Pasca
sepuluh tahun lahirnya Undang-Undang No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan
Diskriminasi Ras dan Etnis, sejumlah tantangan masih banyak ditemukan.
Temuan atas survei yang dilakukan oleh Komnas HAM dan
Litbang Kompas menggambarkan bahwa kesadaran masyarakat terhadap isu diskriminasi
ras dan etnis masih
perlu ditingkatkan. Hasil survey itu disampaikan ke publik di kantor Komnas
HAM pada Jum’at (26/11).
Data
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mencatat sedikitnya terdapat 101
pelanggaran ras dan etnis dalam rentang tahun 2011-2018. Berbagai aduan publik
tersebut meliputi beragam spektrum praktik diskriminasi seperti pembatasan
terhadap pelayanan publik, maraknya politik etnisitas/identitas, pembubaran
ritual adat, diskriminasi atas hak kepemilikan tanah bagi kelompok minortas,
dan akses ketenagakerjaan yang belum berkeadilan.
“Survei ini secara khusus bertujuan mengevaluasi penilaian publik
terhadap upaya penghapusan diskriminasi ras dan etnis dengan menggali persepsi,
mengukur kepuasan dan mengeksplorasi ekspektasi. Penelitian ini juga ditujukan
sebagai bahan refleksi 10 tahun pelaksanaan Undang-Undang No. 40 Tahun 2008,”
ujar Komisioner Pengkajian dan Penelitian, Mochammad Choirul Anam.
Survei dilakukan dengan menggunakan metode kuantitatif melalui wawancara
tatap muka terhadap 1207 responden di
34 provinsi yang dilaksanakan pada 25 September-3 Oktober 2018. Responden
berusia 17-65 tahun mewakili latar belakang sosial ekonomi beragam
(bawah-menengah-atas) dengan karakteristik jenis kelamin laki-laki dan
perempuan yang proporsional.
Dalam survei tersebut, Komnas HAM menemukan bahwa berbagai perbedaan
latar belakang ras dan etnis diakui responden sebagai hal yang
menguntungkan/memudahkan. Dalam berbagai konteks, situasi ini mengonfirmasi
bahwa primordialisme masih menjadi nilai penting yang dipegang oleh masyarakat.
Menurut peneliti senior Komnas HAM Elfansuri, data tersebut juga
menunjukkan bahwa tingkat segregasi sosial di masyarakat masih
tinggi—ditunjukkan dengan tingkat persetujuan lebih dari 80%. “Potensi akan
adanya tindakan diskriminasi ras dan etnis memiliki probabilitas yang cukup
besar, atau setidaknya hal ini mengindetifikasikan sikap permisif sebagian
masyarakat atas tindakan diskriminasi ras dan etnis yang terjadi di tengah
masyarakat,” ujar Elfansuri.
Berdasarkan empat bentuk tindakan diskriminasi ras dan etnis di dalam UU
40 Tahun 2008, sebanyak lebih dari 70% mayoritas responden mengaku tidak pernah
melihat praktik diskriminasi berdasarkan ras dan etnis. Namun sebagian dari
responden mengaku bahwa dirinya pernah melihat berbagai bentuk dan aktivitas
diskriminasi di fasilitas umum milik pemerintah seperti kelurahan, sekolah,
puskesmas, dan lainnya.
Memperkuat hal tersebut, lebih dari 90% responden mengaku bahwa dirinya
belum pernah mengalami tindakan diskriminasi ras dan etnis. Temuan ini memiliki
dua kemungkinan, tindakan diskriminasi ras dan etnis memang benar-benar sangat
jarang terjadi atau, yang mengkhawatirkan adalah pemahaman masyarakat tentang
bentuk-bentuk diskriminasi ras dan etnis selama ini tidak cukup memadai
sehingga menganggap tindakan-tindakan diskriminasi tersebut bukan merupakan
tindakan pelanggaran hukum yang serius.
“Jika asumsi kedua benar adanya, maka dibutuhkan kerja keras semua
pemangku kepentingan untuk memberikan penyadaran bagi masyarakat terkait
bentuk-bentuk diskriminasi ras dan etnis,” ujar Elfansuri.
Dalam konteks medium penyebaran, televisi,
teman/keluarga, dan media sosial menjadi sumber informasi utama terkait isu
diskriminasi ras dan etnis. Perputaran informasi dalam medium tersebut pada
praktiknya saat ini tak jarang menjadi arena pertarungan ideologi/politik
melalui penyebaran berita bohong (misinformation)
yang justru kontraproduktif dengan semangat kebhinekaan.
Hasil lain dari survei ini juga menunjukkan bahwa lebih
dari separuh responden mengaku akan melakukan tindakan saat menerima perlakuan diskriminasi ras dan etnis. Masyarakat mengaku akan
menegur pelaku dengan cara baik-baik dan melaporkan ke pihak berwenang. Hal ini
menunjukkan bahwa masyarakat cenderung reaktif dalam merespon tindakan
diskriminasi ras dan etnis, daripada terlibat langsung dalam kegiatan
sosialisasi atau menjadi anggota komunitas.
Atas hadirnya Survei Penilaian Masyarakat terhadap Upaya Penghapusan
Diskriminasi Ras dan Etnis, Komnas HAM mendorong lembaga negara, aparat negara, dan semua pihak agar lebih
serius merespon dan mencegah terjadinya diskriminasi ras dan etnis di
masyarakat.
“Meningkatnya tensi politik menjelang Pemilihan Umum
2019, harus kita pastikan bersama jangan sampai berseberangan dengan nilai dan
prinsip penghormatan hak asasi manusia.” tegas Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan
Damanik.
Ia menambahkan bahwa selain survei yang berkaitan
dengan diskriminasi ras dan etnis, Komnas HAM juga telah menyusun Standar Norma
dan Setting Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis untuk
menyikapi kebutuhan
pemaknaan, penilaian dan penafsiran atas praktik diskriminasi ras
dan etnis di Indonesia. (Alvin)
Short link