Terkait dengan kebutuhan untuk mempercepat pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Terorisme, Komnas HAM sepakat dengan upaya tersebut. Hal ini untuk merespon gencarnya aksi-aksi terorisme di beberapa wilayah, khususnya di Jawa Timur, yang telah menimbulkan puluhan korban jiwa dan puluhan lainnya luka-luka.
Menurut Komisioner Komnas HAM Mochamad Choirul Anam, di dalam revisi tersebut, harus dipertegas paradigma penanganan terorisme di bawah sistem peradilan pidana (criminal justice system). "Proses hukum dan prinsip penghormatan atas hak asasi manusia harus diutamakan," ujar Anam.
Selain itu, lanjut Anam, diperlukan harmonisasi peraturan perundang-undangan dalam pemberatasan terorisme dengan KUHP, putusan Mahkamah Konstitusi, terkait dengan perencanaan, percobaan, turut serta dan penghasutan.
Komnas HAM juga memberikan catatan tentang ketentuan penyadapan yang harus disesuaikan antara kepentingan penegakan hukum dan intelijen, dengan mengutamakan asas hukum yang cepat, sederhana, dan berbiaya ringan. Dalam aspek penangkapan dan penahanan, juga harus dijelaskan aspek lokasi penahanan dan jangka waktunya.
Lebih lanjut, Komnas HAM mengapresiasi RUU tindak pidana terorisme yang sudah memasukkan aspek hak-hak korban terorisme dan ada pengaturan yang lebih komprehensif dari upaya pencegahan, penindakan, pemulihan hak korban dan upaya deradikalisasi.
Terkait dengan pelibatan TNI, Komnas HAM menyatakan bahwa hal ini tidak tepat oleh karena pemberantasan terorisme diatur dalam koridor sistem peradilan pidana yang menjadi wewenang kepolisian. Keterlibatan TNI sudah diatur di dalam UU tentang Tentara Nasional Indonesia yaitu dalam operasi militer selain perang. (AS)
Menurut Komisioner Komnas HAM Mochamad Choirul Anam, di dalam revisi tersebut, harus dipertegas paradigma penanganan terorisme di bawah sistem peradilan pidana (criminal justice system). "Proses hukum dan prinsip penghormatan atas hak asasi manusia harus diutamakan," ujar Anam.
Selain itu, lanjut Anam, diperlukan harmonisasi peraturan perundang-undangan dalam pemberatasan terorisme dengan KUHP, putusan Mahkamah Konstitusi, terkait dengan perencanaan, percobaan, turut serta dan penghasutan.
Komnas HAM juga memberikan catatan tentang ketentuan penyadapan yang harus disesuaikan antara kepentingan penegakan hukum dan intelijen, dengan mengutamakan asas hukum yang cepat, sederhana, dan berbiaya ringan. Dalam aspek penangkapan dan penahanan, juga harus dijelaskan aspek lokasi penahanan dan jangka waktunya.
Lebih lanjut, Komnas HAM mengapresiasi RUU tindak pidana terorisme yang sudah memasukkan aspek hak-hak korban terorisme dan ada pengaturan yang lebih komprehensif dari upaya pencegahan, penindakan, pemulihan hak korban dan upaya deradikalisasi.
Terkait dengan pelibatan TNI, Komnas HAM menyatakan bahwa hal ini tidak tepat oleh karena pemberantasan terorisme diatur dalam koridor sistem peradilan pidana yang menjadi wewenang kepolisian. Keterlibatan TNI sudah diatur di dalam UU tentang Tentara Nasional Indonesia yaitu dalam operasi militer selain perang. (AS)
Short link