Kabar Latuharhary

Komnas HAM Minta Penundaan Pengesahan Draft RKUHP

Latuharhary – Komnas HAM meminta penundaan pengesahan draft  Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pindana (RKUHP) karena terdapat isu-isu krusial yang perlu diperhatikan oleh panitia kerja dan tim perumusan RKUHP, kata Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM Choirul Anam dalam Diskusi Publik Rancangan Undang-undang KUHP, pada Selasa (3/9/2019).

Salah isu yang dimaksud adalah terkait tindak pidana khusus dalam RKUHP, khususnya mengenai pengaturan tindakan-tindakan yang dapat digolongkan dalam kejahatan luar biasa atau pelanggaran HAM berat. Menurut Anam, pelanggaran HAM berat seharusnya tidak diatur dalam RKUHP.

“Komnas memiliki kepentingan yang sangat besar terkait pidana khusus, khususnya mengenai pengaturan pelanggaran HAM yang berat dalam RKUHP. Kami mengharapkan agar materi ini tidak diatur dalam RKUHP,” tegasnya. 

Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berencana untuk menjadwalkan pengesahan draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pindana (RKUHP), dalam Rapat Paripurna DPR RI yang akan diselenggarakan pada 24 September 2019 mendatang. 

Perlu disampaikan bahwa terkait penanganan kasus-kasus yang tergolong Pelanggaran HAM yang Berat dan Pelanggaran HAM masa lalu, tidak terdapat masa kadaluarsa. Rencana dimasukannya tindak pidana khusus ke dalam draf RKUHP berpotensi melemahkan kewenangan Komnas HAM sebagai lembaga yang memiliki kewenangan penyelidikan sebagaimana UU No.26/2000 tentang Pengadilan HAM. Selain itu, tindak pidana umum dan tindak pidana khusus pun memiliki prinsip yang menyimpang, meliputi sifat pemberlakuan, hukum acara, masa penuntutan dan eksekusi, serta sifat kejahatannya. 

“Dalam konteks pelanggaran HAM yang berat, asas-asas dan doktrin hak asasi manusia nanti akan menjadi kontradiksi. Terutama dalam konteks pelanggaran HAM yang berat tidak mengenal istilah kadaluarsa.  Sedangkan RKUHP justru  mempertegas masa kadaluarsa,” ungkap Anam.

Lebih lanjut, Anam menuturkan bahwa keberadaan RKUHP ini akan menimbulkan kesulitan bagi pihak penegak hukum untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM yang berat. Selain itu, ia juga mengutarakan bahwa salah satu undang-undang yang menjadi mandat Komnas HAM, yaitu UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, untuk segera direvisi. 

“Dampaknya memang akan menyulitkan pihak penegak hukum dalam penanganan kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat. Terlebih dengan konsep yuridiksi dan asas-asas yang dibangun dalam RKUHP, sesungguhnya akan membuka celah dan peluang semakin kaburnya penanganan kasus-kasus  pelanggaran HAM yang berat. Langkah yang paling bijak adalah mengeluarkan materi penanganan pelanggaran HAM yang berat dari RKUHP dan merevisi undang-undang 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM,” Papar Anam.

Sejumlah materi yang menurut Anam perlu direvisi pada UU No.26 Tahun 2000 antara lain mengganti definisi penganiayaan menjadi persekusi, lalu menambah kewenangan yang dimiliki Komnas HAM dalam menangani kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat.

“Idealnya, Komnas HAM memiliki kewenangan sebagai penyidik dan penuntut. Revisi Undang-undang No 26 tahun 2000 menjadi penting untuk dibicarakan karena memberikan kewenangan kepada Komnas HAM untuk melakukan penyidikan, menegaskan peran Komnas HAM sebagai satu-satunya lembaga negara yang mempunyai kewenangan menyatakan pelanggaran HAM yang berat, menguraikan beberapa doktrin dalam prinsip-prinsip hak asasi manusia dalam penanganan kasus. Semisal, pembuktian perintah komando, dalam kasus pidana, pembuktiannya harus hitam di atas putih, sedangkan dalam konteks hak asasi manusia, hal itu tidak diperlukan ,” paparnya. 

Sebagai penutup, Anam menjelaskan mengenai penanganan pelanggaran HAM masa lalu yang tertahan cukup lama di Kejaksaan Agung. “Terkait kasus-kasus yang macet di Kejaksaan Agung, dan terjadi di bawah tahun 2000, bisa diberlakukan diskresi seperti mengeluarkan Perppu agar Komnas HAM menjadi Penyidik pada kasus-kasus tersebut. Agar ada percepatan. Kalau tidak, kasus ini akan terus macet, dan tidak beranjak kemana-mana,” pungkasnya. (Radhia/ENS)

Short link