Latuharhary – Komnas HAM merilis hasil pemantauan terkait kasus Petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang sakit dan meninggal dunia melalui konferensi pers yang dihadiri oleh Ahmad Taufan Damanik (Ketua Komnas HAM), Hairansyah (Wakil Ketua Bidang Internal Komnas HAM), Amiruddin Al Rahab (Koordinator Penegakan HAM), dan Beka Ulung Hapsara (Koordinator Pemajuan HAM) di kantor Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat pada hari Selasa (21/05/19).
Berdasarkan hasil pantauan Komnas HAM, diidentifikasi sejumlah persoalan baik dari aspek regulasi kepemiluan, aspek jaminan kesehatan,
dan aspek kerawanan/ kekerasan, sebagai penyebab meninggalnya dan sakitnya
ratusan petugas KPPS tersebut.
“Pemantauan dilakukan secara independen melalui pengambilan sampel di beberapa daerah seperti Jawa Barat, Jawa Timur dan Banten. Keterbatasan waktu dan sumberdaya menjadi kendala dalam pengambilan sampel sehingga hanya beberapa sampel yang diambil. Untuk memperkokoh hasil pemantauan, Komnas HAM mengumpulkan informasi dengan melakukan FGD dengan FK UI, KPU dan Asosisasi Psikologi untuk meminta keterangan mereka sebagai Ahli,” ungkap Ahmad Taufan Damanik.
Terkait aspek regulasi, Komnas HAM antara lain menemukan rendahnya penetapan standar perekrutan Petugas KPPS semisal pada segi pendidikan (asal menerima petugas yang penting bisa baca dan tulis), lemahnya komitmen negara dalam memberikan fasilitas layanan kesehatan karena pekerjaan tersebut dinilai bersifat sukarela (asuransi kesehatan dan pembiayaan lainnya seperti honor dan pemenuhan syarat administrasi tidak diberikan) dan rekruitmen hanya menetapkan batasan usia minimal (17 tahun).
“Terdapat persoalan psikis dari Petugas KPPS dimana mereka merasa tertekan dan berhati hati karena khawatir adanya sanksi pidana apabila tidak melakukan tahapan penghitungan secara prosedural. Ketakutan ini membuat mereka bekerja sangat keras, hampir 24 jam, yang berakibat menurunnya kondisi kesehatan mereka,” ungkap Hairansyah.
Terkait aspek kesehatan, antara lain terjadi pengabaian terhadap perlindungan kesehatan (tidak memiliki asuransi kesehatan dan ketenagakerjaan) dan tidak adanya langkah terpadu baik dari KPU, Bawaslu dan Kementerian Kesehatan sebelum adanya/jatuhnya petugas secara masal dalam upaya antisipasi dan penanganan terhadap petugas.
Sementara terkait aspek kerawanan dan kekerasan, Komnas HAM belum menemukan indikasi tindak pidana yang mengarah pada kejahatan pemilu dalam penyelenggaraan pemilu (tidak adanya intimidasi dan kekerasan fisik terhadap petugas).
“Kami menemukan bahwa sebagian besar petugas KPPS adalah masyarakat biasa yang tingkat kepeduliannya terhadap kesehatan sangat kurang. Mereka meninggal tidak serentak, ada jeda waktu antara satu dan lain. Kami tidak menemukan adanya unsur pidana,”jelas Amiruddin.
Berdasarkan temuan ini, Komnas HAM merekomendasikan untuk dilakukannya tindakan otopsi guna mengetahui secara valid sebab-sebab kematian para Petugas KPPS; perlu dilakukannya evaluasi secara menyeluruh terhadap sistem kepemiluan yang berimbas terhadap dampak kematian dan sakit bagi penyelenggara terutama KPPS, PPS, PPK, Pengawas dan Petugas Keamanan, baik pada aspek regulasi persyaratan mengenai rekrutmen, usia, beban kerja, jaminan kesehatan (asuransi), kelayakan honor, dan logistik kepemiluan; dan memastikan adanya tanggung jawab Negara baik melalui Pemerintah, DPR, KPU, dan Bawaslu RI untuk memastikan adanya penanganan terhadap petugas baik yang meninggal dan sakit, termasuk pemulihannya.
Perlu disampaikan bahwa data KPU per tanggal 19 Mei 2019 pukul 13.00 WIB, menyebutkan bahwa Petugas KPPS yang meninggal dunia mencapai angka 553 orang (9,2%) dan sakit sebanyak 5.097 orang (90,8%). Persebaran paling besar terdapat di tiga provinsi yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Mayoritas Petugas KPPS yang sakit berada di rentang usia 31 s.d. 50 tahun, sedangkan yang meninggal berusia di atas 51 tahun. Sebagian besar yang meninggal ini diduga akibat pecahnya pembuluh darah jantung dan otak yang dapat dipengaruhi dan dipicu oleh faktor stres. (Feri/Utari/ENS)
Short link