Latuharhary - Komnas HAM melalui Tim Pencari Fakta Peristiwa 21-23 Mei 2019,
mengadakan Focus Group Discussion (FDG)
dengan mengusung tema ‘Pemetaan Media Sosial dalam
Peristiwa 21-23 Mei 2019’, bertempat di Ruang Rapat Pleno Gedung Komnas HAM Menteng, Senin (22/07/2019).
Focus Group Discussion (FGD) yang dimulai sejak pukul 09.00 WIB ini dibuka langsung oleh Koordinator Pemajuan HAM yang juga Komisioner Subkomisi
Penyuluhan HAM, Beka Ulung Hapsara. Perlu disampaikan bahwa kegiatan ini melibatkan sejumlah
pihak terkait antara lain beberapa perwakilan dari
Litbang Kompas, ELSAM, KPAI, Kemenkopolhukam, SafeNet, hingga Amnesty International. Selain itu, diskusi tertutup ini, juga menghadirkan beberapa narasumber
dari Unit Cyber Crime Bareskrim Polri, Mafindo, dan juga Kemenkominfo.
Salah seorang narasumber yang hadir adalah Presidium
Mafindo, Anita Wahid. Beliau memaparkan perihal bagaimana hoaks telah dijadikan
sebagai bahan ujaran kebencian, dan hal tersebut telah banyak dipergunakan dihampir
setiap platform media sosial, baik secara terbuka maupun tertutup. Dirinya juga
mengungkapkan bahwa penyebaran hoaks ketika pemilu 2014 muncul ketika
pencoblosan berlangsung, sedangkan di tahun 2019, hoaks sudah beredar sejak
saat masa kampanye.
“Pada tahun 2014, hoaks
menyerang satu arah dan sangat efektif untuk menurunkan elektabilitas. Di tahun 2019, hoaks tersebar menjadi 2 arah. Selama periode pencoblosan, media sosial dipenuhi narasi kecurangan pilpres.
Tercatat 24
hoaks terkait pendelegitimasian penyelenggaraan pemilu,” ungkap Anita Wahid.
Sementara itu, pendapat menarik muncul dari perwakilan
ELSAM bahwa pihaknya meyakini mekanisme pemblokiran media sosial yang dilakukan
ketika demonstrasi hasil pemilu berlangsung, sudah sesuai dengan prinsip HAM,
serta telah memenuhi unsur yang diatur oleh hukum.
“Kami pikir ada urgensi perlindungan HAM di
internet kala itu. Kami melihat bahwa tindakan Kemenkominfo sudah memenuhi
unsur yang diatur oleh hukum, berlandasan yang sah. Kami
melihat ketika pemblokiran media
sosial saat 22 Mei itu tidak seutuhnya pemblokiran, hanya parsial
pemblokiran,” papar Lintang, Peneliti
di ELSAM.
Hal berbeda disampaikan perwakilan dari SafeNet yang
menyatakan bahwa pembatasan media sosial berkaitan
dengan pembatasan HAM karena memutuskan informasi yang tidak jelas alasannya.
“Kami mendapat laporan bahwa banyak masyarakat menggunakan VPN ilegal dan
terkena phsying. Ada 10 orang melaporkan bahwa datanya diambil. Fakta ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak cukup
memikirkan dampak buruk yang dapat ditimbulkan dari kebijakan yang telah
diberlakukan. Pada saat yang bersamaan, cukup banyak
pelaku hate speech dan penyebar konten hoaks yang
tidak ditangkap dan tidak diproses oleh pihak kepolisian. Sebut
saja kasus Ulin doxing yang tidak mendapatkan teguran atau sanksi apapun dari Pemerintah,” tukas Nabillah.
Sebagai penutup, Beka Ulung Hapsara selaku
moderator FGD bertemakan Pemetaan Media Sosial dalam Peristiwa 21-23 Mei 2019, menyampaikan bahwa Komnas HAM akan mengirimkan
surat kepada Kemenkominfo terkait dengan mesin pengais konten internet negatif
atau dikenal dengan nama AIS. Lebih lanjut Beka juga meminta data-data dari Cyber Crime Bareskrim Polri, KPAI, KIP, dan Kemenkominfo untuk kebutuhan
penyelidikan peristiwa 21-23 Mei 2019.
“Terima kasih kepada
ELSAM, SafeNet
dan Amnesty International terkait pemberian tools pembatasan dan masukan-masukan yang disampaikan berkenaan dengan
penggunaan media sosial,” ujar Beka.
Sebagaimana diketahui, ketika peristiwa 21-23 Mei 2019
berlangsung, Kemenkominfo memutuskan membatasi akses masyarakat untuk menggunakan
media sosial serta aplikasi WhatsApp, terhitung sejak tanggal 22 s.d. 25 Mei
2019. Hal tersebut dilakukan guna menghindari penyebaran
hoaks dan hasutan yang berpotensi
memobilisir aksi massa yang lebih besar. (Radhia/ENS)
Short link