Komnas HAM akan menyelenggarakan workshop multi pihak dengan tema “Pengarusutamaan Nilai Nilai HAM dalam Dunia Pendidikan” di Kota Depok pada Selasa, 8 Maret 2016 dari pukul 09.00-16.00 wib. Workshop tersebut mengundang perwakilan dari Kementerian/Lembaga Negara, praktisi dan akademisi serta Lembaga Swadaya Masyarakat yang peduli dan berkomitmen bagi perubahan di bidang pendidikan termasuk persoalan HAM. Diharapkan dari workshop ini akan muncul berbagai pengalaman, informasi, ide dan gagasan yang dapat disinergikan bersama dalam rangka perbaikan dunia pendidikan dalam kerangka penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM.
Kegiatan tersebut adalah rangkaian dari program “Sekolah Ramah HAM” yang digagas oleh Komnas HAM, khususnya pada Subkomisi Pendidikan dan Penyuluhan.
Latar belakang dari kegiatan tersebut adalah berdasarkan pada fakta bahwa dunia pendidikan Indonesia pada lima tahun terakhir diwarnai oleh berbagai tindak kekerasan yang terus terulang yang dialami oleh siswa, baik dilakukan oleh guru, tenaga pendidik dan bahkan oleh sesama siswa sendiri. Kekerasan tidak hanya dalam bentuk fisik namun juga psikis dan seksual secara langsung maupun tidak langsung. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat aman dan nyaman kedua setelah keluarga, justru menjadi tempat yang tidak aman lagi bagi mereka. Sekolah memegang peran yang penting bagi anak untuk bersosialisasi, mengembangkan potensinya, bahkan menemukan jati dirinya
Dalam sebuah riset yang dilakukan oleh Plan Indonesia tahun 2011 di Kota Bogor yang melibatkan 300 peserta didik SD, SMP dan SMA, menunjukkan bahwa 15,3% peserta didik SD, 18% peserta didik SMP dan 16% peserta didik SMA, mengaku pernah mengalami kekerasan di sekolah. Dari aspek pelaku, 14,7% kekerasan di sekolah dilakukan oleh guru dan 35,3% dilakukan oleh sesama teman (Martono, 2012). Pada tahun 2013, Plan Indonesia dan International Center for Research on Women (ICRW) kembali melakukan riset yang hasilnya menunjukkan 84% anak di Indonesia mengalami kekerasan di sekolah. Angka tersebut lebih tinggi dari tren di kawasan Asia yakni 70%.
Sementara itu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada tahun 2012 juga telah merilis hasil surveinya terhadap 1.026 responden peserta didik yang menunjukkan 87,6% anak mengaku pernah mengalami kekerasan di lingkungan sekolah dalam berbagai bentuk, dimana dari angka tersebut 29,9% kekerasan dilakukan oleh guru, 42,1% dilakukan teman sekelas dan 28,0% dilakukan oleh teman dari kelas lain.
Awal lingkaran kekerasan berasal dari internal dunia pendidikan sendiri yakni pola pembelajaran yang mengedepankan kekerasan berdalih kedisiplinan dan bahkan di muat di dalam buku-buku pelajaran. Kekerasan sendiri bisa berupa tindakan, perkataan atau ucapan dan/atau tulisan yang secara langsung atau nyata dilakukan atau berupa simbolik atas kekerasan itu sendiri. Di sisi yang lain, berbagai bentuk tindak kekerasan yang terjadi di sekolah juga tidak terlepas dari adanya kebijakan yang diterapkan pelaksana pendidikan itu sendiri.
Bisa juga tindakan kekerasan dilakukan oleh anak-anak atas dorongan keinginannya sendiri, meskipun bisa dipastikan ada hal yang melatarbelakanginya sehingga anak bersikap demikian. Anak sebagai orang yang belum dewasa dan sedang dalam fase pencarian identitas diri, ingin diakui keberadaan dirinya oleh lingkungannya dan merupakan sosok peniru ulung akan dengan mudah menduplikasi segala hal yang dilihat, didengar, dan dirasakan atas perbuatan, perkataan dan sikap yang dilakukan orang dewasa disekitarnya atau melalui media yang dapat diaksesnya. Misalkan, anak yang di rumahnya seringkali mendapat perlakuan kasar dan lingkungan yang mengamini kekerasan, maka cenderung untuk melakukan hal serupa terhadap temannya di sekolah. Contoh lain lagi, maraknya tayangan televisi dan media-media sosial yang menampilkan unsur-unsur kekerasan yang pada akhirnya ditiru oleh anak-anak dan menganggap tindakan tersebut benar.
Masih banyaknya kekerasan di sekolah tersebut terjadi di tengah kebutuhan untuk menyiapkan generasi muda yang siap menghadapi situasi global seperti tuntutan agenda Sustainable Development Goals, Masyarakat Ekonomi Asean, global citizenship education, serta arus globalisasi yang kian tidak terbendung. Dalam hal ini, dunia pendidikan dan khususnya sekolah dituntut untuk membekali siswa bukan hanya aspek akademis saja, namun yang lebih penting adalah membekali karakter dan nilai-nilai nasionalis, toleransi, non diskriminasi, anti kekerasan, humanity dan juga emphaty/respect, yang merupakan nilai inti dari hak asasi manusia (HAM).
Mengkritisi fenomena tersebut diatas, diperlukan sinergitas berbagai elemen pendidikan untuk bersama-sama memetakan persoalan kekerasan dan pelanggaran HAM yang terjadi dalam dunia pendidikan untuk kemudian merumuskan bersama strategi penyelesaiannya dari berbagai unsur. Kita semua menyadari bahwa persoalan di dunia pendidikan yang cukup rumit tersebut tidak dapat diselesaikan sendiri-sendiri dan tidak terintegrasikan dengan baik, kemungkinan besar kurang memberikan dampak yang signifikan bagi penyelesaiannya. Kolaborasi dari berbagai upaya yang dilakukan oleh berbagai kalangan di berbagai wilayah cakupan akan sangat membantu bagi terwujudnya penyelesaian kondisi sekolah, kondisi pendidikan yang dalam bahasa Menteri Pendidikan dalam kondisi gawat darurat tersebut.
Salah satu strategi yang saat ini sedang dilakukan Komnas HAM adalah dengan membuat sebuah role model atau percontohan berupa Sekolah Ramah HAM dengan mempersiapkan bukan saja para pendidiknya faham akan hak asasi manusia, tetapi sekolah yang dalam hal ini diwakili oleh kepala sekolahnya juga faham hak asasi manusia serta lingkungan sekolah juga mendukung bagi pelaksanaannya termasuk kurikulum, metode pembelajaran, ekstrakurikuler, relasi, koordinasi, kebijakan dan semua hal yang saling terkait dalam penyelenggaraan pendidikan menerapkan nilai dan prinsip hak asasi manusia. Mewujudkan Sekolah yang Ramah HAM ini tidak hanya menjadi tanggung jawab sekolah saja, namun juga masyarakat baik lokal, nasional dan bahkan global serta pemerintah selaku pemegang tanggung jawab perlindungan dan pemenuhan HAM.
Hal itu sejalan dengan program prioritas dari pemerintahan Jokowi – Jusuf Kalla yang tertuang dalam Nawacita, khususnya program prioritas ke 8 yaitu melakukan revolusi karakter bangsa melalui 4 program aksi di bidang pendidikan. Komnas HAM merasa perlu untuk mendukung program tersebut melalui penerapan nilai-nilai HAM di sekolah khususnya dan dunia pendidikan pada umumnya serta membangun sinergitas dalam penerapannya. Hal tersebut sejalan juga dengan Sasaran dan Arah Kebijakan Komnas HAM yang tertuang dalam Rencana Strategis Komnas HAM 2015-2019, yakni “Meningkatkan Pendidikan HAM” bagi aparat penegak hukum, penyelenggara Negara dan masyarakat melalui pendidikan formal maupun informal.
Tema dan pembicara dalam workshop tersebut adalah :
- Fakta-fakta Persoalan dan Kekerasan di Sekolah : Pengalaman Riset dan Kajian (Jimmy Paat/ Praktisi)
- Pelanggaran HAM dan Pentingnya Penerapan Nilai-nilai HAM dalam Dunia Pendidikan (Roichatul Aswidah/ Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia)
- Konsep dan Program Revolusi Mental dalam Bidang Pendidikan (Dr. Muhammad Chozin Amirullah/ Staf Ahli Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia)
Short link