Komnas HAM mengadakan seminar bertema “Penyandang Disabilitas yang Berhadapan dengan Hukum” di Jakarta, pada 3 Mei 2018. Acara dibuka oleh Wakil Ketua Internal Hairansyah yang menyampaikan bahwa isu disabilitas mental menjadi salah satu fokus Komnas HAM.
“Komnas HAM mendorong agar penyandang disabilitas memiliki hak yang sama dalam berbagai macam kesempatan, baik dalam mempergunakan hak politik, termasuk di dalamnya hak ketika berhadapan dengan hukum,” ungkap Hairansyah.
Hairansyah berharap, informasi dan masukan dari peserta seminar menjadi gambaran dan pijakan bagi penyusunan Riset Desain “Penyandang Disabilitas yang Berhadapan dengan Hukum” yang dikerjakan oleh peneliti Komnas HAM.
Felani, koordinator penelitian atas isu ini menyatakan, Komnas HAM pernah beberapa kali melakukan pemantauan terhadap pemasungan di beberapa wilayah di Indonesia.
“Banyak yang menanggapi bahwa disabilitas mental merupakan suatu kutukan, berbahaya dan membahayakan orang lain. Hasil Penelitian Komnas HAM pada 2017 menemukan fakta mengejutkan bahwa banyak sekali panti-panti melakukan pemasungan terhadap disabilitas mental dengan metode yang bermacam-macam, “papar Felani.
Felani menjelaskan, seminar yang diadakan kali ini bertujuan untuk melihat ruang lingkup, kasus-kasus dan praktik yang terjadi ketika penyandang disabilitas mental berhadapan dengan hukum serta perlindungan dan pemenenuhan HAM bagi penyandang disabilitas mental.
Catatan lainnya disampaikan Fajri Nursyamsi, Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), yang menjelaskan bahwa kendala dalam proses hukum adalah komunikasi antara Penyandang Disabilitas Mental dan Kepolisian.
Sementara itu, dr. Natalia Widiasih, SpKJ, MPdKed, perwakilan dari Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) mengungkapkan streotipe merupakan masalah yang terbesar hingga kini masih kerap dihadapi.
“Stereotiping dalam tindakan medis (Informed Consent) masih sering terjadi. Bagi saya untuk memahami kecakapan seorang penyandang disabilitas dapat diibaratkan seperti penyakit stroke. Apakah penyakit stroke berarti kehilangan semua fungsi tubuhnya? Untuk itu, kita tidak bisa menggenalisir kondisi kejiwaan seseorang,” ujar Natalia.
Ia bercerita bahwa kita tidak bisa mengkotak-kotakkan gambaran gejala dan mendiagnosis orang, tapi tidak membicarakan fungsi. “Artinya, berbicara kapasitas mental perlu melihat banyak kondisi, mulai dari kapasitas mental hingga kepribadian,” kata Natalia.
Kemudian setiap peserta yang hadir diberikan kesempatan untuk menyampaikan masukan. Masukan peserta, perlu dilakukan pembatasan ruang lingkup serta rekomendasi yang spesifik agar tidak mengulang terhadap rekomendasi Komnas HAM yang pernah ada. (Elgawaty)
Short link