Setiap staf Komnas HAM perlu memiliki kemampuan mengkomunikasikan HAM sehingga pesan-pesan HAM yang disampaikan dengan mudah diterima dan dikonsumsi oleh publik dan pemerintahan. Komnas HAM mempunyai mandat yang strategis berdasarkan UU tentang HAM dan UU tentang Pengadilan HAM. Dari pelaksanaan kedua undang-undang tersebut, telah dihasilkan banyak data dan informasi.
Namun, data dan informasi itu belum diolah dan diformulasikan ke publik sehingga memberikan manfaat yang nyata bagi perbaikan situasi dan pelaksanaan HAM di Indonesia.
Untuk itulah dilakukan pelatihan komunikasi HAM, dengan fasilitator Ahmad Arif, pada Jumat (15/12/17). Dalam pemaparannya Arif menyampaikan bahwa banyak beredarnya berita bohong (hoax) adalah karena pemegang otoritas pengetahuan yang terkait lebih banyak diam atau pasif atau gagal dalam bersikap.
”Komnas HAM sebagai pemegang otoritas pengetahuan HAM harus tampil di publik pada isu dan peristiwa yang penting,” ujar Arif. Dengan demikian, publik mampu memahami sikap Komnas HAM dan mencerna pendapatnya, sehingga tidak terombang-ambing oleh berbagai informasi yang beredar.
Namun demikian, hal itu tentu tidak mudah, karena Komnas HAM harus mempunyai tim khusus yang mampu dan komit dalam merespon isu-isu penting yang beredar. Setiap sikap dan kebijakan Komnas HAM dipublish di website sebagai portal HAM yang utama bagi Komnas HAM.
”Dengan adanya portal yang aktual dan sesuai dengan isu-isu kekinian yang berdar di media sosial, Komnas HAM akan mampu menjadi leading dalam menyikapi persoaloan HAM di tanah air,” ujar Arif.
Di tengah kondisi publik yang sekitar 72 persen sudah mengakses internet, namun memiliki tingkat literasi digital yang buruk, penyampai pesan yang aktif akan mampu merebut ruang publik dan psikologis massa. ”Komnas HAM harus menjadi pemroduksi dan penyampai pesan, bukan sebaliknya,” tegas Arif.
Arif juga mencontohkan sebuah foum di Nagoya Jepang, dimana antara masyarakat, wartawan, dan pemerintah mempunyai forum reguler untuk membahas isu-isu kebencanaan, karena Nagoya sangat rentan atas bencana alam. Dengan adanya forum ini, para pihak akan terlibat dan mencari upaya untuk mencari solusi bersama (public engagement).
Pola kehumasan melalui kegiatan konferensi pers sudah tidak lagi relevan, namun Komnas HAM harus memakai cara lain untuk menyampaikan pesan ke publik. ”Setiap komisioner seyogianya mempunyai statemen yang saling terkoordinasi dalam menyikapi setiap persoalan yang hangat, dan melekat di website Komnas HAM. Dengan begitu, media mainstream dan media sosial akan selalu merujuk ke website Komnas HAM dalam setiap peristiwa HAM,” gagas Arif.
Trend ke depan, lebih banyak masyarakat yang mengakses berita dari media sosial, bukan lagi dari media utama seperti koran dan TV. ”62 persen warga Amerika saat ini mengakses berita dari media sosial,” jelas Arif.
Di Komnas HAM, idealnya ada human rights communicator, yang bertugas mengekstrak setiap data dan informasi yang ada pada setiap pelaksanaan fungsi, untuk diformulasikan dalam bentuk informasi yang menarik dan menggugah publik melalui website dan media sosial. Kata Arif, Komnas HAM harus mampu menyampaikan best practice setiap bulan melalui website.
”Data pengaduan mempunyai nilai yang sangat strategis, jadi jangan hanya berupa data mentah, namun harus diolah menjadi informasi yang menarik dan berguna bagi banyak orang,” papar Arif. Hal ini karena semakin banyak orang melihat informasi secara sekilas, tidak lagi secara mendalam. Orang cenderung mencari informasi, bukan menyelami informasi, tambah Arif.
Dalam catatan Arif, Komnas HAM jarang tampil di ruang pubik dalam kasus-kasus yang hangat diperbincangkan. Untuk itu, Komnas HAM harus mulai aktif terlibat di dalamnya karena memiliki otoritas dan kewenangan yang jelas. (MDH)
Short link