Tim Kajian Regulasi Agraria di Bagian Dukungan
Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM yang dipimpin oleh Plt. Kepala Biro
Pemajuan HAM Indahwati, disertai oleh peneliti senior, Agus Suntoro, dan asisten
peneliti, Tito Febismanto, dan staf pemantau, Wahyu Pratama Tamba, melakukan
kunjungan lapangan dan permintaan keterangan dari nara sumber di Sulawesi
Selatan pada 5-8 Juni 2018.
Salah satu pertimbangan penentuan wilayah
Sulawesi Selatan adalah karena memiliki persoalan konflik agararia bidang
infrastruktur yang cukup menonjol yang dilaporkan ke Komnas HAM RI, diantaranya
kasus penolakan masyarakat adat Seko Sallombengang terhadap pembangunan
Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) oleh PT Seko Power Prima di Kabupaten Luwu
Utara; kasus pembebasan Lahan seluas 1.300 Ha untuk Pembangunan Bendungan di
Kabupaten Wajo. Selain itu juga terdapat persoalan dalam pembebasan lahan
Bandara Sultan Hasanudin di Kabupaten Maros, serta berlarut-larutnya
penyelesaian pembayaran lahan oleh Kementerian Pekerjaan Umum atas proyek jalan
tol Ujung Pandang di Kota Makassar yang telah berkekuatan hukum tetap.
Maraknya konflik agraria diduga adalah dampak
dari program Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) ke tiga
(2015-2019) yang disusun sebagai
penjabaran dari Visi Misi, Program Aksi Presiden/Wakil Presiden Jokowi dan
Jusuf Kalla serta berpedoman pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
2005-2025. Menurut pemerintah, berdikari dalam ekonomi diwujudkan dalam
pembangunan demokrasi ekonomi dengan menetapkan beberapa program prioritas
nasional antara lain pembangunan infrastruktur. Dalam pembangunan infrastuktur
tidak dapat dihindarkan kebutuhan lahan, modal, dan sumber daya yang besar. Hal
ini tentu akan melibatkan masyarakat secara luas dan apabila tidak dikawal maka
hakikat pembangunan menjadi absurd
Berdasarkan hal tersebut, Tim Komnas HAM memandang
perlu untuk meminta keterangan yang diperlukan dalam kajian mengenai regulasi
yang menyangkut persoalan agraria dalam kaitan dengan pembangunan
infrastruktur, terutama aspek pengambilan lahan masyarakat dengan alasan
kepentingan umum, penetapan nilai penggantian hak yang sewenang-wenang,
penetapan proyek pembanguan tanpa proses konsultasi dengan masyarakat, persoalan
hukum, baik perdata terutama dampak penitipan uang (konsinyasi), tindakan
kriminalisasi kerena melakukan penolakan terhadap proyek pembangunan, praktik
“makelar” dan penguasaan akses informasi pembebasan lahan oleh oknum pejabat
dan pengusaha, dan hilangnya sumber kehidupan dan terutama dampak ekonomi yang
menurun terhadap warga.
Dalam pelaksanaan Tim Komnas HAM melakukan
agenda pertemuan dan permintaan informasi dari baik dari warga (korban), para pendamping
yaitu LBH Makassar, AGRA dan KPA. Sedangkan untuk pemerintahan, Tim Komnas HAM melakukan
pertemuan dengan Sekretaris Daerah dan Kepala Biro Hukum Provinsi Sulawesi
Selatan, Kanwil BPN Sulawesi Selatan, Wakil Bupati Maros, PT. Angkasa Pura I,
Dinas Bina Marga Provinsi Sulsel, Dinas SDA Provinsi Sulsel, serta Kepala
Penanaman Modal dan Biro HukumPemkab Luwuk Utara.
Untuk memperoleh pandangan yang ilmiah dan
akademisterkait dengan kajian akademis terhadap berbagai regulasi bidang agaria
terutama dalam pembangunan infrastruktur, tim juga meminta keterangan dan
informasi dari nara sumber ahli hukum agaria Prof. Dr. Farida P, SH, MH selaku
Dekan FH UNHAS.
Hasil dari pengumpulan data dan informasi dari
para phak tersebut untuk selanjutkan akan menjadi bahan yang akan diolah lebih
lanjut oleh Tim Komnas HAM. (Agus
Suntoro)
Short link