Latuharhary – Komnas HAM meminta kepada Presiden Republik
Indonesia untuk tidak menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) terkait
perlibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam penanganan tindak pindana
terorisme dimana hal ini disampaikan pada konferensi pers yang diselenggarakan
di Gedung Komnas HAM, Menteng, pada Kamis (8/8/2019).
“Kami berharap Presiden tidak menandatangani
Perpres tersebut dan mengevaluasi kembali tugas dan fungsi Komando Operasi
Khusus (Koopsus),” tandas Mohammad Choirul Anam, selaku Komisioner Sub Komisi
Pengkajian dan Penelitian.
Lebih lanjut, Anam mengungkapkan beberapa poin dari
Perpres tersebut yang dinilai telah melampaui batas konsep negara hukum dan
berpotensi menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia.
“Pertama, tidak adanya kejelasan terkait skala
keterlibatan. Kedua, dibuka peluang untuk masuk ke dalam semua ruang tindakan mulai
dari pencegahan sampai dengan penegakan sehingga mempunyai kewenangan untuk
melakukan penangkapan dan sebagainya. Ini seharusnya tidak bisa diperkenankan.
Postur undang-undang kita, aktivitas pemulihan itu seharusnya ada di badan penanggulangan
terorisme,” pungkasnya.
Menurut Anam, berdasarkan hasil pengkajian dan penelitian
terhadap materi Perpres tersebut, Komnas HAM telah menyimpulkan bahwa keterlibatan
TNI dalam penanganan tindak pidana terorisme telah bertentangan dengan
konsistusi negara. Terlebih pada beberapa pasal juga mengungkapkan bahwa TNI
akan terlibat pada penanganan melawan radikalisme. Selain itu, dalam tugas pokok
dan fungsinya, Anam menambahkan bahwa Perpres ini telah bertentangan dengan
undang-undang pokoknya atau Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang TNI.
“Kami akan segera menyurati presiden terkait
keberatan kami ini, karena ancamannya bukan hanya pada asas kemanusiaan,
melainkan juga pada tata kelola demokrasi. Perpres ini bertentangan dengan undang-undang
terorisme, juga bertentangan dengan undang-undang TNI. Kalau untuk terlibat
pada upaya melawan radikalisme, pencegahan, dan pemulihan, tidak menjadi tugas
pokok dan fungsinya TNI. Jangan sampai kita menyeret TNI menjadi TNI yang tidak
profesional,” tegas Anam.
Konferensi Pers yang digelar sejak pukul 13:00 WIB
ini juga turut menghadirkan Munafrizal Manan selaku Komisioner Subkomisi Mediasi.
Beliau menjelaskan bahwa dalam Perpres tersebut terdapat ruang lingkup yang
terlalu luas serta tidak memberikan batasan terhadap kewenangan TNI terutama
terkait hal yang boleh dan tidak boleh
dilakukan.
“Tindakan yang diberlakukan terhadap aktivitas terorisme
ini seolah-olah dikonstruksikan seperti operasi perang, sebagaimana dijelaskan
pada Pasal 9 Ayat (2), yaitu penindakan mengatasi aksi terorisme dilaksanakan
dengan menggunakan strategi taktik dan teknik militer sesuai dengan doktrinya”
Ungkap Munafrizal
Munafrizal menambahkan, apabila Perpres tersebut
tetap dilanjutkan, akan memberi dampak negatif bagi instansi TNI itu sendiri, serta
akan tergelincir dalam hal-hal yang berkaitan dengan pelanggaran HAM.
“TNI telah melakukan reformasi internal. Bahkan pada
sejumlah penelitian, diakui sebagai suatu hal yang maju. Tetapi kalau ini tetap
dilaksanakan (Perpres diberlakukan), TNI lambat laun akan bermetamorfosis
kembali seperti TNI yang dulu,” pungkasnya.
Lebih lanjut Anam juga membahas terkait dukungan pendanaan
bagi TNI, yang seharusnya hanya boleh didapatkan dari sumber APBN, bukan sumber-sumber
lainnya karena dikhawatirkan akan berimbas pada integritas dan independensinya.
“Setelah reformasi, pendanaan TNI itu hanya boleh diperoleh
dari APBN, APBD pun tidak boleh. Sehingga kita bisa mengukur tentara kita mau
dibawa kemana, warnanya apa, senjatanya apa dan lain sebagainya, oleh karena
itu sumber dana harus tunggal, dari
APBN,” katanya. (Radhia/ENS)
Short link