Konsultasi Nasional Krisis Tenurial Tesso Nilo
yang diselenggarakan di Jakarta pada 10 s.d. 11 Agustus 2011 menyepakati
bahwa penyelesaian polemik yang terjadi di kawasan tersebut harus
melalui sejumlah langkah darurat yang diawali dengan upaya pra kondisi
dan ditindaklanjuti melalui rencana aksi.
“Penanganan
Tesso Nilo tidak dapat lagi dilakukan dengan cara-cara biasa (business
as usual). Penanganan Tesso Nilo harus menerapkan langkah-langkah
darurat yang melibatkan semua pihak, dan memanfaatkan pendekatan yang
beragam (business unusual). Penanganan Tesso Nilo harus dimulai dengan
mengedepankan prinsip menghadirkan negara secara penuh dalam tata
penguasaan dan kepengurusan sumber daya lahan dan hutan,” tegas Nur
Kholis, Koordinator Subkomisi Mediasi Komnas HAM kepada peserta
Konsultasi Nasional Krisis Tenurial Taman Nasional Tesso Nilo di Jakarta
pada Kamis, 11 Agustus 2016.
Langkah darurat,
lanjut Nur Kholis, dapat dilaksanakan melalui upaya prakondisi dan
ditindaklanjuti melalui rencana aksi. Upaya pra kondisi yang dimaksudkan
di sini meliputi pemetaan situasi secara menyeluruh yang berkaitan
dengan bentang alam kawasan Tesso Nilo; identifikasi pemilikan,
penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah; pengumpulan dan pengolahan
data dan informasi mengenai sejarah perubahan bentang alam,
faktor-faktor penyebab, dan aktor-aktor yang terlibat dalam penciptaan
krisis tenurial di Tesso Nilo; dan merancang tindakan-tindakan yang
diperlukan.
Sementara rencana aksi meliputi
konsolidasi kerjasama pemerintah, tanggap darurat dan upaya preventif.
Konsolidasi kerjasama pemerintah yang dimaksud dalam hal ini adalah
segera melakukan konsolidasi kelembagaan pemerintah setingkat menteri
dalam rangka menyatukan langkah untuk menghadapi krisis tenurial di
kawasan Tesso-Nilo. Kelembagaan pemerintah yang dimaksud adalah Komnas
HAM, Kantor Staf Presiden (KSP), Kementrian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (KLHK), serta Kementrian Agraria dan Tata Ruang (ATR/BPN).
Rencana
aksi berikutnya adalah tanggap darurat yang meliputi tindakan yang
dipandang perlu untuk dilakukan dalam rangka mengambil alih peran pasar
dan pemilik modal terhadap tata penguasaan dan kepengurusan sumber daya
hutan di kawasan Teso Nilo. Pengambil-alihan ini harus dilakukan dengan
cara seksama, didasarkan atas azas hukum dan manfaat untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat.
Rencana aksi terakhir
adalah merumuskan tindakan preventif. “Tindakan preventif dilakukan
dengan menggunakan pendekatan-pendekatan resolusi yang berbasis
masyarakat. Tindakan ini akan diprioritaskan pada wilayah-wilayah
tertentu yang dipandang siap,” tukasnya.
Sebelumnya
telah disepakati bahwa kondisi yang saat ini berlangsung di TNTN adalah
kondisi yang dapat dikategorikan sebagai situasi darurat karena secara
ekologis, sosial dan ekonomi, kawasan Tesso Nilo kini tengah menghadapi
situasi krisis sebagai akibat dari ketidakhadiran negara selama kurang
lebih dua dekade. Tata penguasaan dan pengurusan sumber daya hutan di
Tesso Nilo kini hampir sepenuhnya dikendalikan oleh kekuatan pasar dan
para pemilik modal melalui mekanisme “ekstra legal” (tindakan illegal
yang dilakukan secara sistemik dan terbuka). Kelembagaan-kelembagaan
pemerintah yang mengemban amanat untuk mengurus kawasan Tesso Nilo kini
mengalami ketidakberdayaan.
Pada dasarnya, situasi darurat kawasan Teso Nilo mengakar pada 5 persoalan. Pertama,
tata kepengurusan lahan (land governance) yang lemah. Ketidakjelasan
tata batas cenderung menciptakan ketidakpastian tenurial, hingga
kemudian mendorong terjadinya tumpang tindih peruntukan lahan. Tata
kepengurusan lahan yang lemah juga akan cenderung menjadikan lahan
sebagai komoditas pasar yang murah dan mudah diperjualbelikan.
Kedua,
keterbatasan akses ekonomi masyarakat lokal. Keterbatasan akses ekonomi
masyarakat lokal telah menciptakan perilaku ekonomi yang menyerupai
perjudian (untung-untungan): semata-mata hanya memanfaatkan celah
kesempatan yang terbuka, formal maupun informal; legal maupun ilegal.
Situasi ini dimanfaatkan secara maksimal oleh para pelaku pasar dan
pemilik modal untuk melakukan ekstraksi sumber daya alam dengan biaya
murah dan cepat.
Ketiga, wilayah
penyangga satu-satunya. Secara ekologis, kawasan Teso Nilo adalah
satu-satunya wilayah penyangga ekosistem yang ada di sekitarnya.
Kerusakan kawasan Teso Nilo akan membawa bencana besar bagi ekosistem
secara keseluruhan. Keempat, sumber titik api (hot spot).
Selama ini kawasan Teso Nilo cenderung menjadi sumber titik api bagi
kasus-kasus kebakaran yang ada di sekitarnya. Situasi krisis akan
meningkatkan kerentanan kawasan ini terhadap titik api.
Kelima,
ruang bagi konflik-konflik sosial. Berbagai persoalan yang ada di Teso
Nilo kini tidak saja menciptakan konflik tenurial, akan tetapi juga
menggerus modal sosial dan budaya masyarakat. Sistem kekerabatan
mengalami kerapuhan, kepercayaan terhadap kelembagaan adat menurun,
hubungan antara masyarakat dengan sumber daya hutan mengalami
komodifikasi (dari fungsi sosial, budaya dan religious menjadi
semata-mata bersifat ekonomis). Hal ini berimplikasi pada berkembangnya
konflik-konflik sosial.
“Langkah-langkah
penanganan krisis tenurial sebagaimana yang dilakukan di kawasan Tesso
Nilo harus dilakukan secara paralel, dan didasarkan atas prinsip-prinsip
penghormatan HAM, serta dukungan luas para pihak (broad nase
constituency). Langkah-langkah sebagaimana yang telah dirumuskan di atas
pada dasarnya adalah langkah-langkah strategis yang juga perlu
diterapkan untuk mengatasi persoalan-persoalan serupa yang terjadi di
beberapa kawasan konservasi di Indonesia: TN Kerinci Seblat,TN Gunung
Leuser, Bukit Baka Bukit Raya, TN Kutai, dan TN Lore-Lindu, dan
lain-lain,” tutup Nur Kholis. (Eva Nilasari)
Short link