Komnas HAM RI sesuai dengan mandat pelaksanaan pemantauan yang diatur dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia serta kewenangan atas pengawasan penghapusan diskriminasi ras dan etnis sebagaimana diatur dalam UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, telah melakukan pemantauan penyelenggaran pilkada serentak tahap tiga pada 27 Juni 2018.
Komnas HAM melakukan pemantauan di Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat dan Maluku.
Beberapa faktor penting yang mendorong Komnas HAM RI melakukan pemantaun Pilkada serentak 2018 meliputi wilayah yang sangat luas dan melibatkan jumlah populasi pemilih yang sangat banyak. Disamping itu, saat ini ada gejala merebaknya penebaran kebencian (hate speech) yang kerap berujung pada tindakan diskriminatif.
Serta mencuatnya gejala oligarki dalam proses pencalonan Pilkada yang akan menciptakan kondisi negatif bagi pemajuan, perlindungan, penegakan dan pemenuhan HAM, serta masih terabaikannya kelompok-kelompok rentan dan minoritas dalam proses Pilkada.
Hasil pemantauan Pilkada 2018 disampaikan di hadapan wartawan pada Senin, 6 Agustus 2018, oleh tiga komisioner Komnas HAM, yaitu Amiruddin, Beka Ulung Hapsara, dan Munafrizal Manan.
Secara keseluruhan, Komnas HAM RI telah mengikuti seluruh proses pentahapan yang dilakukan oleh KPU RI yang memiliki tanggungjawab utama dalam penyelenggaran pilkada serentak 2018.
Berdasarkan pemantauan, disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Apsek pemenuhan hak pilih masyarakat
a. Terutama dalam aspek pendataan pemilih sampai penetapan DPT oleh KPU telah terjadi proses yang kurang selaras dengan HAM, karena mengabaikan pendataan terhadap pemilih yang telah berusia 17 tahun dan/atau sudah menikah sesuai dengan ketentuan Konstitusi UUD 1945, hanya dengan alasan administratif belum memiliki KTP elektronik dan/atau melakukan perekaman. Akibatnya, sampai menjelang tahap pemungutan suarat persoalan tersebut masih menjadi sorotan publik.
b. Bahwa terdapat upaya yang dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri RI melalui Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil dengan berupaya melakukan perekamanan KTP elektronik dan menerbitkan Surat Keterangan (SUKET) sehingga menjadi dasar dalam pendataan dan penetapan pemilih oleh KPU.
c. Bahwa KPU RI berupaya memfasilitasi pemilih yang belum memiliki KTP-elektronik dan SUKET melalui Surat Edaran KPU Nomor 574/PL.03.6-SD/06/KPU/VI/2018, tertanggal 8 Juni 2018, meskipun upaya tersebut terlambat dan sulit implementasinya karena hanya berlaku bagi mereka yang tercatat dalam DPT, padahal secara umum syarat agar masuk dalam DPT harus memiliki dokumen tersebut.
d. Belum adanya informasi dan evaluasi terhadap proses perekaman dan penerbitan SUKET, serta SE KPU tersebut di atas dalam menjamin hak pilih masyarakat karena tidak ada data yang akurat mengenai jumlah pemilih yang terlayani sehingga dapat menggunakan hak konstitusionalnya. Hal tersebut tercermin dalam pemantauan di Maluku, Jawa Timur dan Sumatera Utara.
2. Aspek pemenuhan hak pilih kelompok rentan:
a. Khusus terhadap penyandang disabilitas, KPU layak mendapatkan apresiasi karena secara maksimal menjamin pemenuhan hak kosntitusionalnya mulai tahap pendataan pemilih, sosialisasi, penyediaan fasilitasi bagi pemilih. Bahkan di beberapa tempat, seperti di Kalimantan Timur melibatkan penyandang disabilitas sebagai panitia penyelenggara pemilihan (KPPS).
b. Terhadap pemilih para tahanan di Rumah Tahanan dan warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan memiliki perlakuan yang berbeda-beda meskipun dengan alasan yang sama terkait dengan dokumen KTp-elekronik dan/atau SUKET, secara umum untuk Kalimantan Timur, Jawa Tengah relatif difasilitasi dengan baik karena ada penambahan pemilih yang signifikan. Sedangkan di Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Jawa Timur dan Jawa Barat, masih menjadi persoalan dengan “kekakuan” regulasi.
Sebagai contoh, dari 2.700 penghuni Rutan Medaeng, hanya 24 orang yang tercantum dalam DPT meskipun kemudian bertambah menjadi 446 orang. Di LP Medan dari jumlah penghuni sebanyak 3.244 orang, hanya 183 yang memiliki hak pilih.
Khusus terhadap pemilih tahanan di Kepolisian terutama di tingkat Polda relatif dipenuhi di wilayah yang dipantau Komnas HAM RI meskipun mekanismenya didatangi oleh pertugas KPPS pada pukul 12.00 – 13.00.
c. Jaminan pemenuhan hak pilih bagi pasien rumah sakit masih menjadi persoalan yang serius, baik terkait buruknya koordinasi antara KUPD Kabupaten/Kota dengan Dinas Kesehatan serta manajemen Rumah Sakit sehingga tidak ada pendataan pemilih yang berdampak kehilangan hak pilihnya. Jikapun terdapat fasilitasi untuk memilih dalam implementasinya tidak maskimal Kondisi ini tercermin hampir di seluruh wilayah pantauan di Sumatera Utara, Jawa Barat, Kalimantan Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Adapun fasilitasi yang terjadi sangat minimal sebagai contoh di RS Kariadi Semarang dari sekitar 2.000 pasien dan petugas medis hanya dilayani oleh 6 TPS sekitar dengan surat suara total 125 buah.
d. Jaminan terhadap pasein dengan gangguan kejiwaan, perhatian terhadap hak pilih pasien dalam kategori khusus ini sepertinya menurun dibandingkan dengan saat penyelenggaran Pilpres dan Pileg 2014 yang lalu.
Dari pantauan berbagai wilayah belum ada perhatian baik pendataan pemilih maupun fasilitasi pada tahap pemungutan suara.
e. Khusus terhadap jaminan pemenuhan hak konstitusional pemilih warga minoritas Syiah Kabupaten Sampang yang ditempatkan di Rusun Jemundo, Sidoarjo, Komnas HAM RI memberikan apresiasi kepada jajaran KPU yang memafasilitasi mereka dalam memilih, meskipun secara regulasi menyimpangi karena penyelenggaran tidak dilakukan di domisili pemilih.
3. Pengawasan Diskriminasi Ras dan Etnis:
a. Meskipun penguatan politik identitas kental dalam pilkada serentak 2018, akan tetapi secara formil praktik diskriminasi ras dan etnis tidak terlalu menonjol di lapangan yang mempengaruhi proses dan hasil pilkada. Hal itu tercermin dalam pantauan di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sumatera Utara. Meskipun secara khusus di Sumatera Utara beredar spanduk yang melarang orang memilih pemimpin yang memiliki keyakinan berbeda.
b. Khusus untuk Kalimantan Timur dalam paparannya Bawalsu telah melakukan pendataan terhadap praktik mempengaruhi pemilih untuk memilih atau tidak memilih calon tertentu berdasarkan SARA terutama terjadi di Kota Samarinda (105 TPS), Paser dan Kutai Barat (14 TPS). Sedangkan praktik menghina/ menghasut diantara pemilih terkait isu SARA terjadi di Kota Samarinda (94 TPS), Kutai Barat (15 TPS), Mahakam Hulu (9 TPS) dan Panajam Paser Utara (4 TPS).
4. Komnas HAM RI memberikan apresiasi kepada seluruh stakeholders yang bertanggungjawab dalam bidang kemanan terutama Polri dan pihak-pihak lainnya baik petugas TPS, pemerintah daerah dan elemen lainnya yang turut menjaga iklim kondusifitas selama penyelenggaran pilkada serentak 2018 sehingga tidak banyak terjadi kekerasan.
Berdasarkan simpulan tersebut di atas, Komnas HAM RI merekomendasikan hal-hal sebagai berikut:
a. Komisi Pemilihan Umum RI untuk:
1. KPU RI berserta jajarannya untuk terus melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya semakin baik dalam penyelenggaran pilkada, serta persiapan dalam kontestasi Pilpres dan Pileg 2019.
2. Meningkatkan jaminan pemenuhan hak pilih bagi tahanan dan warga binaan yang ditempatkan di Rutan dan Lapas sehingga tidak ada perbedaan perlakuan di berbagai wilayah yang menyebabkan hilangnya hak kosntitusional mereka.
3. Secara struktural dan fungsional untuk berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan dan seluruh Pemerintah Daerah dalam rangka menjamin pemilih di RSUD dan RSJ untuk segera difasilitasi sebab selama ini mereka terbaikan dalam hak pilihnya.
4. Meningkatkan terus koordinasi dan fasilitasi pemilih disabilitas, serta mendorong mereka semakin berpartisipasi sebagai petugas penyelenggaran pemilu bahkan mendorong tampil untuk pemenuhan hak untuk dipilih, misal sebagai DPRD/DPR.
b. Kepada Bawaslu RI
1. Meningkatkan pengawasan dalam penyelenggaran pilkada dan pemilu 2019 sehingga aspek pemenuhan hak pilih masyarakat semakin terjamin, mengurangi praktik penyimpangan, menindak pelanggaran yang terjadi sehingga kualitas pilkada dan pemilu semakin baik dan berintegritas.
2. Meningkatan koordinasi dengan Kepolisian dan Komnas HAM RI dalam penindakan praktik pemilihan dengan SARA, serta mendorong kerja sama dengan Kementerian Menpan/RB dalam penanganan terhadap pelanggaran netralitas ASN di Kalimantan Timur.
c. Kementerian Dalam Negeri RI
1. Menyediakan dan menyajikan data kependudukan yang akurat sebagai dasar penyusunan DPS/DPT dalam penyelenggaran pilkada dan pemilu yang akan datang.
2. Mempercepat pelayanan penerbitan KTP elektronik bagi seluruh penduduk Indonesia yang telah berhak yaitu berusia 17 tahun dan/atau sudah menikah sehingga akan menjamin pemenuhan hak-hak lainnya, termasuk hak ikut serta dalam pemerintahan yang diwujudkan melalui pilkada/pemilu.
3. Mengkoordinasikan dan membangun sinergi pemerintah daerah dengan berbagai elemen di masyarakat dan pihak lainnya sehingga dalam penyelenggaran pilkada dan pemilu, semakin damai, bermartabat dan berintergritas sehingga dapat menghasilkan pemimpin atau perwakilan yang baik.
d. Kepolisian RI
a. Bersama-sama dengan jajaran Bawaslu RI meningkatkan pengawasan terhadap pelanggaran kepemiluan yang berdimensi pidana sehingga dapat dilakukan upaya hukum untuk menghindari persebaran konflik dan kerawanan sosial.
b. Berkoordinasi dengan Komnas HAM RI terutama dalam penanganan ujaran kebencian (hate speech) dan diskriminasi ras etnis yang dalam UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis pengawasannya dimandatkan ke Komnas HAM RI.
(Agus Sun)
Short link