Kabar Latuharhary –Talkshow “HAM dan Inklusi Sosial di Masa Lalu, Masa Kini dan Masa Depan” menjadi kegiatan pembuka dari serangkaian kegiatan Melaung HAM bersama Sivitas Akademika Universitas Sebelas Maret (UNS). Talkshow dilaksanakan di Aula FISIP UNS, Selasa (26/11/2019).
Hadir sebagai narasumber dalam talkshow ini, Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara, Ketua Komnas Perempuan, Azriana R. Manalu, Kepala Prodi Sosiologi FISIP UNS, Dr. Argyo Demartoto, dan Indonesia untuk Kemanusiaan, Lilik HS. serta dimoderatori oleh Anastasia Brillianti. Talkshow membahas keterkaitan HAM dan Inklusi Sosial di masa lalu dan masa kini di Indonesia. Dengan menggunakan sudut pandang norma HAM dan prinsip keinklusian dalam pembangunan. Selain itu perspektif pegiat HAM yang memndampingi para korban pelanggaran HAM yang berat masa lalu dan perempuan dikupas secara khusus. Dalam talkshow ini dibahas pula mengenai peran dan tantangan institusi kampus dan sivitas akademika terkait isu HAM.
Sebagai narasumber pertama, Beka Ulung Hapsara menyampaikan bahwa Indonesia patut berbangga ketika berbicara sejarah Hak Asasi Manusia. “Bangsa Indonesia patut bangga ketika berbicara soal sejarah Hak Asasi Manusia, karena pada Undang-Undang Dasar 1945 telah dikenal istilah HAM. Bahkan setelah itu, ada penegasan kembali soal HAM setelah adanya amandemen ke-empat Undang-Undang Dasar 1945 dimana hal tersebut sebagai komitmen dari Bangsa yang beragam ini,” ungkap Beka.
Selain itu, ia juga mengungkapkan bahwa Komnas HAM telah bertemu dengan Menkopolhukam dan telah menyepakati untuk segera menyelesaikan kasus pelanggaran HAM yang berat masa lalu. “Kami sudah bertemu dengan Menkopolhukam dan telah bersepakat bahwa kasus pelanggaran HAM yang berat masa lalu harus segera diselesaikan agar tidak menjadi beban sejarah dan ada keadilan bagi korban-korbannya,” tegasnya.
Dalam kesempatan kali ini Ketua Komnas Perempuan, Azriana R. Manalu menyampaikan bahwa kekerasan terhadap perempuan masih terus terjadi dengan pola yang sama. “Sampai saat ini kekerasan terhadap perempuan masih terus terjadi, bahkan dengan pola yang sama. Sebagai contoh apa yang dialami perempuan di Aceh pada masa DOM (Daerah Operasi Militer) sama dengan apa yang dialami perempuan Aceh di tahun 1965. Begitu pula perkosaan sebagai teror yang dialami oleh etnis Tionghoa pada tahun 1998 juga dialami oleh perempuan di Aceh dan Papua,” ungkapnya.
Selanjutnya, Lilik HS menyampaikan mengenai hak-hak dan keinginan dari para korban pelanggaran HAM yang berat di masa lalu. Ia menjelaskan bahwa saat ini di beberapa tempat di tanah air masih ada korban pelanggaran HAM yang berat tidak mendapatkan hak mereka, misalnnya dalam hal pelayanan dasar. “Banyak korban 1965 yang ada di Solo saat ini sudah berusia lebih dari 70 tahun. Diskriminasi, tuduhan, stigma negatif dan perasaan tidak dianggap dialami selama 50 tahun oleh korban. Hanya ada satu harapan dari para korban, yaitu pengakuan bahwa mereka ada dan merupakan bagian dari kita,” tegasnya.
Lilik juga mengungkapkan bahwa pertama kalinya mereka (korban) merasa diakui sebagai warga negara yaitu pada saat Komnas HAM memberikan Surat Keterangan Korban kepada mereka. Selain itu yaitu saat Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) memberi perlindungan kepada korban dimana hal ini merupakan yang pertama diperoleh dari Negara bahwa hak mereka dipenuhi.
Dr. Argyo Demartoto sebagai narasumber terakhir, mengungkapkan betapa pentingnya sosialisasi dan edukasi tentang Hak Asasi Manusia kepada anak muda seperti yang telah dilaksanakan kali ini. “Ada kalanya anggota masyarakat memberikan stampel atau labelling kepada para penyintas karena masyarakat mempunyai pemahaman dan pandangan yang salah mengenai keberadaan para penyintas sehingga penting untuk diluruskan. Sosialisasi dan edukasi tentang HAM menjadi sangat penting karena nilai HAM adalah nilai kemerdekaan setiap orang,” paparnya. (Utari)
Short link