Oleh: Mimin Dwi Hartono
Hari Masyarakat Adat Internasional kembali dirayakan tiap 9 Agustus. Hari itu diperingati sejak Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengadopsi Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (The United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples) pada 13 September 2007.
Masyarakat adat menyambutnya dengan suka cita atas diadopsinya Deklarasi yang telah diperjuangkan selama puluhan tahun oleh berbagai organisasi masyarakat adat di seluruh dunia. Namun, pelaksanaan dari norma internasional di dalam Deklarasi tersebut masih jauh panggang dari api.
Padahal, Deklarasi tersebut memberikan arah dan harapan perubahan yang lebih baik bagi pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat yang, menurut International Labor Organization (ILO), diperkirakan berjumlah sekitar 374 juta jiwa di seluruh dunia dan sekitar 60 juta jiwa di Indonesia. Mereka termarginalkan oleh kebijakan pembangunan yang top-down dan eksploitatif terhadap sumber daya alam yang menjadi tumpuan kehidupan masyarakat adat.
Di dalam Deklarasi tersebut ditegaskan, masyarakat adat berhak untuk menikmati secara penuh, baik secara kolektif maupun individual, segala macam hak asasi dan kebebasan mendasar seperti yang diakui dalam Piagam PBB, Deklarasi Universal HAM, dan perangkat hukum internasional tentang HAM.
Masyarakat adat dan individu mempunyai kebebasan dan kesetaraan dengan masyarakat dan individu lainnya dan memiliki hak untuk terbebas dari segala macam jenis diskriminasi, hak melakukan identifikasi diri, serta memiliki kebebasan atas hak sipil dan politik serta hak ekonomi, sosial, dan budaya.
Masyarakat adat juga mempunyai hak atas tanah, wilayah, dan sumber daya yang secara tradisional mereka miliki, kuasai, atau gunakan dan hak atas tanah, wilayah, dan sumber daya yang secara tradisional mereka miliki. Mereka juga berhak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang dapat berdampak pada hak mereka.
Sikap pemerintah Indonesia atas keberadaan masyarakat adat, yang merupakan bagian terbesar dari konstituen yang membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), masih gamang. Padahal, masyarakat adat eksis dengan mendiami tanah ulayat (adat) yang tersebar di pegunungan, hutan rimba, dan kepulauan di Nusantara, yang umumnya kaya akan sumber daya mineral dan alam.
Masyarakat mempunyai teritori, sistem pemerintahan, dan norma hukum sendiri yang masih sangat eksis sampai sekarang untuk mengatur kehidupan komunitas mereka, termasuk dalam membangun hubungan dengan pihak eksternal dan alam sekitarnya.
Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur dalam undang-undang.
Menurut Yance Arizona (2010), Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 sebagai salah satu landasan konstitusional masyarakat adat menyatakan pengakuan secara deklaratif bahwa negara mengakui dan menghormati keberadaan dan hak-hak masyarakat hukum adat.
Namun, pengakuan tersebut memberikan batasan-batasan atau persyaratan agar suatu komunitas dapat diakui keberadaan sebagai masyarakat hukum adat, yaitu: (a) Sepanjang masih hidup; (b) Sesuai dengan perkembangan masyarakat; (c) Prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan (d) Diatur dalam undang-undang.
Ada beberapa persoalan yang timbul dari ketentuan di dalam Konstitusi tersebut. Pertama, ketentuan tentang “sesuai dengan perkembangan masyarakat”, yang menimbulkan pengertian yang multitafsir dan membingungkan. Seperti apa ketentuan tersebut diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat adat yang secara riil masih eksis dan mempunyai pola dan hidup secara khas? Apakah masyarakat adat harus mengikuti arus modernisasi dan pembangunan dengan meninggalkan nilai-nilai dan norma-norma yang secara turun temurun mereka pelihara dan lestarikan?
Kedua, terkait dengan ketentuan “diatur di dalam undang-undang”. Hal ini menjadi persoalan utama karena sampai saat ini tidak ada undang-undang utama yang mengatur tentang pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat. Rancangan Undang-Undang tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat sampai saat ini belum menjadi prioritas legislasi nasional. Padahal, ia sangat diperlukan sebagai landasan untuk menempatkan masyarakat adat sebagai subyek hukum sehingga setara dengan warga negara yang lain.
Pasal 67 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan mengakui eksistensi masyarakat adat sepanjang telah dikukuhkan di dalam bentuk Peraturan Daerah. Namun, dalam banyak hal, masyarakat adat mengalami kesulitan untuk mendapatkan pengakuan dalam bentuk perda, karena beberapa persoalan.
Pertama, minimnya keberpihakan politik lokal atas eksistensi mereka. Masyarakat adat biasanya hidup dalam di wilayah ekosistem yang kaya akan sumber daya alam, baik mineral, kayu, minyak dan gas, dan perkebunan sawit. Ketika mereka diakui dalam bentuk perda, maka bagi kepentingan elite lokal itu tidak akan kondusif dalam menarik investasi. Lebih baik, masyarakat adat tidak diakui daripada menyulitkan kepentingan elite lokal dalam bernegosiasi dan menggelar “karpet merah” bagi para investor.
Kedua, ketentuan bahwa masyarakat adat mempunyai teritori atau wilayah yang telah didiami secara turun temurun. Ketentuan ini mempersulit masyarakat adat karena sebagian besar dari mereka telah kehilangan teritorinya untuk berbagai kepentingan, seperti perkebunan sawit, industri kehutanan, pertambangan, dan program transmigrasi.
Dengan adanya ketentuan tersebut, akan sulit bagi masyarakat adat mengklaim dan membuktikan klaimnya tersebut secara hukum karena pasti akan berhadapan dengan banyak kepentingan dan berpotensi konflik serta pelanggaran HAM.
Janji dari Presiden Joko Widodo untuk membentuk Satuan Tugas Masyarakat Adat guna menangani dan mencari solusi implementatif atas keberadaan masyarakat adat yang banyak berkonflik dengan berbagai pihak tidak kunjung ada titik terang. Padahal, Satgas tersebut akan sangat membantu tugas Pemerintahan Jokowi dalam membuat database awal yang berisi tentang inventarisasi, identifikasi, dan peta masyarakat adat yang tersebar di berbagai pelosok daerah.
Orang Rimba, salah satu kelompok masyarakat adat di Provinsi Jambi, kini tinggal berjumlah sekitar 3.600 jiwa. Jumlah mereka semakin berkurang karena terserang oleh berbagai penyakit yang mematikan, di antaranya malaria dan hepatitis B (Eijkman Institute, 2016).
Mereka kehilangan kemampuannya untuk bertahan hidup karena rimba tempat mereka bertumpu – d iantaranya sebagai sumber obat-obatan – telah berubah menjadi perkebunan sawit dan industri kehutanan.
Orang Rimba hanyalah salah satu contoh. Jika pemerintah gagal mengambil langkah dan kebijakan untuk mengakui dan menyelamatkan eksistensi masyarakat adat, bangsa Indonesia akan kehilangan sejarah dan kekayaan Nusantara yang direpresentasikan oleh berbagai kelompok masyarakat adat dari Sabang sampai Merauke.
Pemerintahan Jokowi berkejaran dengan waktu untuk memenuhi janji politiknya dengan mengambil langkah-langkah dan kebijakan kongkret untuk mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat adat. Janji-janji Jokowi ditunggu dan menjadi doa serta harapan bagi puluhan juta masyarakat adat di Nusantara.
(Artikel pernah dimuat di Geotimes, 8 Agustus 2016)
Short link