Komnas HAM mengadakan diskusi tentang Hak atas Kesehatan dalam peristiwa Kebakaran Hutan dan Lahan (karhutla) dengan peneliti dari Indonesia Center for Environmental Law (ICEL) pada Selasa, 31 Mei 2016.
Pada 2015, Sidang ParipurnaKomnas HAM telah memberikan mandat pada Tim yang dipimpin oleh Komisioner Sandra Moniaga untuk melakukan kajian atas kewajiban negara dalam pemenuhan dan perlindungan hak atas kesehatan pada peristiwa karhutla tahun 2015. Sandra mengatakan bahwa karhutla telah berlangsung setiap tahun selama 18 tahun terakhir, namun tidak ada langkah penanganan yang sistematis dari negara sampai saat ini.
Tim Komnas HAM telah melakukan pemantauan atas peristiwa karhutla di Provinsi Riau, Provinsi Sumsel, dan Provinsi Kalimantan Tengah. Pemantauan selanjutnya akan dilakukan di Provinsi Riau pada 1 sd 3 Juni 2016, dengan Tim yang dipimpin oleh Komisioner Siti Noor Laila. Pemantauan tersebut bertujuan untuk mengumpulkan data dan informasi terkait dengan dampak-dampak karhutla bagi hak atas kesehatan.
Berdasarkan temuan, kurang lebih 500.000 orang di beberapa provinsi terserang oleh ISPA. Puluhan orang meninggal, sebagian besar diantaranya anak-anak, akibat menghirup udara yang tercemar oleh asap salama beberapa bulan.
Peneliti ICEL Margareta Quina menyampaikan bahwa penanganan karhutla oleh pemerintah hanya fokus pada penegakan hukum dan pemadaman api, sedangkan aspek manusia diabaikan. Untuk itu, ia menghargai keputusan Komnas HAM yang melakukan kajian dampak karhutla terhadap hak atas kesehatan.
Quina dan Isna Fatimah yang melakukan pemaparan di Komnas HAM menyampaikan bahwa setelah melakukan pemetaan atas regulasi yang terkait dengan kesehatan dan karhutla, mereka menemukan bahwa dari sisi terminologi, ada kerancuan yang berakibat pada kewenangan penggunaan anggaran dan efektivitas penanggulangan karhutla. Mereka menyebutkan ada terminologi bencana, krisis karhutla, darurat pencemaran, dan kejadian luar biasa.
Belum adanya kesamaan terminologi dalam melihat karhutla ini berdampak pada banyak hal. Terminologi bencana, menurut mereka, lebih fleksibel dalam melihat kasus karhutla, karena memudahkan penggunaan anggaran dan pengadaan barang-barang yang bersifat mendesak. Namun demikian, bagaimana dampak dari penetapan status bencana atas peristiwa karhutla terhadap tanggung jawab perusahaan yang diduga sebagai pelaku pembakaran hutan. Hal ini perlu dicermati agar perusahaan tidak lepas tangan. Hal ini oleh karena, ketika status bencana nasional ditetapkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), maka konsekuensinya dana penanggulangan akan memakai dana APBN.
Lebih lanjut mereka menyampaikan bahwa sesuai dengan ketentuan di dalam Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, jika ISPU (Indeks Standar Pencemaran Udara) telah melebih 300, maka Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menetapkan keadaan status darurat pencemaran. Lebih lanjut, menurut Peraturan Pemerintah No. 4/2001 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Karhutla, atas dasar penetapan tersebut, Bupati/Walikota wajib mengumumkan ke publik dan mengambil langkah-langkah untuk pengurangan dampak pencemaran.
Namun, berdasarkan temuan Komnas HAM, pada saat karhutla antara bulan Juli sd November 2015, ISPU di beberapa kota seperti di Palembang dan Palangkaraya jauh melebih angka 300, namun tidak ada langkah-langkah dari Bupati/Walikota sesuai dengan ketentuan di dalam PP No. 4/2001 itu.
Hal lain adalah terkait dengan informasi publik. Undang-Undang tentang Penanggulangan Bencana di Pasal 12 jo. Pasal 21, terdapat ketentuan tentang informasi publik tentang bencana. BNPB sendiri telah mengembangkan DIBI (Data base informasi bencana). Namun, datanya kurang bisa terakses dan dipahami secara mudah oleh publik.
Selain BNPB, ada juga Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) yang secara rutin dan terkini, menginformasikan tentang kondisi cuaca dan iklim ke depan, sebagai upaya mitigasi bencana. Demikian juga dengan Kemen LHK yang mempunyai informasi terkait dengan data ISPU di kota-kota di Indonesia. Lebih lanjut, menurut PP No. 4/2001, Bupati/Walikota wajib menginformasikan ISPU tersebut pada masyarakat.
Sebagai kesimpulan dalam diskusi tersebut, peneliti ICEL menyampaikan bahwa dari sisi regulasi, sudah cukup banyak yang mengatur tentang kesehatan dalam konteks karhutla, namun bersifat parsial, menyebar, dan beragam. Akibatnya, menyulitkan koordinasi dan pembagian kewenangan termasuk anggaran. Selain itu, telah tersedia sistem informasi bencana/lingkungan, namun overlap dan tidak terintrasi, sehingga mempersulit akses masyarakat atas informasi yang benar dan mudah dalam konteks terjadinya bencana.
Komnas HAM mencatat bahwa dampak dari karhutla bagi kesehatan dalam jangka panjang belum ada datanya, padahal sangat penting. Untuk itu, perlu adanya riset tentang hal itu sebagai langkah pemulihan dan perlindungan hak atas kesehatan masyarakat yang telah terpapar asap selama 18 tahun terakhir. (MDH)
Short link