Latuharhary – Komnas HAM melalui Subkomisi
Pengkajian dan Penelitian menyelenggarakan diskusi publik dalam rangka penyusunan
standar norma dan setting kebebasan
beragama dan berkeyakinan (KBB), di ruang pleno utama Komnas HAM Jakarta, pada
Senin (12/08/2019).
Acara yang
dipimpin langsung Komisioner Pengkajian dan Penelitian, M. Choirul Anam, dilatarbelakangi
oleh fakta bahwa tingkat pengaduan masyarakat terkait kebebasan beragama dan
berkeyakinan mengalami peningkatan yang cukup signifikan.
“Standar
norma dan setting ini nantinya bisa digunakan sebagai jembatan dan rujukan penyelesaian kasus-kasus yang mempunyai kaitan
dengan kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia,” jelas Anam.
Lebih
lanjut Anam menambahkan bahwa kondisi masyarakat Indonesia yang heterogen
seharusnya mendorong pemerintah untuk mengakomodir kebutuhan setiap warganya
tanpa membeda-bedakan. “Meningkatnya pengaduan atas kebebasan beragama dan
berkeyakinan merupakan salah satu indikasi bahwa pemenuhan hak warga negara
untuk beragama dan menganut keyakinan masih menjadi persoalan,” paparnya.
Hal ini
tentunya menjadi sebuah anomali. Pasalnya, semakin maju demokrasi seharusnya
semakin memberikan jaminan atas kebebasan beragama dan berkeyakinan. Demokrasi
sejatinya memberikan jaminan atas terpenuhinya hak asasi warga negaranya.
Pada
kesempatan yang sama, M. Imdadun Rahmat, wakil dari PBNU dan salah satu Komisioner
Komnas HAM periode 2012 – 2017, menyampaikan apresiasinya atas upaya Komnas HAM
mengembangkan standar norma dan setting
kebebasan beragama dan berkeyakinan.
”Saya
apresiasi dengan Komnas HAM yang mengembangakan standar norma dan setting kebebasan beragama dan
berkeyakinan. ini langkah maju dibandingkan periode saya. Ketika saya menjabat komisioner Komnas HAM pada
periode 2012 -2017, masih berbentuk position
paper dan belum dijabarkan dalam rumusan standar norma dan setting,” ungkapnya.
Lebih
lanjut Imdadun menambahkan bahwa setelah hal tersebut dirumuskan, nantinya akan
berguna memperkuat argumentasi kewenangan Komnas HAM khususnya ketika
berhadapan dengan pengadilan. “Saya beberapa kali duduk sebagai saksi ahli.
Masih punya kelemahan pada aspek rujukan legal
yang bisa memperkuat argumen yang saya paparkan dalam sidang,” ungkap
Imdadun.
Perlu disampaikan
bahwa Deklarasi Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi Agama/Keyakinan
telah menjadi norma international melalui Resolusi Sidang umum PBB No. 36/55
pada 25 November 1981. Deklarasi tersebut telah dituangkan dalam konstitusi Indonesia
khususnya UUD 1945 dan UU No.39/Tahun 1999 tentang HAM. Patut disayangkan
kendati telah dijamin dalam konstitusi namun pengaduan kasus-kasus terkait
kebebasan beragama dan berkeyakinan masih mengalami peningkatan yang cukup
signifikan. (Ferry/ENS)
Short link