Latuharhary – Komnas HAM tidak akan merubah posisi hukumnya terkait penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat masa termasuk kasus Talangsari dan tetap mengacu pada hasil penyelidikan lembaga, tegas Amiruddin, Koordinator Subkomisi Penegakan HAM, ketika menerima pengaduan dari Paguyuban Keluarga Korban Talangsari Lampung (P2TL) didampingi Amnesty Internasional, dan KontraS pada Senin, 4 Maret 2019 di Ruang Pengaduan Komnas HAM.
Menurut Amir, hasil penyelidikan Komnas HAM merupakan langkah hukum pidana yang harus ditindaklanjuti oleh Kejaksaan Agung RI dan dibawa ke Pengadilan HAM.
“Kami sangat berterimakasih atas kedatangan korban dan keluarga korban, ini suntikan semangat untuk Komnas HAM. Memang prosesnya tidak mudah dan harus melalui jalan berliku, namun kami secara kelembagaan tetap menjadikan pelanggaran HAM yang berat sebagai salah satu dari prioritas kerja Komisioner sehingga penyelesaian kasus Talangsari menjadi perhatian kami,” jelasnya di depan perwakilan keluarga korban.
Ia juga menjelaskan, bahwa terkait penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat, Komnas HAM telah membangun komunikasi dan menyelenggarakan 3 (tiga) kali pertemuan dengan pihak Kemenkopolhukam, namun belum mencapai langkah maju. “Terkait kondisi ini, pada pertemuan dengan Presiden RI pada Juli 2018, kami telah menyampaikan kepada Bapak Presiden bahwa perlu adanya komitmen bersama. Hal ini menjadi sangat penting apabila kita mau mendorong penyelesaian kasus-kasus ini (pelanggaran HAM Yang Berat),” ungkapnya.
Oleh karena itu, lanjut Amir, Komnas HAM akan segera melayangkan surat kepada Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Jenderal TNI (Purn) Wiranto guna menanyakan perihal deklarasi damai kasus peristiwa Talangsari 1989.
“Sejak awal Komnas HAM telah menolak adanya Tim Terpadu Penanganan Dugaan Pelanggaran HAM Berat Kemenko Polhukam, maka kami menjadi sangat terkejut ketika mendapat informasi adanya deklarasi damai yang dilakukan oleh Tim Terpadu Penanganan Dugaan Pelanggaran HAM Berat Kemenko Polhukam dan sejumlah pihak pada Rabu (20/2/2019) lalu di Lampung. Bagi kami apa yang dilakukan oleh Tim Terpadu Penanganan Dugaan Pelanggaran HAM Berat Kemenko Polhukam telah menyalahi prosedur hukum yang ada,” paparnya.
Sebagaimana disampaikan oleh Paguyuban Keluarga Korban Talangsari Lampung (P2TL), pada 20 Februari 2019, Tim Terpadu Penanganan Dugaan Pelanggaran HAM Berat Kemenko Polhukam bersama dengan Ketua DPRD Lampung Timur, Wakil Bupati Lampung Timur, Kepala Kejaksaan Negeri Lampung Timur, Kapolres Lampung Timur, Dandim 0429 Lampung Timur, KPN Sukadana Lampung Timur, Camat Labuhan Batu, Kepala Desa Rajabasa Lama, Tokoh masyarakat Talangsari, telah melakukan Deklarasi Damai untuk menyelesaikan kasus Talangsari Lampung 1989.
Terkait hal ini, Edi S yang merupakan Ketua Paguyuban Korban Talangsari Lampung, kepada Komnas HAM mengaku sangat kecewa atas adanya Deklarasi Damai yang telah dilakukan Tim Kemenkopolhukam, karena pihak-pihak yang hadir sama sekali tidak ada kaitannya dengan peristiwa Talangsari. “Saya memang pernah dihubungi oleh pihak Kemenkopolhukam, namun tidak mendapatkan informasi apapun terkait kegiatan deklarasi tersebut. Kami merasa ini bukan penyelesaian yang baik, maka kami mendesak Komnas HAM RI dan Jaksa Agung RI untuk melanjutkan proses peradilan dan mengabaikan deklarasi damai yang dilakukan sebelumnya,” tukasnya.
Pada kesempatan yang sama, Fery dari KontraS menyampaikan bahwa deklarasi damai yang dilakukan oleh Tim Kemenkopolhukam (diketuai oleh Brigjen Rudi Syamsir) dengan melibatkan berbagai pihak, telah menciderai hasil penyelidikan Komnas HAM RI yang menyatakan adanya dugaan pelanggaran HAM terhadap peristiwa Talangsari. “Tujuan korban dan keluarga korban datang adalah untuk melaporkan dan mendesak Komnas HAM menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM tersebut. Kami juga telah membuat laporan ke Ombudsman RI terkait adanya indikasi maladministrasi dan penyalahgunaan wewenang yang telah dilakukan Tim bentukan Kemenkopolhukam dan kami juga akan melapor ke Komisi III DPR RI dan LPSK”, tandasnya.
Usman Hamid dari Amnesty Internasional menambahkan bahwa deklarasi damai yang dilakukan telah menyalahi proses. Menurutnya terdapat 3 penyimpangan, yaitu adanya klaim masyarakat setempat diwakili DPRD Lampung Timur, padahal putusan tahun 2000 menyatakan DPRD tidak mempunyai wewenang untuk penyelesaian kasus dimaksud. Lalu dikatakan bahwa selama 30 tahun telah dibangun infrastuktur, ekonomi, dll. Padahal kenyataannya pembangunan infrastruktur dimulai tahun 2008 pada masa SBY dan kemudian mangkrak. Selanjutnya pada 2015, masa Bupati Lampung Timur saat ini. “Korban/Keluarga korban tidak ingin diungkap kembali, padahal tidak ada satupun korban/keluarga korban yang dilibatkan karena hanya mengundang orang yang dianggap tokoh masyarakat bernama Supriyadi dan Kades,” paparnya. (ENS)