Sesi ke-15 dari Forum Tetap PBB untuk Isu Masyarakat Hukum Adat berlangsung di Kantor Pusat PBB di New York mulai 9 Mei sampai l 20 Mei 2016, dengan tema “Masyarakat Hukum Adat: Konflik, Perdamaian dan Penyelesaiannya”. Sandrayati Moniaga, salah satu Anggota Komnas HAM, menghadiri minggu pertama dari pertemuan tersebut. Selain Indonesia, hadir pula wakil institusi nasional HAM Filipina, Malaysia, Australia, Bangladesh, Denmark dan Brazil.
Dalam kesempatan ini, Komnas HAM aktif mengikuti Sesi-sesi, Kegiatan Tambahan (Side Events), mengadakan beberapa pertemuan khusus, menyelenggarakan Side Event khusus tentang Peran Institusi HAM Nasional dan Advokasi Hak Masyarakat Adat, serta menyampaikan pernyataan (lisan dan tertulis) dalam sesi tentang Tindak Lanjut dari World Conference on Indigenous Peoples pada hari Jumat, 13 Mei 2016. Seluruh Kegiatan Tambahan (Side Events), yang diperkirakan berjumlah 60 kegiatan, diadakan oleh peserta, baik delegasi Negara, Badan PBB, organisasi masyarakat adat dan organisasi masyarakat sipil lainnya. Pertemuan khusus diadakan, antara lain, dengan Perwakilan Tetap RI, Pelapor Khusus PBB untuk Hak Masyarakat Adat, beberapa anggota Forum Tetap dan beberapa rekan Papua.
Dalam pernyataan yang disampaikan secara resmi, Komnas HAM mengapresiasi Forum Tetap, Pemerintah Republik Indonesia, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan hasil World Conference on Indigenous Peoples. Komnas HAM mencatat masih banyak dan kompleksnya permasalahan masyarakat adat di Asia, termasuk Indonesia, yang mencakup masalah penentuan siapa “indigenous peoples” ditingkat nasional, konflik hak atas tanah, paradigm pembangunan termasuk pengelolaan sumber daya alam, perbedaan pandangan ttg gender dll. Merujuk pada temuan Inkuiri Nasional Komnas HAM tentang Hak Masyarakat Hukum Adat atas Wilayahnya di Kawasan Hutan, Komnas HAM mencatat bahwa konflik-konflik tersebut telah berdampak pada pelanggaran hak asasi Masyarakat Hukum Adat.
Komnas HAM menghargai upaya-upaya konstruktif yang sedang dilakukan oleh Pemerintah RI, AMAN dan banyak pihak pendukung untuk menyelesaikan konflik-konflik yang telah mengakibatkan pelanggaran HAM tersebut di seluruh Indonesia, termasuk di Papua dan Papua Barat. Sehubungan dengan hal tersebut, Komnas HAM merekomendasikan kepada semua pihak untuk menghentikan kebijakan dan program yang telah mengakibatkan konflik-konflik tersebut; mendorong semua pihak untuk menyelesaikan konflik tentang “indigeneity” dan akar masalah lain penyebab pelanggaran HAM di banyak negara di Asia, termasuk Indonesia. Dan terakhir, Komnas HAM merekomendasikan kepada UNPFII untuk mengembangkan sistem akreditasi khusus bagi Institusi HAM Nasional sejalan dengan Resolusi Sidang Umum PBB No. A/RES/69/2 dan A/RES/70/163[1], serta mengembangkan Sesi Dialog Interaktif tentang peran Institusi HAM Nasional dalam memajukan dan menegakkan hak asasi Masyarakat Adat dalam Sesi ke16 Forum Tetap PBB untuk Isu Masyarakat Hukum Adat yang akan diadakan tahun 2017 yad.
Melalui partisipasi dalam Forum Tetap PBB untuk Isu Masyarakat Hukum Adat (UNPFII) ke15, Komnas HAM menilai bahwa UNPFII merupakan ajang penting bagi Komnas HAM dan Institusi HAM Nasional lainnya untuk mendapatkan informasi terkini tentang hak asasi masyarakat hukum adat di tingkat internasional, regional dan nasional; melakukan lobby dengan pelbagai pihak terkait isu masyarakat adat dan Institusi HAM Nasional; promosi upaya-upaya yang telah dilakukan Komnas HAM untuk isu masyarakat adat; serta pengembangan jaringan kerja dengan banyak pihak dari seluruh dunia. Forum ini sebaiknya diikuti juga oleh pegawai Komnas HAM yang mendalami isu masyarakat hukum adat untuk memaksimalkan keikutsertaannya dan kepentingan advokasi jangka panjang hak asasi masyarakat hukum adat di Indonesia oleh Komnas HAM.
Sejarah UNPFII
UNPFII dibentuk melalui resolusi Badan Ekonomi dan Sosial PBB No 2000/22, sebagai tanggapan atas tuntutan Masyarakat Hukum Adat sedunia agar PBB membentuk suatu badan tingkat tinggi yang dapat berperan dalam mendorong berkembangnya dialog-dialog dan kerjasama antara negara-negara anggota, badan-badan PBB dan masyarakat hukum adat. UNPFII mendapat mandat untuk memberikan masukan terkait masalah ekonomi, pembangunan sosial, budaya, lingkungan hidup, pendidikan, Kesehatan dan HAM.
Selain itu, Forum ini juga bertugas untuk: (1) Memberikan rekomendasi dan pendapat ahli terkait isu masyarakat adat kepada Dewan Ekonomi dan Sosial, dan juga masukan untuk berbagai program, pendanaan dan badan-badan PBB lainnya melalui Dewan tersebut; (2) Meningkatkan kesadaran dan mendorong adanya koordinasi serta pengintegrasian atas pelbagai kegiatan terkait masyarakat adat dalam sistem PBB; (3) Menyiapkan dan menyebarkan informasi terkait permasalahan masyarakat adat[2].
Forum Tetap ini memiliki 16 anggota yang bertugas dalam kapasitas pribadi untuk masa kerja tiga tahun dan dapat dipilih atau ditunjuk kembali untuk satu periode lagi. Delapan anggota diusulkan oleh pemerintah dan dipilih oleh Dewan Ekonomi dan Sosial PBB berdasarkan pengelompokan lima region (Afrika, Asia, Eropa TImur, Latin Amerika dan Karibia, Eropa Barat dan negara lainnya). Delapan anggota lainnya dinominasikan secara langsung oleh masyarakat adat dan diangkat oleh Presiden Dewan Ekonomi Sosial PBB. Calon dari masyarakat adat mewakili tujuh wilayah sosial budaya (Afrika; Asia; Amerika Tengah dan Selatan serta Karibia; Artik; Eropa Tengah dan Timur, Federasi Rusia, Asia Tengah dan Transkaukasia; Amerika Utara; dan Pasifik). Seluruh kegiatan Forum Tetap didukung oleh Sekretariat Forum Tetap yang berkantor di Kantor Pusat PBB di New York.
Sesi/pertemuan pertama dari Forum Tetap ini diadakan pada tahun 2002. Selama dua minggu sesi-sesi mereka dimanfaatkan untuk mengkaji kegiatan sistem PBB terkait masyarakat adat dan hak-hak mereka. Forum ini membahas berbagai isu terkait mandat mereka, termasuk HAM, mengidentifikasi tema spesifik sebagai kerangka kerja untuk setiap sesi yang berganti-ganti setiap tahunnya. Sejak adopsi Deklarasi PBB tentang Hak Masyarakat Adat (UN Declaration on the Rights of Indigenous Peoples – UNDRIP), Forum Tetap mengarahkan kegiatan mereka pada pelaksanaan dari Deklarasi tersebut. Dalam beberapa tahun terakhir, Forum telah melaksanakan berbagai dialog-dialog yang komprehensi dengan badan-badan PBB tertentu, program-program PBB dan pendanaan terkait kebijakan dan program mereka dalam kerangka pencapaian tujuan Deklarasi. Selain itu, Forum Tetap juga memfokuskan perhatian mereka di region tertentu setiap tahunnya.
Kehadiran Komnas HAM dalam UNPFII ke15 merupakan kehadiran perdana Komnas HAM dalam Sesi Tahunan UNPFII. Partisipasi Komnas HAM, serta wakil dari institusi HAM dari Malaysia, Filipina dan Australia) dapat diwujudkan atas dukungan Asia Pacific Forum on National Human Rights Institution (APF-NHRI). Peserta dari Indonesia lainnya adalah Perwakilan Tetap Republik Indonesia (PTRI), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Dewan Adat Papua dari Indonesia. Disamping itu beberapa individu dan organisasi masyarakat Papua dan Maluku yang berbasis di Negeri Belanda dan Amerika Serikat juga hadir. (Sandra Moniaga)
[1] Sampai saat ini, sistem akreditasi peserta Forum Tetap PBB untuk Masyarakat Adat hanya mengakomodir 3 kategori peserta, yaitu: (1) organisasi masyarakat adat; (2) NGO dengan status konsultatif dengan ECOSOC; dan (3) institusi akademik ;. Institusi HAM Nasional dianggap bagian NGO; Resolusi Sidang Umum PBB NO. A/RES/69/2 tentang Dokumen Hasil Konperensi Dunia tentang Masyarakat Adat dan Resolusi Sidang Umum PBB No. A/RES/70/163 tentang Institusi Nasional untuk Promosi dan Perlindungan HAM
[2] United Nations Human Rights Office of the High Commissioners, Fact Sheet 9/Rev. 2, Indigenous Peoples and United Nations Human Rights System, United Nations, New York and Geneva, 2013.
Short link