Latuharhary - Ketua Komnas HAM RI Ahmad Taufan Damanik memberi perhatian pada persoalan eksploitasi ekonomi anak.
Taufan mencermati persoalan ini berdasarkan perspektif hak asasi manusia. Ia mengajak untuk menilik lagi Pasal 32 Konvensi Hak Anak yang spesifik membahas mengenai anak-anak korban eksploitasi ekonomi.
“Dalam Pasal 32 dikatakan eksploitasi ekonomi anak adalah ketika suatu tindakan atau kegiatan yang dilakukan oleh anak-anak dalam kaitan dengan ekonomi, mengganggu hak atas pendidikannya, kesehatannya, kemudian mengganggu tumbuh kembangnya dalam dimensi moral, spiritual, intelektual, dan lain-lain,” ujarnya dalam diskusi bertajuk Mengurai Makna Eksploitasi Ekonomi Anak dalam rangka kegiatan Pekan HAM Universitas Indonesia, Rabu (4/12/2019) lalu.
Ia menjelaskan relevansi hak anak dengan kewajiban bagi negara untuk memenuhinya secara adil. Meski anak adalah seorang manusia yang belum mencapai usia 18 tahun, kata Taufan, tapi memiliki hak asasi manusia yang sama. Hanya saja perspektifnya mesti dikaitkan dengan proses tumbuh kembang baik fisik, intelektual, emosional, dan moral.
“Kalau saya sebagai orang dewasa bekerja, maka hak untuk bekerja saya nikmati dalam rangka memenuhi kebutuhan ekonomi dan tanggung jawab saya sebagai orang tua dan atau suami. Tapi untuk anak, karena mereka masih dalam tanggungan orang tua, maka bekerja bukanlah hak yang sama sebagaimana orang dewasa," imbuh Taufan.
Kalaupun ada anak yang bekerja, ia menilainya mesti dilihat sebagai latihan kerja untuk mempersiapkan masa dewasanya agar terbentuk jiwa mandiri. Begitu pun dalam berkekspresi, hak berekspresi orang dewasa adalah hak politik yang otonom sementara bagi anak kebebasan berekspresi mesti dilihat dalam konteks pendidikan, pengembangan diri seorang anak agar kelak bisa menjadi orang dewasa yang cerdas, memiliki kekuatan intelektual dan mandiri secara politik.
Taufan kemudian menjelaskan kehadiran negara dalam mengatasi persoalan eksploitasi anak berdasarkan Konvensi Hak Anak Pasal 32. Taufan juga menilik konvensi ILO Nomor 138. Ia pun mencermati pasal yang mengatur tentang kriminalisasi bagi orang yang melanggar dihapuskan dalam UU Nomor 1 Tahun 2000.
“Saya kira harus ada langkah kita untuk menerobos supaya UU Nomor 1 Tahun 2000 ini dilakukan review agar sebagaimana yang terdapat dalam konvensi ILO nomor 182, mengkriminalkan orang-orang yang melakukan pelanggaran juga terdapat dalam UU Nomor 1 Tahun 2000. Mestinya ada pasal yang mengatur tentang sanksi bagi orang-orang yang mempekerjakan anak di tempat-tempat seperti itu. Hal ini juga berarti Negara tidak sepenuhnya comply dengan standar internasional,” harapnya.
Taufan sempat menceritakan pengalaman pribadinya memperjuangkan penghapusan buruh anak di jermal perairan pantai Timur Sumatera Utara sejak 1993. Ia akhirnya berhasil memenangkannya dalam Sidang ILO tahun 1998.
Walhasil, di bawah pemerintahan Presiden RI ke-3 BJ Habibie, pemerintah memerintahkan pelarangan anak-anak bekerja di sektor yang berbahaya, yakni jermal di tengah laut karena anak-anak bekerja siang dan malam mirip perbudakan. Isu yang diperjuangkan Taufan dan teman-temannya ini akhirnya menghasilkan rafifikasi Konvensi ILO 182 tentang Pelarangan Mempekerjakan Anak di Tempat Berbahaya yang kemudian oleh Presiden RI ke-4 KH Abdurrahman Wahid dituangkan ke dalam UU No. 1 tahun 2000. Sayangnya Undang-Undang tersebut tanpa dilengkapi pasal yang mengkriminalkan pelaku yang mempekerjakan anak-anak (AAP/IW)
Short link