Beberapa hari ini, kita menyaksikan bagaimana para petani dari Pegunungan Kendeng Jawa Tengah rela melakukan aksi “cor kaki” demi untuk mempertahankan dan melestarikan Pegunungan Kendeng dan wilayah karst lainnya agar fungsinya sebagai sumber air dan pengatur tata kelola air yang alami, tetap terjaga.
Sementara itu, sebagaimana ditulis Koran Tempo (22/3/17), separuh warga Jakarta atau sekitar 4 juta jiwa, belum memperoleh akses atas air bersih. Mereka akhirnya harus memanfaatkan air dari sungai dan air tanah yang sudah terpapar oleh bakteri E coli. Ketika mereka harus membeli air PAM, harganya mahal, mencapai Rp 8.559 per meter kubik.
Hari Air pada tahun ini kita peringati dengan kondisi pemenuhan dan perlindungan hak atas air yang belum membaik dari tahun-tahun sebelumnya.
Perlindungan Hak atas Air
Undang-Undang Dasar 1945 di Pasal 28A menegaskan bahwa setiap orang berhak untuk hidup dan mempertahankan hidupnya. Kemudian Pasal 28H ayat (1) menyebutkan bahwa setiap orang berhak sejahtera lahir dan batin dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Hak atas air tidak diatur tersendiri di dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Namun, hak atas air adalah bagian dari terpenuhi dan terlindunginya hak untuk hidup, sebab air adalah komponen terpenting untuk memenuhi dan melindungi hak untuk hidup yang merupakan hak mutlak dan tidak bisa dikurangi (non derogable right).
Pada 28 Juli 2010, Sidang Umum PBB mengeluarkan Resolusi No. 64/292 yang secara eksplisit mengakui hak atas air dan sanitasi adalah HAM. Komentar umum (General Comment) PBB Nomor 15 menegaskan bahwa hak atas air memberikan hak kepada setiap orang atas air yang memadai, aman, bisa diterima, bisa diakses secara fisik, dan mudah didapatkan untuk penggunaan personal dan domestik. Jumlah air bersih yang memadai diperlukan untuk mencegah kematian karena dehidrasi, untuk mengurangi risiko penyakit yang berkaitan dengan air, serta digunakan untuk konsumsi, memasak, dan kebutuhan higienis personal dan domestik.
Pengelolaan dan Perlindungan Kawasan Karst
Terkat dengan konflik pembangunan pabrik semen dan penambangan batu kapur/gamping di Kabupaten Rembang hanyalah salah satu dari konflik yang sudah manifest, diantara konflik laten lainnya di banyak daerah di Indonesia. Petani Kendeng memandang bahwa karst adalah bagian dari kehidupan mereka yang telah “berjasa” menyediakan air bersih untuk kebutuhan pangan dan pertanian. Jika ditambang, fungsi karst akan rusak dan hilang.
Untuk itu akar masalahnya harus diatasi, yang terletak pada kebijakan penetapan Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK) yang bias pada kepentingan geologi semata. Sebagaimana diatur di dalam Peraturan Menteri ESDM No. 17/2012 tentang Penetapan KBAK, kewenangan penetapan suatu wilayah sebagai KBAK berada di tangan Menteri ESDM, melalui usulan dari daerah.
Padahal, kepentingan atas pengelolaan kawasan karst tidak hanya menjadi tanggung jawab dan kewenangan dari Kementerian ESDM, namun bersifat lintas institusi, sektor, dan kepentingan. Sebagai akibat dari penetapan KBAK yang bias geologi itulah, maka terjadi masalah diantaranya di Rembang. Selama dari aspek kebijakan penetapan kawasan karst belum dibenahi, maka konflik-konflik pembangunan pabrik semen akan terus terjadi.
Berdasarkan studi Komnas HAM (2016), sekitar 8 persen wilayah darat Indonesia diindikasikan sebagai kawasan karst. Dari 154.000 KM2 kawasan karst itu, baru sekitar 1.678,78 KM2 yang ditetapkan oleh Menteri ESDM sebagai KBAK. Empat KBAK itu adalah Sukolilo dan Gombong Selatan di Jawa Tengah, Pangkalan di Karawang Jawa Barat, dan Gunung Sewu (Jawa Tengah, DI. Yogyakarta, dan Jawa Timur).
Hal ini artinya, sebagian besar kawasan karst masih belum berstatus dilindungi karena belum ada penetapan dari pemerintah. Jikapun telah dilindungi, adalah karena kawasan karst tersebut “kebetulan” masuk di dalam kawasan taman nasional atau cagar alam sehingga menurut aturan undang-undang yang terkait dengan kehutanan, adalah kawasan lindung.
Sedangkan jika kawasan karst yang belum ditetapkan itu dikukuhkan melalui Permen ESDM No. 17/2012, akan menimbulkan masalah dan konflik baru karena hanya berbasis pada kajian secara geologis. Padahal, kawasan karst selain berfungsi geologis, juga mempunyai potensi ekonomi, sosial, budaya, sumber daya air, flora fauna, ilmu pengetahuan, wisata, dan penyerap karbon (perubahan iklim).
Saat inilah momentum untuk membenahi regulasi pengelolaan kawasan karst agar fungsinya yang jika rusak tidak bisa dipulihkan, akan tetap terlindungi. Sedangkan dari sisi pemanfaatan diantaranya sebagai bahan baku utama semen, dapat berjalan dengan prinsip kehati-hatian.
Berdasarkan data Asosiasi Semen Indonesia, sampai dengan lima tahun mendatang, Indonesia akan mengalami oversupply semen atau kelebihan pasokan semen karena over kapasitas industri semen dalam negeri. Dengan kondisi ini, adalah saat yang tepat bagi pemerintah untuk mengumpulkan stakeholders industri semen, pemerintah, dan masyarakat, untuk merumuskan regulasi karst yang lebih komprehensif dalam mengelola kawasan karst berbasis ekosistem.
Draft Peraturan Pemerintah tentang Ekosistem Karst yang sudah dibahas selama bertahun-tahun harus diaktifkan kembali dan dibahas secara partisipatif dan transparan, sehingga kekosongan regulasi tentang kawasan karst bisa segera teratasi.
Semoga Presiden Jokowi bisa segera bertindak untuk menyelamatkan dan melestarikan kawasan karst yang masih belum berstatus “dilindungi.” Sebagai ekosistem esensial, sebagaimana gambut, karst harus diselamatkan karena menjadi tumpuan kehidupan masyarakat untuk terpenuhi kebutuhan dasarnya atas air bersih. (Mimin Dwi Hartono)