Latuharhary - Komnas HAM menyayangkan bahwa penanganan asap akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) oleh Pemerintah masih mengabaikan perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia. Hal ini ditegaskan Ketua Tim Pengamatan Situasi HAM Sebagai Dampak Bencana Asap Kebakaran Hutan dan Lahan di Pulau Kalimantan & Pulau Sumatera, Sandrayati Moniaga, pada jumpa pers di Ruang Pengaduan Komnas HAM pada Kamis, 8 September 2016.
“Pemerintah sangat lambat dan tidak menyeluruh dalam meminimalkan dampak asap akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) serta dalam memulihkan hak atas kesehatan masyarakat yang terpapar asap. Kondisi ini sebagai akibat dari lemahnya perencanaan dan identifikasi awal terutama terkait jumlah penduduk yang potensial terdampak asap dan sudah terpapar asap selama bertahun-tahun,” ungkapnya di depan puluhan jurnalis yang memenuhi ruang pengaduan Komnas HAM.
Perlu disampaikan bahwa Komnas HAM juga mencatat perkembangan positif yang telah diupayakan pemerintah melalui pembentukan Badan Restorasi Gambut dan upaya-upaya pencegahan kebakaran di lahan gambut pada beberapa lokasi. Akan tetapi upaya tersebut masih bersifat sporadik. Tumpang tindihnya kewenangan dan lemahnya otoritas serta tanggungjawab dari beberapa lembaga mengakibatkan belum adanya perbaikan yang signifikan dalam menangani karhutla meski sudah berlangsung selama 18 tahun berturut-turut.
“Ini kondisi yang ironis terlebih mengungat asap karhutla diduga kuat berdampak serius bagi kesehatan paru-paru dan jantung warga, khususnya anak-anak dan kelompok rentan (wanita hamil, lansia, dan penderita penyakit saluran pernafasan). Kita mengkhawatirkan dampak kesehatan yang ditimbulkan beberapa tahun ke depan,” sesalnya.
Komnas HAM juga menemukan bahwa hampir sebagian besar pemerintah daerah tidak memiliki kesiapan dalam menyediakan anggaran maupun sarana/prasarana yang memadai untuk menanggulangi dampak asap karhutla pada masyarakat. Pemerintah Daerah sangat lambat dan tidak menyeluruh dalam meminimalkan dampak asap dan memulihkan hak atas kesehatan masyarakat. Akibatnya, tragedi asap pada 2015 telah merenggut sekurang-kurangnya 23 nyawa dan selama 18 tahun berturut-turut, kualitas kesehatan masyarakat yang terpapar karhutla mengalami penurunan secara drastis.
“Pada konteks ini Komnas HAM menilai negara telah gagal dalam memberikan jaminan atas hak hidup sebagaimana dijamin dalam Pasal 28a UUD 1945, Pasal 4 jo. Pasal 9 Ayat (1) UU No. 39 tahun 1999 ttg Hak Asasi Manusia, hak atas kesehatan yang dijamin dalam Pasal 28h (1) UUD 1945 serta hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat yang dijamin dalam Pasal 9 (3) UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,” papar Sandra.
Meskipun telah tersedia peraturan perundangan tentang larangan karhutla, Komnas HAM menilai bahwa pola penanganan karhutla tetap berkutat pada upaya penanggulangan kebakaran dan pemadaman api, masih minim upaya preventif/pencegahan dan mitigasinya kendati karhutla sudah berlangsung selama 18 tahun dengan korban jiwa secara total mencapai ratusan orang dan kerugian sosial ekonomi yang mencapai ratusan trilyun rupiah, serta sebagian besar terjadi di wilayah yang sama yaitu beberapa provinsi di Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan.
Orientasi pada pemadaman api sesungguhnya menyalahi siklus manajemen bencana yang telah diatur dalam UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, bahwa upaya penanggulangan asap harus dilakukan dari tahap mitigasi, tanggap darurat, pemulihan, rehabilitasi, dan rekonstruksi. Oleh karena itu, fokus penanggulangan bencana seharusnya ditujukan untuk mereduksi dampak dan korban.
Oleh karena itu Komnas HAM merekomendasikan agar Pemerintah segera menyusun dan mengimplementasikan langkah perlindungan hak atas kesehatan bagi masyarakat khususnya di daerah yang wilayahnya menjadi sumber asap karhutla. Selain itu juga perlu dilakukan kajian menyeluruh dan terpadu terhadap kondisi kesehatan masyarakat yang telah terpapar asap karhutla selama kurang lebih 18 tahun sehingga diperoleh gambaran atas dampak kesehatan yang ditimbulkannya dan segera disusun serta dilakukan langkah-langkah perlindungan dan pemulihan.
Pada tahapan berikutnya adalah perlunya pembenahan peraturan perundang-undangan terkait penanganan asap karhutla sehingga berimbas pada konsep penanganan yang terencana, sistematis, dan terpadu serta berorientasi pada pemenuhan hak atas kesehatan masyarakat. Komnas HAM juga memandang perlu dilakukannya evaluasi dan pembenahan organisasi serta SOP (Standard Operating Procedure) perlindungan dan pemenuhan hak atas kesehatan dalam peristiwa asap karhutla di tingkat lokal dan nasional.
“Tak kalah penting adalah memperkuat kapasitas masyarakat dan lembaga pemerintah di tingkat lokal dan nasional dalam perlindungan hak atas kesehatan sebagai dampak dari asap karhutla. Terkait rekomendasi ini Komnas HAM akan segera mengirimkan surat ke kementerian terkait dan Presiden RI,” tegasnya.
Lemahnya Penegakan Hukum
Pada kesempatan yang sama, Sandra juga menyampaikan bahwa Komnas HAM juga mendapati kuatnya indikasi pelanggaran HAM terkait penanganan asap karhutla. “Oleh karena itu, ke depan kami juga akan fokus pada persoalan penegakan hukum berprespektif HAM dalam penanganan asap karhutla,” tukasnya.
Terkait peristiwa asap karhutla ini sesungguhnya Komnas HAM telah melakukan kajian hukum bersama Indonesia Center for Environmental Law (ICEL) pada 2016 serta pemantauan di tiga provinsi, yaitu Sumatera Selatan, Riau, dan Kalimantan Tengah pada 2015-2016.
Berdasarkan pemantauan dan kajian hukum tersebut, Komnas HAM menemukan terjadinya pengabaian hak atas kesehatan, pendekatan yang sangat teknis atau berorientasi pada pemadaman api, penegakan hukum yang diduga diskriminatif, dan peraturan perundang-undangan yang sektoral serta multi tafsir pada penanganan dampak-dampak dari karhutla terhadap masyarakat selama 18 tahun terakhir. Akibatnya, terjadi ketidakjelasan atas pihak yang paling mempunyai otoritas untuk mengkoordinasikan upaya-upaya pencegahan, penanganan, dan rehabilitasi korban dari asap karhutla.
Anggota Tim Pengamatan Situasi HAM Sebagai Dampak Bencana Asap Kebakaran Hutan dan Lahan di Pulau Kalimantan & Pulau Sumatera, Siti Noor Laila, pada kesempatan yang sama menyampaikan bahwa kajian hukum perlu segera dilakukan terkait persoalan ini.
“Harmonisasi peraturan terkait harus segera dilakukan. Hal ini guna mengatasi sejumlah persoalan yang kerap kali dihadapi di lapangan antara lain pengalokasian APBD untuk situasi bencana karena kerapkali bencana harus terjadi dulu, baru APBD bisa dicairkan. Akibatnya tidak dapat dilakukan upaya preventif untuk mencegah datangnya bencana. Pada intinya, harmonisasi peraturan ini harus segera dilakukan dalam rangka percepatan pelayanan bencana oleh pemerintah ,” urainya.
Terkait penegakan hukum pula, lanjut Laila, Komnas HAM akan menelusuri data detil korban akibat bencana ini termasuk jumlah korban jiwa. “Pasalnya angka 23 jiwa yang meninggal ini hanya data yang dilaporkan. Tidak ada angka yang pasti, penderita yang mengunjungi puskesmas dan yang tidak melapor tidak terdata dan terkompilasi dengan baik,” lanjutnya. (Eva Nila Sari)
“Pemerintah sangat lambat dan tidak menyeluruh dalam meminimalkan dampak asap akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) serta dalam memulihkan hak atas kesehatan masyarakat yang terpapar asap. Kondisi ini sebagai akibat dari lemahnya perencanaan dan identifikasi awal terutama terkait jumlah penduduk yang potensial terdampak asap dan sudah terpapar asap selama bertahun-tahun,” ungkapnya di depan puluhan jurnalis yang memenuhi ruang pengaduan Komnas HAM.
Perlu disampaikan bahwa Komnas HAM juga mencatat perkembangan positif yang telah diupayakan pemerintah melalui pembentukan Badan Restorasi Gambut dan upaya-upaya pencegahan kebakaran di lahan gambut pada beberapa lokasi. Akan tetapi upaya tersebut masih bersifat sporadik. Tumpang tindihnya kewenangan dan lemahnya otoritas serta tanggungjawab dari beberapa lembaga mengakibatkan belum adanya perbaikan yang signifikan dalam menangani karhutla meski sudah berlangsung selama 18 tahun berturut-turut.
“Ini kondisi yang ironis terlebih mengungat asap karhutla diduga kuat berdampak serius bagi kesehatan paru-paru dan jantung warga, khususnya anak-anak dan kelompok rentan (wanita hamil, lansia, dan penderita penyakit saluran pernafasan). Kita mengkhawatirkan dampak kesehatan yang ditimbulkan beberapa tahun ke depan,” sesalnya.
Komnas HAM juga menemukan bahwa hampir sebagian besar pemerintah daerah tidak memiliki kesiapan dalam menyediakan anggaran maupun sarana/prasarana yang memadai untuk menanggulangi dampak asap karhutla pada masyarakat. Pemerintah Daerah sangat lambat dan tidak menyeluruh dalam meminimalkan dampak asap dan memulihkan hak atas kesehatan masyarakat. Akibatnya, tragedi asap pada 2015 telah merenggut sekurang-kurangnya 23 nyawa dan selama 18 tahun berturut-turut, kualitas kesehatan masyarakat yang terpapar karhutla mengalami penurunan secara drastis.
“Pada konteks ini Komnas HAM menilai negara telah gagal dalam memberikan jaminan atas hak hidup sebagaimana dijamin dalam Pasal 28a UUD 1945, Pasal 4 jo. Pasal 9 Ayat (1) UU No. 39 tahun 1999 ttg Hak Asasi Manusia, hak atas kesehatan yang dijamin dalam Pasal 28h (1) UUD 1945 serta hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat yang dijamin dalam Pasal 9 (3) UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,” papar Sandra.
Meskipun telah tersedia peraturan perundangan tentang larangan karhutla, Komnas HAM menilai bahwa pola penanganan karhutla tetap berkutat pada upaya penanggulangan kebakaran dan pemadaman api, masih minim upaya preventif/pencegahan dan mitigasinya kendati karhutla sudah berlangsung selama 18 tahun dengan korban jiwa secara total mencapai ratusan orang dan kerugian sosial ekonomi yang mencapai ratusan trilyun rupiah, serta sebagian besar terjadi di wilayah yang sama yaitu beberapa provinsi di Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan.
Orientasi pada pemadaman api sesungguhnya menyalahi siklus manajemen bencana yang telah diatur dalam UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, bahwa upaya penanggulangan asap harus dilakukan dari tahap mitigasi, tanggap darurat, pemulihan, rehabilitasi, dan rekonstruksi. Oleh karena itu, fokus penanggulangan bencana seharusnya ditujukan untuk mereduksi dampak dan korban.
Oleh karena itu Komnas HAM merekomendasikan agar Pemerintah segera menyusun dan mengimplementasikan langkah perlindungan hak atas kesehatan bagi masyarakat khususnya di daerah yang wilayahnya menjadi sumber asap karhutla. Selain itu juga perlu dilakukan kajian menyeluruh dan terpadu terhadap kondisi kesehatan masyarakat yang telah terpapar asap karhutla selama kurang lebih 18 tahun sehingga diperoleh gambaran atas dampak kesehatan yang ditimbulkannya dan segera disusun serta dilakukan langkah-langkah perlindungan dan pemulihan.
Pada tahapan berikutnya adalah perlunya pembenahan peraturan perundang-undangan terkait penanganan asap karhutla sehingga berimbas pada konsep penanganan yang terencana, sistematis, dan terpadu serta berorientasi pada pemenuhan hak atas kesehatan masyarakat. Komnas HAM juga memandang perlu dilakukannya evaluasi dan pembenahan organisasi serta SOP (Standard Operating Procedure) perlindungan dan pemenuhan hak atas kesehatan dalam peristiwa asap karhutla di tingkat lokal dan nasional.
“Tak kalah penting adalah memperkuat kapasitas masyarakat dan lembaga pemerintah di tingkat lokal dan nasional dalam perlindungan hak atas kesehatan sebagai dampak dari asap karhutla. Terkait rekomendasi ini Komnas HAM akan segera mengirimkan surat ke kementerian terkait dan Presiden RI,” tegasnya.
Lemahnya Penegakan Hukum
Pada kesempatan yang sama, Sandra juga menyampaikan bahwa Komnas HAM juga mendapati kuatnya indikasi pelanggaran HAM terkait penanganan asap karhutla. “Oleh karena itu, ke depan kami juga akan fokus pada persoalan penegakan hukum berprespektif HAM dalam penanganan asap karhutla,” tukasnya.
Terkait peristiwa asap karhutla ini sesungguhnya Komnas HAM telah melakukan kajian hukum bersama Indonesia Center for Environmental Law (ICEL) pada 2016 serta pemantauan di tiga provinsi, yaitu Sumatera Selatan, Riau, dan Kalimantan Tengah pada 2015-2016.
Berdasarkan pemantauan dan kajian hukum tersebut, Komnas HAM menemukan terjadinya pengabaian hak atas kesehatan, pendekatan yang sangat teknis atau berorientasi pada pemadaman api, penegakan hukum yang diduga diskriminatif, dan peraturan perundang-undangan yang sektoral serta multi tafsir pada penanganan dampak-dampak dari karhutla terhadap masyarakat selama 18 tahun terakhir. Akibatnya, terjadi ketidakjelasan atas pihak yang paling mempunyai otoritas untuk mengkoordinasikan upaya-upaya pencegahan, penanganan, dan rehabilitasi korban dari asap karhutla.
Anggota Tim Pengamatan Situasi HAM Sebagai Dampak Bencana Asap Kebakaran Hutan dan Lahan di Pulau Kalimantan & Pulau Sumatera, Siti Noor Laila, pada kesempatan yang sama menyampaikan bahwa kajian hukum perlu segera dilakukan terkait persoalan ini.
“Harmonisasi peraturan terkait harus segera dilakukan. Hal ini guna mengatasi sejumlah persoalan yang kerap kali dihadapi di lapangan antara lain pengalokasian APBD untuk situasi bencana karena kerapkali bencana harus terjadi dulu, baru APBD bisa dicairkan. Akibatnya tidak dapat dilakukan upaya preventif untuk mencegah datangnya bencana. Pada intinya, harmonisasi peraturan ini harus segera dilakukan dalam rangka percepatan pelayanan bencana oleh pemerintah ,” urainya.
Terkait penegakan hukum pula, lanjut Laila, Komnas HAM akan menelusuri data detil korban akibat bencana ini termasuk jumlah korban jiwa. “Pasalnya angka 23 jiwa yang meninggal ini hanya data yang dilaporkan. Tidak ada angka yang pasti, penderita yang mengunjungi puskesmas dan yang tidak melapor tidak terdata dan terkompilasi dengan baik,” lanjutnya. (Eva Nila Sari)
Short link