Redaktur: Mimin Dwi Hartono
Dugaan tindak pidana kejahatan seksual terhadap anak-anak di sebuah sekolah internasional di Jakarta pada beberapa waktu yang lalu menegaskan betapa rentannya anak-anak menjadi korban pelecehan seksual ketika sedang menjalani aktivitas pendidikan.
Dalam momentum Hari Pendidikan Nasional pada 2 Mei, negara perlu menegaskan bentuk dan mekanisme perlindungan hak anak atas pendidikan. Sebagai kelompok rentan, anak-anak berhak mendapat perlindungan lebih dari negara. Negara belum menjalankan fungsinya secara maksimal dalam melindungi dan memenuhi hak anak atas pendidikan sebagaimana dijamin dalam Pasal 60 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Meski telah meratifikasi Konvensi Hak Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau Convention on the Right of the Child dalam Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, pemerintah Indonesia belum sepenuhnya mengintegrasikan pemenuhan dan perlindungan hak-hak anak dalam sistem pendidikan nasional sebagaimana diatur di dalam UU tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Padahal, konvensi tersebut seharusnya menjadi dasar dan norma untuk mewujudkan proses pembelajaran berbasis hak anak (child rights-based approach of education). Termasuk, melindungi anak-anak dari kekerasan fisik, mental, dan seksual ketika sedang dalam proses belajar di sekolah.
Pasal 3 ayat (1) Konvensi tentang Hak Anak menegaskan bahwa kepentingan terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama dalam segala tindakan terhadap anak (child's best interest), baik yang dilakukan oleh orang tua, wali, sekolah, maupun negara. Komentar Umum PBB Nomor 14 (2013) tentang Hak Anak untuk Mendapatkan Kepentingan Terbaik menyebutkan tiga prinsip yang fundamental untuk mewujudkan hak-hak anak.
Pertama, hak untuk tidak mengalami diskriminasi. Prinsip itu melarang segala bentuk diskriminasi atas penikmatan hak-hak anak. Negara harus bersikap pasif agar tidak mengganggu, mengurangi, atau menghalangi anak dalam menikmati hak-haknya. Di samping peran pasif negara, dibutuhkan tindakan proaktif dari negara untuk menjamin adanya kesempatan yang sama bagi setiap anak untuk menikmati hak-haknya.
Kedua, hak untuk hidup, bertahan, dan mengembangkan diri. Negara harus menciptakan lingkungan yang mampu menghormati martabat anak dan menjamin pengembangan diri yang holistik bagi setiap anak. Dengan demikian, anak mampu mengembangkan potensi dirinya secara bebas dan dinamis. Peran dari sekolah adalah memfasilitasi terciptanya iklim yang kondusif dalam proses pembelajaran.
Ketiga, hak untuk didengar. Negara harus menghormati hak anak untuk mengekspresikan pandangannya secara bebas. Terkadang, karena dianggap masih di bawah umur, orang tua atau sekolah atau negara mengabaikan aspirasi atau pendapat anak. Padahal, anak pada setiap jenjang umur dan tingkat kedewasaan mempunyai kemampuan untuk mengekspresikan dirinya. Semua pihak harus belajar untuk memahami ekspresi anak sebagai bagian dari hak anak untuk didengar.
Lebih lanjut, Pasal 3 ayat (3) Konvensi tentang Hak Anak menyebutkan bahwa negara berkewajiban memastikan lembaga-lembaga yang bertanggung jawab atas perawatan dan perlindungan anak dalam pendidikan agar melakukan pengawasan dalam bidang kesehatan dan keselamatan anak. Proporsi antara petugas dan anak didik harus sesuai dan seimbang, sehingga pengawasan anak dapat dilakukan secara intensif. Demikian juga dengan fasilitas keamanan dan kenyamanan yang memadai dan aksesibilitas anak terhadap fasilitas pendidikan yang aman harus dijamin dan terukur.
Lebih lanjut, menurut Komentar Umum PBB Nomor 13 tentang hak atas pendidikan, terdapat empat elemen mendasar yang harus dipenuhi negara dan sekolah dalam proses belajar-mengajar.
Pertama, ketersediaan, di mana sekolah harus tersedia dalam jumlah dan kualitas yang memadai untuk menjamin hak anak mendapatkan pendidikan yang nyaman dan aman. Misalnya, negara harus mengawasi bahwa bangunan sekolah menyediakan fasilitas sanitasi yang aman, air bersih, dan tersedianya guru yang berkualitas.
Kedua, aksesibilitas, di mana negara harus memastikan sekolah bisa diakses oleh semua orang tanpa diskriminasi.
Ketiga, penerimaan, di mana bentuk dan isi pendidikan, termasuk kurikulum dan metode pengajaran, harus dapat diterima secara budaya dan konteks lokal. Untuk itu, sekolah internasional harus menyediakan kurikulum lokal untuk menghormati konteks budaya dan kebutuhan lokal.
Keempat, kemampuan untuk beradaptasi, di mana pendidikan harus fleksibel, sehingga dapat beradaptasi dengan dinamika anak-anak dan masyarakat yang mempunyai keragaman sosial dan budaya. Sekolah internasional harus mampu beradaptasi dengan budaya dan konteks lokal dalam proses pembelajarannya dan dalam menyusun kurikulum.
Sebagai penutup, pemenuhan dan perlindungan hak-hak anak atas pendidikan bukan hanya penting untuk menciptakan mekanisme pengamanan untuk menjamin hak-hak anak agar terbebas dari berbagai bentuk kekerasan, termasuk kejahatan seksual dalam dunia pendidikan.
Hal itu juga menjamin hak-hak anak untuk mendapatkan pendidikan dan lingkungannya yang aman dan tepat, baik dalam hal proses maupun isi, yang mampu memenuhi standar pendidikan internasional dan menghormati konteks serta budaya lokal tempat sekolah tersebut berada.
Dalam hal ini, salah satu fokus program Komnas HAM pada Bagian Pendidikan adalah merumuskan, mendorong, dan mengimplementasikan Sekolah Ramah HAM (SRH) di Indonesia. Program ini saat ini masih dalam proses awal untuk membangun dan merumuskan konsep SRH melalui kegiatan workshop dan pelatihan. Diharapkan, melalui SRH ini, sekolah sebagai salah satu institusi pendidikan di tanah air bisa menjadi motor penggerak implementasi HAM dan mencetak kader-kader bangsa yang mumpuni, toleran, dan mampu bersaing secara regional dan global di tengah arus globalisasi di semua sektor, termasuk pendidikan.
Selamat Hari Pendidikan Nasional, education for all!
Short link