Komnas HAM mengadakan diskusi kebijakan tentang pemenuhan dan perlindungan hak-hak Orang Rimba pada 23 Mei 2016. Diskusi tersebut dihadiri oleh pejabat dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Kementerian Sosial. Pejabat dari Kementerian Kesehatan, Kementerian Dalam Negeri, dan Kantor Staf Presiden, yang juga diundang, tidak hadir di dalam diskusi tersebut.
Komisioner Sandra Moniaga selaku Pelapor Khusus Hak Masyarakat Hukum Adat menyampaikan bahwa diskusi tersebut diperlukan untuk memastikan adanya langkah kongkret dari pemerintah atas keberlanjutan penghidupan Orang Rimba yang tinggal di beberapa kabupaten di Provinsi Jambi. Jumlah mereka, saat ini, diperkirakan tidak lebih dari 3.600 jiwa.
Komnas HAM telah mendapatkan informasi dari peneliti Eijkman Institute tentang tingginya keterjangkitan Orang Rimba atas penyakit malaria yang mencapai hampir 46 persen dan hepatitis B yang mencapai sekitar 33 persen. Untuk itu, diperlukan langkah segera dari pemerintah untuk merespon hasil riset yang diadakan oleh Eijkman pada Desember 2015.
Mimin Dwi Hartono dari Komnas HAM yang menangani kasus Orang Rimba sejak 2007 menyampaikan bahwa berdasarkan konsultasi Komnas HAM dengan beberapa kelompok Orang Rimba pada Juni 2015, Orang Rimba meminta adanya perhatian lebih dari negara, yaitu hak atas kesehatan, pendidikan, tempat tinggal yang layak, dan diperlakukan sama seperti penduduk lainnya.
Saat ini, mereka tinggal di tiga wilayah, yaitu sekitar Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD), Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT), dan sekitar jalur lintas Sumatera. Orang Rimba berhadapan dengan ekspansi perkebunan sawit dan industri kehutanan yang semakin menggerus ruang dan wilayah hidup Orang Rimba.
Ronald dari Kementerian LHK menyampaikan bahwa izin-izin yang diterbitkan atas wilayah yang diklaim sebagai ruang hidup Orang Rimba adalah open access atau tanah negara yang terbuka untuk diakses sehingga negara memberikan izin pada pihak ketiga. Keberadaan Orang Rimba meskipun ada di dalam wilayah tersebut, tidak diakui karena secara normatif harus ada pengakuan dari negara melalui Peraturan Daerah.
Kementerian LHK untuk saat ini sedang memproses pengajuan pelepasan kawasan hutan produksi yang dimohonkan oleh Bupati Merangin dengan luas sekitar 4.000 Ha dan Bupati Sarolangun seluas 1.300 Ha. Kawasan yang dimintakan izin tersebut menurut rencana akan dijadikan sebagai Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) untuk Orang Rimba. Saat ini, prosesnya sedang ditangani di Ditjen Planologi Kemen LHK.
Sementara itu, Ibu Ris dari Kementerian Sosial menyampaikan tentang program kementeriannya yang membangunkan rumah untuk Orang Rimba, yang sudah mencapai hamper 190 buah di beberapa lokasi di Kabupaten Sarolangun. Untuk 2016, menurut rencana akan kembali dibangun 25 buah rumah. Penyediaan rumah tersebut adalah permintaan dari Orang Rimba yang sebagian telah menetap, meskipun masih keluar masuk hutan secara periodik. Terkait dengan informasi adanya keluhan atas kualitas dan desain rumah tersebut, sebagaimana pernah ditemukan Komnas HAM di Sarolangun, Ibu Ris menyampaikan bahwa sebelum rumah dibangun, sudah dikonsultasikan dengan Orang Rimba.
Kementerian Sosial juga mempunyai program pendampingan terhadap Orang Rimba di Kab. Bungo sebanyak 64 KK yang telah berbaur hidup berdampingan dengan masyarakat lainnya. Meskipun telah berbaur, mereka masih menjaga dan memelihara kearifan lokal dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, juga diberikan uang jatah hidup bagi Orang Rimba sebelum bisa mandiri. Program tersebut telah berjalan selama 4 tahun dan terus dikembangkan di wilayah lainnya.
Saat ini, Kementerian Sosial sedang mengkoordinasikan usulan pembangunan permukiman dan lahan tani untuk Orang Rimba sebanyak 50 KK di Kab. Batanghari dengan luas lahan sekitar 6,7 Ha. Lahan yang dimohonkan tersebut termasuk dalam wilayah Hutan Produksi Terbatas (HPT), sehingga memerlukan proses pelepasan terlebih dahulu di Kementerian LHK.
Short link