Jember – HAM bukan lagi materi yang terlalu berat untuk dibicarakan bahkan perlu dihindari terutama bagi kalangan millenials. Sesungguhnya begitu banyaknya persoalan HAM yang dekat dengan kehidupan sehari –hari, bahkan belakangan ikut menjadi bagian dari diskusi di kalangan millenials. Menyadari pentingnya hal tersebut, Komnas HAM melalui Festival HAM 2019 menghadirkan Warung HAM sebagai salah satu wadah diskusi bagi kaum millenials. Acara ini bukan hanya dihadiri oleh kalangan muda Jember, juga menghadirkan seluruh komisioner Komnas HAM, Bupati Jember, serta beberapa narasumber yaitu Munafrizal Manan (Komisioner Subkomisi Mediasi Komnas HAM), Muhammad Faisal (Perwakilan Youth Lab), Haris Dermawan (perwakilan Nusantara Youth Care), serta Gustika Jusuf-Hatta (Youth Adviser United Nations Population Fund/ UNPFA), bertempat di alun-alun Kabupaten Jember pada Selasa (19/11/2019).
“Millenials sebagai agen perubahan bangsa kian hari semakin terlihat gaungnya. Banyaknya aksi yang dibuat oleh mahasiswa terkait kebijakan yang nyleneh atau dirasa tidak relevan menjadi bentuk kepedulian mahasiswa akan berlangsungnya tatanan pemerintahan di Indonesia. Mahasiswa dan kaum millenials lainnya sudah mulai menyadari haknya sebagai warga negara yang merupakan bagian dari pemenuhan HAM oleh negara. Kesadaran anak muda sekarang akan HAM menjadi kabar yang menggembirakan", ujar Munafrizal.
Sesi Warung HAM yang digelar di siku alun-alun kota Jember tersebut juga menghadirkan band lokal yang sukses menghibur pengunjung warung HAM. Acara yang berlangsung pukul 19.00 hingga 21.00 ini, berjalan cukup hangat dalam hembusan angin malam Kabupaten Jember.
Munafrizal menyampaikan perhatiannya pada kemajuan teknologi digital saat ini dan yang akan datang. Kondisi ini, lanjutnya, akan berpengaruh terhadap potret hak asasi manusia masa depan dan tentunya berpengaruh terhadap anak muda. “Satu sisi saya melihat kalangan anak muda ini, dengan sudut pandang yang optimistis, bahwa perlindungan dan penegakan HAM akan terus menggema. Akan tetapi di sisi lain kita juga harus melihat sisi kekinian anak muda dalam menghadapi tantangan, yang tentu saja berbeda dari anak muda pada zaman sebelumya,” lanjut Munafrizal.
Lebih spesifik, Munafrizal menyampaikan bahwa terkait pemenuhan hak atas pekerjaan, akan mengalami perubahan yang signifikan akibat kemajuan perkembangan zaman dan kecerdasan buatan. “Melihat tipelogi millenials saat ini, ke depan akan terjadi pengurangan lahan pekerjaan bagi anak muda dan ini merupakan salah satu tantangan generasi muda zaman sekarang dan masa depan,” tukasnya.
Munafrizal juga sedikit mengutip puisi karya Ws Rendra (Tahun 1990) berjudul “Tanpa hak asasi, tidak ada kepastian kehidupan.” Lebih lanjut ia menyampaikan bahwa kehidupan adalah sesuatu hal yang penting, namun apabila dalam kehidupan tersebut tidak terjamin secara eksplisit hak hidup seseorang, maka kehidupan tersebut dapat menjadi tidak penting.
Pada kesempatan yang sama, perwakilan Youth Lab Muhammad Faisal, memaparkan penelitiannya terkait anak muda Indonesia. Menurutnya, anak muda Indonesia cenderung sulit untuk diteliti. Oleh karena itu, ketika melakukan penelitian dengan objek anak muda, dirinya mengaku menggunakan pendekatan etnografi.
“Anak muda khususnya anak muda Indonesia cukup sulit untuk diteliti. Apabila diberikan survey, mereka cenderung hanya menjawab netral saja, atau apabila melakukan FGD (Focus Group Discussion), mereka cenderung akan mengikuti teman yang cerdas di ruangan. Meneliti anak muda itu sama seperti meneliti suku pedalaman, harus membangun hubungan yang baik terlebih dahulu,” jelasnya.
Sementara itu, Gustika Jusuf-Hatta (Youth Adviser United Nations Population Fund/ UNPFA), menyampaikan perhatiannya terhadap isu kesehatan reproduksi. Kendati penting, menurut Gustika, isu ini masih belum diwacanakan secara luas melihat stigma masyarakat bahwa isu ini tergolong tabu untuk dibicarakan.
“Pada konteks Indonesia, UNFPA (United Nations Population Fund) mencoba untuk mengurangi angka perkawinan anak di bawah umur dan memperjuangkan hak-hak anak muda. Indonesia itu adalah negara di Asia tenggara yang angka pernikahan anaknya paling tinggi,” jelas Gustika.
Pembicara lain, Haris Darmawan, mengungkapkan bahwa Jember adalah wilayah di Jawa Timur dengan populasi buta aksara tertinggi. Kondisi ini melatarbelakangi terbentuknya komunitas Nusantara Youth Care. Melalui komunitas ini, Ia berharap setidaknya dapat mengurangi angka buta aksara. Akan tetapi Haris juga menjelaskan bahwa dirinya masih mengalami kesulitan dalam mensosialisasikan persoalan ini.
“Di Jember istilah HAM tidak lagi familiar. Sementara persoalan buta aksara ini modalnya cukup besar, khususnya untuk desa tertinggal, susah mengumpulkan masyarakat produktif. Selain itu, isu buta aksara juga tergolong sulit untuk disosialisasikan. Alhasil kami tidak bisa ke ranah sana. Tidak cukup kuat menjadi advokasi bagi isu buta aksara. Ketika kami tidak bisa membantu buta aksara, akhirnya kami mengadakan on the spot kartu keluarga dan KTP,” jelas Haris.
Lebih lanjut, Haris juga berharap agar anak-anak muda khususnya anak muda Jember untuk membangun bersama Kabupaten Jember sebagai wilayah ramah HAM. “Kami butuh tangan, kaki, pikiran anak muda. Sesekali datanglah ke desa-desa dengan landscape yang berbeda. Kami butuh tangan-tangan muda untuk membangun Jember khususnya dari desa ke desa,” harap Haris.
Diskusi di Warung HAM ini cukup menarik perhatian masyarakat yang hadir, khususnya kalangan anak muda. Hal tersebut terlihat dari antusiasme mereka dalam mengajukan pertanyaan kepada para narasumber yang hadir. Salah satu pertanyaan diajukan oleh Agung yang merupakan mahasiswa Universitas Negeri Jember. Ia mempertanyakan perihal kemajuan teknologi yang berpotensi menggantikan peran manusia.
Menanggapi pertanyaan tersebut, Faisal memaparkan temuannya terkait anak muda Indonesia. Menurutnya, anak muda Indonesia memiliki kecenderungan tidak terlalu mengikuti alur globalisasi, dan terdapat kecenderungan kembali ke akar untuk mencari keseimbangan.
“Banyak anak muda yang kini menghidupkan kembali kebudayaan lokal, dan kolektivitas dengan gotong royong misalnya. Menurut saya, perkembangan teknologi sudah tidak linier, perkembangan teknologi ke depannya akan eksponensial (percepatan). Indonesia sampai sekarang menurut saya tidak bisa dibaca dengan big data. Kita terlalu besar untuk dibaca oleh teknologi apapun,” jelasnya.
Berikutnya adalah Fatima. Ia menuturkan bahwa kasus pernikahan dini memang sangat nyata, dan hal tersebut terjadi di lingkungannya. ”Apa yang harus saya lakukan, bagaimana kita dapat menaikkan angka harapan hidup di Indonesia apabila di desa desa masih ada masalah seperti ini?” Katanya.
Menurut Gustika, sudah saatnya kurikulum di Indonesia mengajarkan tentang hak-hak, dan diterapkan pula kepada anak-anak sejak kecil. “Leadership juga suatu hal yang sangat penting diterapkan kepada anak anak sejak kecil, agar mereka memiliki kesadaran akan otonomi tubuh mereka sendiri. Anak muda tidak boleh apatis, karena hak asasi manusia melekat pada diri kita. Maka harus diperjuangkan.” Ujar Gustika.
Sebagai penutup, Munafrizal Manan menekankan bahwa hak asasi manusia yang dapat dinikmati pada saat ini adalah hasil dari anak muda pada masanya. Menurutnya, HAM bukanlah sesuatu yang terlalu rumit dan melangit, namun HAM dapat berkaitan dengan isu keseharian. “Peran pemuda hari ini dan ke depan sebetulnya bisa dalam hal mewujudkan HAM menjadi sesuatu yang konkret pada kehidupan keseharian,” tutup Munafrizal. (Radhia/Feri/ENS)
Short link