Latuharhary – Komnas HAM menghimbau agar sebaiknya persoalan kontroversi Al Maidah tidak lagi diperpanjang karena petahana sudah menyatakan permintaan maaf dan penyesalan di depan publik, dan terutama karena kemerdekaan berekspresi dan beragama harus dirawat bersama-sama, kata Koordinator Subkomisi Pendidikan dan Penyuluhan Nurkhoiron pada pers rilis yang disampaikan 13 Oktober 2016.
“Perbedaan dalam beragama tidak boleh menurunkan kualitas penikmatan hak asasi manusia warga negara. Pemidanaan yang didasarkan pasal penodaan beragama bukan tindakan bijak dan potensial menjadi pelanggaran hak asasi manusia,” jelasnya.
Lebih lanjut Khoiron menegaskan agar proses Pilkada DKI dijadikan sebagai proses yang mempersatukan perbedaan-perbedaan agama, ras, etnis dalam panggung kontestasi politik yang sehat. Oleh karena itu agar proses pilkada DKI berlangsung kondusif, Komnas HAM meminta agar semua pihak menghormati warga kota DKI menggunakan haknya untuk memilih (rights and opportunity to vote) dan dipilih (rights and oppotunity to be elected), serta menggunakan kesempatan sebaik-baiknya untuk melaksanakan hak-hak sipil politik lainnya.
“Komnas HAM jga mendukung Pilkada DKI sebagai kontestasi gagasan terbaik diantara kandidat calon gubernur dalam membangun Jakarta yang berkeadilan, demokratis, dan menghormati hak asasi manusia sebagai upaya menjalankan amanah konstitusi,” ungkapnya.
Terkait hal tersebut, lanjut Khoiron, pihaknya meminya agar media massa fokus menyampaikan secara maksimal gagasan terbaik para calon gubernur dalam upaya memperbaiki kota Jakarta. Menurutnya, media harus menyampaikan informasi bagaimana para calon gubernur DKI membangun konsep pemerintahan yang baik (good governance), perencanaan dan pelaksanaan pembangunan yang partisipatif, termasuk pengelolaan tata ruang, transportasi umum, dan pemenuhan hak-hak dasar seperti pangan, kesehatan, pendidikan dan termasuk managemen kepemimpinan demokratis.
“Masih banyak isu yang jauh lebih penting dibanding isu agama yang saat ini bergulir seperti mendorong warga menggunakan hak untuk mendapatkan informasi (transparancy and access to information) terkait masalah-masalah kongkrit yang dihadapi warga Jakarta seperti meningkatnya angka kemiskinan, pembangunan tata kota, upaya mengatasi banjir yang berdampak penggusuran, masalah transportasi publik/mengatasi kemacetan lalu-lintas, reklamasi, perlindungan terhadap kelompok minoritas, rentan/marjinal dan lain-lain,” paparnya.
Hal lain yang dipandang penting adalah mendorong warga Jakarta untuk menggunakan hak untuk terbuka dan melakukan dengar pendapat (right to fair and public hearing) agar warga pemilih mendapatkan transparansi bagaimana pemerintahan DKI menetapkan pilihan untuk memenuhi hak atas pendidikan, kesehatan, pangan, hak atas perumahan, hak berdialog saat terjadi relokasi, hak mendapatkan ganti rugi dan terutama hak untuk berpartisipasi dalam pembangunan.
“Oleh karena itu, Komnas HAM meminta semua pihak agar tidak menggunakan sentimen agama secara berlebihan dalam merayakan pemenuhan hak untuk memilih maupun dipilih di Pilkada DKI dan meminta semua pihak untuk tidak mudah menggunakan pasal penodaan agama karena pasal ini telah menjadi pasal karet dan sering digunakan untuk mempidanakan pihak-pihak yang tidak seharusnya,” katanya.
Singkat kata, warga Jakarta harus diberi kesempatan berpartisipasi aktif dalam proses Pilkada DKI. Proses demokratisasi yang sedang kita jalankan saat ini telah memberikan pelajaran kepada kita bahwa pemilihan umum/pilkada adalah perhelatan rakyat memilih pemimpinnya yang terbaik (primus interpares).
Dalam perspektif HAM, kriteria pemimpin dapat dilihat dari sejauh mana kebijakan-kebijakan yang nanti akan menjadi program pembangunannya mencerminkan setidaknya prinsip-prinsip dan norma hak asasi manusia (human rights based development) yang antara lain memiliki elemen non diskriminasi, transparan, akuntabel, memperdayakan kelompok miskin (empowering) baik dari proses perencanaan, pelaksanaan, maupun evaluasi/monitoring atas pembangunan yang dicanangkannya. Komnas HAM menghimbau seluruh komponen bangsa untuk mendorong pilkada DKI supaya membangkitkan minat warga DKI mendapatkan informasi dan pemaparan sejelas mungkin akan prinsip-prinsip ini dari para kandidat.
Pemerintah Indonesia telah meratifikasi hak sipil politik dalam kovenan hak sipil politik (ICCPR) ke dalam Undang-Undang No.12 Tahun 2005. Akan tetapi, prinsip dan norma hak asasi manusia juga dituangkan ke dalam konstitusi UUD 1945 (pasal 28a-j). Oleh karena itu, pelaksanaan pemilu seperti Pilkada DKI semestinya mencerminkan perbaikan yang terus menerus dan berkelanjutan atas pemenuhan hak-hak sipil politik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tersebut maupun diatur dalam konstitusi UUD 1945. Upaya menjalankan amanah konstitusi harus bergerak ke depan, dengan memperbaiki sistem regulasi, peraturan-peraturan dan kebijakan yang semakin memperluas penikmatan hak asasi manusia warga negara Indonesia baik hak sipil, politik, ekonomi, sosial, budaya dan hak-hak khusus lainnya. (Eva Nila Sari)
Short link