Kota Bandung menjadi tuan rumah Forum Pertanahan Global (Global Land Forum), yang diikuti oleh 1000 peserta dari 84 negara. Kegiatan dibuka pada Senin (24/9), yang dihadiri oleh Kepala KSP Moeldoko, Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik, Ketua Panitia Nasional GLF Dewi Kartika dan Menko Perekonomian Darmin Nasution.
GLF adalah forum pertanahan terbesar di dunia yang diadakan setiap tiga tahun sekali. Forum ini terdiri atas organisasi masyarakat sipil, lembaga pembangunan internasional, organisasi tani dan pemerintah. Tema GLF 2018 adalah bersatu untuk hak atas tanah, perdamaian dan keadilan.
Dalam sambutannya, Dewi Kartika menyampaikan bahwa forum ini untuk melihat sampai pada titik mana reforma agraria yang dicanangkan sejak 2014 telah tercapai. "Kita menuju pada tata kelola agraria yang berkeadilan dan sejati. Kita mendorong adanya keputusan politik dan hukum untuk menata ulang struktur agraria yang berkeadilan untuk petani, buruh tani, nelayan dan masyarakat adat," ujar Dewi.
Dewi menyampaikan bahwa 30 persen lahan dibawah yurisdiksi Kementerian ATR dan 70 persen dibawah Kemen LHK. "Yang diperlukan adalah unit terpadu untuk reforma agraria, jadi kedua kementerian itu harus berkoordinasi dan bekerjasama dengan partisipasi aktif masyarakat sipil," tegas Dewi.
Michael Taylor selaku Kepala Sekretariat International Land Coallition menyampaikan bahwa Indonesia sebagai pemimpin untuk reforma agraria dan perhutanan sosial menuju pada akses atas tanah yang berkeadilan. "Reforma agraria adalah soal redistribusi tanah dan kepemilikan tanah, bukan semata soal sertifikasi," ujar Taylor.
Ia mengapresiasi moratorium atas ekspansi perkebunan sawit yang merupakan sebuah langkah yang penting. Ia juga mendesak supaya kriminalisasi atas ratusan petani dihentikan.
Sementara Moeldoko menyampaikan bahwa reforma agraria berbasis pada pemerataan, dalam konteks kebijakan perekonomian negara. GLF adalah kegiatan masyarakat sipil yang didukung penuh oleh pemerintah. "Saya meminta GLF sebagai forum pertanahan terbesar di dunia bisa mempertemukan perspektif dan pandangan dari berbagai kalangan," kata Moeldoko.
Menurut Moeldoko, ini adalah momentum untuk menyusun langkah bersama untuk menyelesaikan persoalan agraria dan adanya kajian akademik secara internasional. "Presiden berkomitmen untuk segera menerbitkan Perpres tentang Reforma Agraria," tegasnya.
Sementara Dirjen Perhutanan Sosial Kemen LHK Bambang Supriyanto menyampaikan bahwa Presiden Jokowi berkomitmen untuk mendistribusikan 12,7 juta hektar perhutanan sosial dan 9 juta hektar lahan untuk mewujudkan reforma agraria. "Dari 120 juta lahan dan hutan yang bisa dimanfaatkan, ternyata 43 juta telah dikelola oleh perusahaan, sedangkan 0,4 juta hektar untuk masyatakat. Ketimpangan ini hendak diatasi melalui reforma agraria,"ujarnya.
Akan tetapi, lanjut Bambang, inventarisasi dan sasaran harus tepat. Hal ini jangan sampai ada free rider atau pebisnis tanah. "Tata kelola perhutanan sosial dan tanah harus benar,"tegasnya.
Sementara dalam deklarasinya, 15 petani perwakilan dari 15 provinsi nenegaskan pengakuan atas Hari tani nasional ke 58. Mereka juga menyeru bahwa reforma agraria adalah keharusan untuk menyelesaikan ketimpangan yang ada. "Kami meminta adanya badan otoritas reforma agraria yang dipimpin langsung presiden," tegas mereka.
Lebih lanjut ditegaskan, bahwa pemerintah harus memprioritaskan pengelolaan HGU dan HGB untuk masyarakat dan badan usaha desa.
Mereka juga meminta penghentian kriminalisasi terhadap masyarakat yang sedang memperjuangkan hak atas tanah dan membebaskan mereka yang telah dipenjarakan, serta meminta pemerintah dan DPR merevisi undang-undang yang menjadi alat kriminalisasi petani.
GLF akan berlangsung hingga 26 September 2018, yang diisi dengan seminar, diskusi panel, field visit dan festival agraria dimana Komnas HAM sebagai co host juga turut membuka stand pendidikan dan penyuluhan HAM. (MDH)
Short link