Latuharhary
– Perubahan kata “Wakil Bangsa Indonesia” menjadi “Atas
Nama Rakyat
Indonesia” pada draft teks proklamasi sesungguhnya mempunyai makna yang
cukup mendalam, khususnya pada konteks masyarakat Indonesia saat ini.
Sastrawan muda, Heru
Joni Putra,
mencoba memaknai perbedaan tersebut ketika menjadi narasumber pada diskusi
media yang mengangkat tema “Refleksi HAM: 74 Tahun Merdeka. Sudahkah
Wong Cilik Merdeka?”, bertempat di Gedung Komnas HAM,
Menteng, Jakarta, pada Jumat (23/08/19).
Heru mengungkapkan, menjelang tanggal 17 Agustus setiap tahunnya, selain merasakan keharuan, bangsa Indonesia perlu untuk kembali
mengingat momen penting ketika teks proklamasi dirancang.
“Kita semestinya dapat mengingat momen penting sebelum teks proklamasi dibacakan pada 17 agustus 1945 silam, yaitu ketika teks itu dirumuskan. Terdapat salah satu perubahan signifikan pada naskah, dimana awalnya ditulis Wakil-Wakil Bangsa Indonesia dengan ditandatangani oleh 50 (lima puluh) orang yang hadir, kemudian atas usul Sukarni, dirubah menjadi “Atas Nama Bangsa Indonesia” dan ditandatangani oleh Bung Karno dan Bung Hatta,” urainya.
Perubahan tersebut, lanjut Heru, secara simbolik menjadi pertanda
tertutupnya pintu feodalisme di Indonesia. “Inilah pertama kalinya dalam sejarah Bangsa Indonesia, kata bangsa atau rakyat mempunyai arti yang sangat penting. Peristiwa tersebut (baca : proklamasi) secara simbolik merupakan pertanda kemenangan Rakyat
Indonesia, bukan hanya wakil-wakil Bangsa
Indonesia”, tukasnya.
Menurutnya, 74 tahun kemerdekaan Indonesia sesungguhnya merupakan pertarungan antara “atas nama rakyat” dan “wakil-wakil bangsa Indonesia”, yaitu
pertarungan antara demokrasi dan feodalisme. “Dari
teks proklamasi tersebut, kita bisa melihat bahwa sudah tertutup pintu untuk
feodalisme, namun kenyataannya, sampai sekarang
feodalisme itu masih ada, bahkan masih kuat”, terangnya.
Feodalisme, digambarkan Heru merupakan feodalisme gaya baru, dimana kebebasan mengkritik, menyampaikan
pendapat menjadi tersumbat akibat munculnya rasa takut dan posisi yang lebih rendah. “Kita takut
mengkritik dosen karena takut dinilai rendah atau kita tidak mungkin mengkritik
orang karena memiliki hutang budi. Itulah kultur feodal, kalau demokrasi tidak
ada lagi pikiran seperti itu, ada kesamaan dalam berpikir”, jelas Heru.
Contoh feodalisme
baru, lanjut Heru,
erat kaitannya dengan istilah “regenerasi”. Regenerasi, menurutnya, seharusnya memberikan kesempatan kepada yang
muda untuk melanjutkan atau meneruskan. “Pada kenyataannya, kata regenerasi justru menjadi legitimasi untuk membungkam yang muda-muda dengan argumentasi “dibina” dulu, nah pembinaan itu justru kerap kali menjadi bentuk pembungkaman,” tukasnya.
Heru menilai, regenerasi semacam ini, justru membuat yang muda menjadi tidak kritis dan menunjukkan
suatu keterkaitan yang sangat kuat dengan kultur feodal.
Heru kembali menambahkan, selama kultur feodal
masih kuat, rakyat Indonesia tidak pernah benar-benar merdeka kendati secara de jure Indonesia sudah
merdeka sejak 1945. “Dalam konteks negara misalnya, konsep “NKRI harga mati” kerap
menjadi justifikasi untuk melakukan tindakan pembatasan dan melegitimasi kekerasan. Atas nama keutuhan bangsa dan negara, cukup
banyak orang yang meregang nyawa bahkan harus
kehilangan hidupnya, perempuan
diperkosa, dan tindakan-tindakan lain yang melanggar prinsip-prinsip hak asasi manusia. Semua itu masih
berlangsung hingga hari ini”, keluhnya.
Singkat kata, lanjut Heru, demokrasi dan keadilan HAM tidak akan pernah bisa ditegakkan
sepenuhnya selama feodalisme
gaya baru masih dirasakan dan keadilan sosial belum merata. “Yang harga mati menurut
saya adalah keadilan sosial bukan NKRI nya”, tutupnya. (Niken/ENS)
Short link