingga bagaimana pembuat kebijakan mematuhinya,"tambah Hairansyah.
Selain Hairansyah, diskusi tersebut menghadirkan Direktur SETARA Institute Ismail Hasani, Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen.Pol.Dedi Prasetyo, anggota Ombudsman RI Ninik Rahayu, anggota DPR RI Charles Honoris, serta advokat sekaligus perwakilan pemuda Papua Mikael Hilman.(SP/IW)
“Harus dipahami bahwa ini ada potensi untuk membesar dan itu ditunjukkan oleh peristiwa yang terjadi sebelumnya. Di sisi lain, tidak hanya diskriminasi ras dan etnis yang terjadi. Sebenarnya sekarang jauh berkembang lagi diskriminasi itu mulai dari diskriminasi agama, jenis kelamin, dan sebagainya. Sehingga memang harus diantisipasi juga kemungkinan itu,” tegas Wakil Ketua Internal Komnas HAM Hairansyah dalam diskusi publik, “Memperkuat Langkah Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnik” yang diselenggarakan oleh Peaceful Papua Initiative (PPI)-SETARA Institute, Hotel Ashley, Jakarta, Kamis (12/9/2019).
Pernyataan tersebut ia dasarkan dari hasil survei Komnas HAM terkait ras dan etnis medio 25 September-5 Oktober 2018. Survei terkait penilaian masyarakat terhadap penghapusan diskriminasi ras dan etnis tersebut dilakukan terhadap 1.200 responden yang tersebar di 34 provinsi.
Hasilnya, jelas Hairansyah, cukup mencengangkan. Perbedaan latar belakang ras dan etnis menurut lebih dari 80 persen responden sebagai sesuatu yang memudahkan dan menguntungkan. Primordialisme pun masih menjadi nilai penting yang dipegang oleh masyarakat sosial. Walhasil, potensi diskriminasi memiliki probabilitas sangat tinggi.
Mencermati hasil tersebut, Komnas HAM berupaya bertindak sesuai kewenangannya yang diatur dalam UU Nomor 40 tahun 2008. "Bagi Komnas HAM Undang-Undang tersebut memberikan kewenangan, tentu poin besarnya adalah sejauh mana kewenangan itu diberikan,"tutur Hairansyah.
Kewenangan tersebut mencakup pengawasan di daerah dan di pusat, pencarian fakta terhadap diskrimasi ras dan etnis, kemudian memberikan rekomendasi. Khusus rekomendasi, ulas Hairansyah, Komnas HAM memiliki kesulitan tersendiri, terutama dalam kepatuhan pelaksanaannya. Lantaran sebagian kelompok masyarakat seringkali tidak menindaklanjuti rekomendasi tersebut karena tidak adanya sanksi yang jelas bila rekomendasi yang diberikan tidak dipatuhi.
Cakupan pengawasan terhadap kebijakan pemerintah pusat dan daerah pun dinilainya terbatas. Lantaran Komnas HAM hanya memiliki enam kantor perwakilan saja, yakni di Aceh, Ambon, Padang, Palu, Pontianak, dan Jayapura (Papua).
Jumlah ini, menurut Hairansyah, tidak memadai untuk melakukan pengawasan di seluruh Indonesia padahal seluruh daerah di Indonesia berpotensi terjadi tindak diskriminasi yang sama sehingga memengaruhi kecepatan Komnas HAM dalam merespons ketika terjadi masalah.
Tantangan lainnya terkait keterbatasan anggaran. "Di luar fungsi-fungsi penegakan dan pemajuan ada fungsi pengawasan yang spesifik tentang ras dan etnis. Dengan demikian, political will negara dan pemerintah tentang HAM terutama tentang penghapusan diskriminasi ras dan etnis tergantung dari politik anggaran yang diberikan kepada Komnas HAM,” kata Hairansyah.
Komnas HAM saat ini mengelola anggaran sebanyak Rp 100 miliar yang digabung dengan Komnas Perempuan. Sebanyak 60 persen dialokasikan untuk operasional kepegawaian.
Sementara untuk memperkuat proses pengawasan, Komnas HAM sedang mengembangkan standar norma dan setting tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan serta kebebasan berbicara dan berpendapat.
"Standar norma dan setting menjadi penting sehingga bagaimana pembuat kebijakan mematuhinya,"tambah Hairansyah.
Selain Hairansyah, diskusi tersebut menghadirkan Direktur SETARA Institute Ismail Hasani, Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen.Pol.Dedi Prasetyo, anggota Ombudsman RI Ninik Rahayu, anggota DPR RI Charles Honoris, serta advokat sekaligus perwakilan pemuda Papua Mikael Hilman.(SP/IW)
Short link