Dalam diskusi ahli tentang penanganan kasus pelanggaran HAM yang berat, para ahli dan peserta diskusi sepakat diperlukan willinggnes dan komitmen semua pihak, khususnya Komnas HAM dan Kejaksaan Agung, agar ada kejelasan kasus pelanggaran HAM yang berat yang ditangani.
Diskusi diadakan di kantor Komnas HAM, pada Kamis (27/7/17), menghadirkan Prof. David Cohen (Ahli Hukum HAM Internasional), Prof. Komariah, Dr. Fadillah Agus, dan Dr. M. Yusuf (Mantan Pimpinan PPATK). Bertindak sebagai moderator, Komisioner Komnas HAM Roichatul Aswidah. Diskusi diikuti oleh perwakilan dari Kejaksaan Agung, universitas, dan komisioner serta staf Komnas HAM.
Menurut David Cohen, ada spirit antara Komnas HAM dan Kejagung untuk bekerjasama, agar kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat, bisa tertangani.
"Willinggness adalah hal yang sangat mendasar. Adapun kasus yang tidak bisa dilanjutkan, agar tidak dipaksakan," ujar Cohen, yang secara pribadi berniat untuk berkontribusi memecahkan kebuntuan penanganan kasus pelanggaran HAM yang berat di Indonesia.
Saat ini, ada tujuh kasus pelanggaran HAM yang berat yang belum tuntas, yaitu Penculikan Aktivis 1997/1998, Tragedi Mei, Tragedi Trisakti-Semangi, Penembakan Misterius, Talangsari, Tragedi 1965, dan Wasior-Wamena.
Hal senada ditegaskan oleh M. Yusus, yang menangani kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat ketika bertugas di Kejagung, bahwa willinggnes dan komitmen adalah yang terpenting. "Jangan ada lagi ego sektoral antara Komnas HAM dan Kejagung," ujar M. Yusuf, yang saat ini menjabat sebagai Irjen Kementerian KKP.
Menurut Prof. Komariah, tidak ada hambatan mendasar, hanya terkait aspek teknis yang perlu dibicarakan kedua lembaga, ujarnya. Ia berkomitmen untuk membantu sepenuhnya.
Sementara itu, Fadillah Agus menyampaikan, bahwa buku pedoman penanganan HAM yang berat yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung sudah secara lengkap menjelaskan tentang yurisprudensi kasus-kasus HAM yang berat. "Namun, pedomen itu belum bisa menjadi pegangan bagi Komnas HAM dan Kejagung. Untuk itu, perlu ada diskusi dengan MA agar pedomen itu mengikat dalam bentuk Surat Edaran MA," kata Agus.
Mukri dari Kejaksaan Agung juga menandaskan bahwa sudah ada sinergi dengan Komnas HAM. "Perlu bedah kasus bersama-sama," ujar Mukri.
Lebih lanjut, Fadillah Agus mengusulkan adanya one roof working atau bekerja bersama-sama antara Komnas HAM dan Kejagung, agar ada kesamaan persepsi sehingga segera ada kejelasan kasus yang ditangani.
Dalam penutupan, Roichatul menyampaikan terima kasih atas masukan dari para ahli, dan Komnas HAM akan menindaklanjutinya. (MDH)
Diskusi diadakan di kantor Komnas HAM, pada Kamis (27/7/17), menghadirkan Prof. David Cohen (Ahli Hukum HAM Internasional), Prof. Komariah, Dr. Fadillah Agus, dan Dr. M. Yusuf (Mantan Pimpinan PPATK). Bertindak sebagai moderator, Komisioner Komnas HAM Roichatul Aswidah. Diskusi diikuti oleh perwakilan dari Kejaksaan Agung, universitas, dan komisioner serta staf Komnas HAM.
Menurut David Cohen, ada spirit antara Komnas HAM dan Kejagung untuk bekerjasama, agar kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat, bisa tertangani.
"Willinggness adalah hal yang sangat mendasar. Adapun kasus yang tidak bisa dilanjutkan, agar tidak dipaksakan," ujar Cohen, yang secara pribadi berniat untuk berkontribusi memecahkan kebuntuan penanganan kasus pelanggaran HAM yang berat di Indonesia.
Saat ini, ada tujuh kasus pelanggaran HAM yang berat yang belum tuntas, yaitu Penculikan Aktivis 1997/1998, Tragedi Mei, Tragedi Trisakti-Semangi, Penembakan Misterius, Talangsari, Tragedi 1965, dan Wasior-Wamena.
Hal senada ditegaskan oleh M. Yusus, yang menangani kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat ketika bertugas di Kejagung, bahwa willinggnes dan komitmen adalah yang terpenting. "Jangan ada lagi ego sektoral antara Komnas HAM dan Kejagung," ujar M. Yusuf, yang saat ini menjabat sebagai Irjen Kementerian KKP.
Menurut Prof. Komariah, tidak ada hambatan mendasar, hanya terkait aspek teknis yang perlu dibicarakan kedua lembaga, ujarnya. Ia berkomitmen untuk membantu sepenuhnya.
Sementara itu, Fadillah Agus menyampaikan, bahwa buku pedoman penanganan HAM yang berat yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung sudah secara lengkap menjelaskan tentang yurisprudensi kasus-kasus HAM yang berat. "Namun, pedomen itu belum bisa menjadi pegangan bagi Komnas HAM dan Kejagung. Untuk itu, perlu ada diskusi dengan MA agar pedomen itu mengikat dalam bentuk Surat Edaran MA," kata Agus.
Mukri dari Kejaksaan Agung juga menandaskan bahwa sudah ada sinergi dengan Komnas HAM. "Perlu bedah kasus bersama-sama," ujar Mukri.
Lebih lanjut, Fadillah Agus mengusulkan adanya one roof working atau bekerja bersama-sama antara Komnas HAM dan Kejagung, agar ada kesamaan persepsi sehingga segera ada kejelasan kasus yang ditangani.
Dalam penutupan, Roichatul menyampaikan terima kasih atas masukan dari para ahli, dan Komnas HAM akan menindaklanjutinya. (MDH)
Short link