Latuharhary – Perubahan nomenklatur pada Panti
Sosial Bina Netra (PSBN) Wyataguna Bandung menjadi Balai Rehabilitasi masih
menyisakan polemik yang belum menemukan titik terang hingga kini, demikian
disampaikan Perwakilan
PERTUNI (Persatuan Tunanetra Indonesia) Maman Suherman saat mengunjungi kantor Komnas HAM, Menteng, untuk melakukan
audiensi, pada Rabu (14/08/19).
Kepada Kabar
Latuharhary Maman menjelaskan bahwa perubahan nomenklatur pada PSBN Wyataguna Bandung
dinilai telah merugikan para penghuni panti karena berpengaruh pada pelayanan
yang diberikan.
Maman lalu menjelaskan, bagaimana PSBN Wyataguna Bandung
sebelumnya merupakan tempat belajar dan mengasah keterampilan yang nyaman bagi penyandang
disabilitas mulai dari tingkat SD/SMP/SMA hingga perguruan tinggi. Sayangnya, kondisi
tersebut berubah seiring dengan terbitnya Permensos No. 18 Tahun 2018.
Berdasarkan Peraturan Menteri Sosial (Permensos)
Nomor 18 Tahun 2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis
Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas di Lingkungan Direktorat Jenderal
Rehabilitasi Sosial, unit ini hanya mampu memberi layanan lanjutan
bagi penyandang disabilitas selama enam bulan.
“Balai rehabilitasi
itu adalah perubahan dari panti yang tadinya 2 tahun menjadi 6 bulan, imbasnya
kena ke pendidikan formal, adik – adik kita yang sekolah di SLB (Sekolah Luar
Biasa), tidak dapat lagi memperoleh posisi di sana kecuali untuk kelas XI dan VIII,
itu pun hanya sampai akhir tahun depan, setelah itu lepas”, jelas Maman.
Senada dengan Maman, Edi Ali Suryanto perwakilan PERTUNI lainnya,
juga sangat menyesalkan kondisi ini. “Dulu 2-4 tahun kita dapat bersekolah di sana, namun saat ini hanya 6 bulan. Kita
yang belajar selama 3 tahun lebih saja belum tentu bisa menghasilkan sesuatu yang
membanggakan, apalagi dari pembelajaran yang hanya 6 bulan saja”, jelas Edi.
Edi
juga menilai bahwa balai rehabilitasi identik dengan tempat untuk melayani pasien HIV/AIDS, NAPZA,
namun yang terjadi pada Balai Rehabilitasi Bandung adalah untuk para penyandang
disabilitas mengasah keterampilan dan mengenyam pendidikan. “Pendek kata, dulu
nyaman sekarang tidak nyaman”, ungkapnya.
Selain
itu, Edi kembali menilai bahwa telah terjadi pelanggaran HAM dalam proses pengkondisian
dari panti menjadi balai. Ia menceritakan bagaimana pihak dari Kemensos melalui
personil-personilnya datang ke rumah-rumah untuk memprovokasi dan
mengindoktrinasi anak-anak yang sekolah di SLB agar mau menandatangani dan menyetujui
kebijakan tersebut.
Lebih
lanjut, menurut Edi, apabila merujuk pada UU No. 23 Tahun 2014 tentang
Otonomi Daerah (Otoda), tanggung jawab untuk menjalankan PSBN Wyata Bandung adalah
menjadi kewenangan pemerintah Provinsi Jawa Barat. “Kalau berbicara mengenai
balai yang saat ini menjadi kewenangan pemerintah pusat (Kemensos), hal tersebut
menjadi kontradiktif. Apabila mengacu pada UU Otoda, seharusnya panti ini kan menjadi
tanggung jawab pemerintah provinsi bukan pemerintah pusat” lanjut Edi.
Oleh karena itu, Maman
dan Edi sepakat untuk meminta kepada Komnas HAM agar dapat memberikan rekomendasi
kepada Pemerintah dalam hal ini Presiden, terkait polemik PSBN Wyataguna Bandung.
Rekomendasi yang diharapkan adalah agar Kemensos dapat mengembalikan sistem pendidikan
dari balai rehabilitasi yang sifatnya hanya ad hoc menjadi panti kembali yang sifatnya berkelanjutan
dan berkesinambungan.
Selain itu mereka juga meminta agar Presiden berkenan untuk menginstruksikan Menteri Keuangan
dan Menteri Sosial untuk dapat menghibahkan panti yang ada di Jalan Pajajaran Bandung No. 50-52
kepada Pemerintah Provinsi Jawa Barat.
“Mudah
- mudahan Komnas HAM dapat memberikan rekomendasi tersebut melalui langkah-langkah
yang strategis dan solusif sehingga gejolak ini bisa tertangani dan tidak
bertele-tele sehingga dapat menghasilkan solusi yang konkret dan tepat yang
dapat memenuhi harapan semua pihak”, pungkas Edi. (Niken/ENS)
Short link