Mimin Dwi Hartono (Redaktur)
Delapan belas tahun sudah tragedi kemanusiaan yang terjadi pada bulan Mei 1998, terjadi. Tragedi yang telah mengorbankan jiwa manusia dan harta benda tersebut, sampai saat ini, belum ada tanda-tanda kapan ada penyelesaiannya.
Pada Mei 1998, terjadi peristiwa yang disebut dengan Tragedi Trisakti pada 12 Mei dan Kerusuhan Massal pada 13-15 Mei di Jakarta dan beberapa kota besar lainnya.
Tragedi Trisakti memakan 4 korban jiwa yang semuanya merupakan mahasiswa dari universitas Trisakti. Kejadian tersebut bermula dari protes yang dimulai pada pukul 10 siang dan diikuti lebih dari 6.000 mahasiswa, staff, dan dosen yang berkumpul di lapangan parkir Universitas Trisakti. Mereka sedang bersiap-siap untuk melakukan long march menuju gedung DPR/MPR ketika kemudian dihentikan oleh pihak kepolisian, tepatnya di depan kantor walikota Jakarta Barat. Demonstran kemudian menduduki Jalan S. Parman dan menghalangi jalur lalu lintas. Pengamanan atas aksi tersebut melibatkan kekuatan ABRI yang datang untuk membantu Kepolisian. Pada waktu itu, Dekan Fakultas Hukum, Adi Andojo, berhasil membujuk para demonstran kembali ke kampus.
Ketika waktu menunjukkan pukul 5 sore, hampir seluruh demonstran telah kembali ke area kampus Trisakti. Sesaat setelah kembali inilah, cemoohan terdengar dari kumpulan polisi dan tentara, diikuti dengan rentetan tembakan yang menyebabkan para demonstran panik dan tercerai berai. Kekacauan ini memakan dua korban jiwa, yaitu Elang Mulya Lesmana dan Hendriawan Sie yang saat itu sedang berusaha masuk ke ruangan rektorat di gedung Dr. Syarif Thayeb. Korban jiwa kembali jatuh ketika para mahasiswa yang belum mengungsi berkumpul di sebuah ruangan terbuka. Tentara-tentara yang diposisikan di atap gedung terdekat terus menembak, melukai banyak mahasiswa dan mengambil nyawa dari Heri Hartanto dan Hafidin Royan. Penembakan baru berhenti pada pukul 8 malam, dan pihak kampus bergegas membawa mereka yang terluka menuju rumah sakit terdekat.
Peristiwa kerusuhan massal 13-15 Mei 21998, adalah kemarahan publik atas tindakan brutal aparat keamanan dalam peristiwa Trisakti, yang dialihkan kepada masyarakat etnis tertentu. Amuk massa itu berlangsung sangat menyeramkan dan terjadi sepanjang siang dan malam hari mulai pada malam hari tanggal 12 Mei dan semakin parah pada tanggal 13 Mei siang hari setelah disampaikan kepada masyarakat secara resmi melalui berita mengenai gugurnya mahasiswa tertembak aparat.
Sampai tanggal 15 Mei 1998 di Jakarta dan banyak kota besar lainnya di Indonesia terjadi kerusuhan besar tak terkendali mengakibatkan ribuan gedung, toko maupun rumah di kota-kota Indonesia hancur lebur dirusak dan dibakar massa. Sebagian mahasiswa mencoba menenangkan masyarakat namun tidak dapat mengendalikan banyaknya massa yang marah.
Atas kejadian tersebut, pemerintah membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang merampungkan laporannya pada 23 Oktober 1998.TGPF menemukan fakta bahwa kerusuhan tersebut diduga mengakibatkan lebih dari seribu orang meninggal akibat terjebak dalam bangunan yang terbakar atau dibakar, ratusan orang luka-luka, penculikan terhadap beberapa orang, pemerkosaan atau pelecehan seksual terhadap puluhan perempuan yang sebagian besar dari etnis tertentu, serta ribuan bangunan dibakar.
Laporan TGPF menghasilkan delapan poin rekomendasi, tapi sebagian besar tidak ditindaklanjuti oleh pemerintah, misalnya terkait dengan rehabilitasi dan kompensasi bagi para korban ataupun pengadilan militer untuk petinggi ABRI yang diduga terlibat dan/atau membiarkan tragedi tersebut.
Salah satu rekomendasi TGPF yang ditindaklanjuti adalah Komnas HAM membentuk Tim Penyelidikan Pro-Justicia dugaan pelanggaran HAM yang berat atas Tragedi Mei. Pada 2003, Tim Penyelidikan Komnas HAM menyimpulkan adanya bukti permulaan yang cukup atas dugaan telah terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) dalam Tragedi Mei sebagaimana diatur dalam Pasal 9 UU tentang Pengadilan HAM.
Berdasarkan catatan Komnas HAM, hasil penyelidikan Komnas HAM disampaikan ke Kejaksaan Agung selaku penyidik dan penuntut pada 9 September 2003. Selain itu, Komnas HAM mengadakan pertemuan-pertemuan dengan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat agar mengeluarkan rekomendasi pembentukan Pengadilan HAM ad hoc. Berdasarkan Pasal 43 ayat (1) dan (2) UU tentang Pengadilan HAM, untuk peristiwa yang terjadi sebelum 2000, pembentukan pengadilan HAM ad hoc harus melalui rekomendasi DPR.
Pada 2008, Jaksa Agung menyatakan bahwa hasil penyelidikan Tragedi Mei belum bisa ditindaklanjuti karena pengadilan HAM ad hoc belum terbentuk. Merespons hal tersebut, Komnas HAM berpendapat bahwa penyidikan dan penuntutan dapat dilakukan tanpa menunggu pembentukan pengadilan HAM ad hoc.
Sedangkan dalam Tragedi Trisaksi, berkas penyelidikan oleh Komnas HAM dijadikan satu dengan Tragedi Semanggi I dan II, atau disebut dengan Kasus TSS (Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II). Laporan tim penyelidikan yang dikeluarkan pada bulan Maret 2002 secara jelas menyatakan bahwa ketiga tragedi bertautan satu sama lain dalam konteks kekuasaan dan kebijakan pemerintah saat itu dalam menghadapi gelombang demonstrasi yang menuntut reformasi.
KPP HAM TSS menyatakan, bahwa “…terdapat bukti-bukti awal yang cukup bahwa di dalam ketiga tragedi telah terjadi pelanggaran berat HAM yang antara lain berupa pembunuhan, peganiayaan, penghilangan paksa, perampasan kemerdekaan dan kebebasan fisik yang dilAkukan secara terencana dan sistematis serta meluas…”. Komnas HAM melalui KPP HAM TSS merekomendasikan untuk melanjutkan penyidikan terhadap sejumlah petinggi TNI/POLRI pada masa itu.
Pengabaian hak korban atas keadilan
Negara masih mengabaikan hak-hak korban atas kebenaran dan keadilan karena ketidakjelasan proses hukum seusai penyelidikan Komnas HAM. Proses hukum atas Tragedi Trisakti dan Tragedi Mei, yang mengambang dan berlarut-larut telah merugikan banyak pihak, terutama hak para korban atas keadilan dan asas persamaan di depan hukum yang menjadi inti negara hukum.
Hak korban atas keadilan dan kepastian hukum telah diabaikan oleh negara selama bertahun-tahun. Mereka tidak pernah tahu siapa yang bertanggung jawab atas Tragedi Trisakti dan Tragedi Mei yang telah merampas hak-hak asasinya, termasuk yang paling mendasar, yaitu hak untuk hidup.
Pihak yang diduga adalah para pelaku menghadapi tuduhan yang belum berdasar pada putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Berkembangnya opini publik yang menyalahkan pihak tertentu tidak bisa dielakkan karena pembiaran oleh negara selama belasan tahun.
Sedangkan masyarakat umum tidak mendapatkan hak atas informasi atas sebuah kebenaran karena tidak ada ketegasan dari negara untuk mengadili siapa yang bersalah atau bertanggung jawab dalam Tragedi Trisakti dan Tragedi Mei. Kepastian atas proses hukum kedua peristiwa sangat penting bagi masyarakat agar mengetahui fakta yang sebenarnya dan tidak menjadi beban bangsa yang berlarut.
Pemerintah ataupun presiden yang sedang berkuasa selalu akan dibayangi oleh tekanan dari dalam dan luar negeri karena dinilai tidak mau (unwilling) dan/atau tidak mampu (unable) menuntaskan Tragedi Trisakti dan Tragedi Mei. Dalam setiap sidang di Perserikatan Bangsa-Bangsa atau forum-forum internasional, ketidakjelasan status hukum Tragedi Trisakti dan Tragedi Mei akan selalu dipersoalkan, sehingga menggerus kredibilitas negara.
Presiden Joko Widodo harus melaksanakan kewajiban konstitusionalnya dalam menuntaskan proses hukum atas Tragedi Trisakti dan Tragedi Mei.
Keengganan pemerintah selama ini yang telah melewati empat masa kepresidenan, lebih merupakan alasan politis daripada persoalan substansi penyelidikan. Untuk itu, tidak bisa ditangani hanya melalui pendekatan hukum an sich, tapi juga melalui pendekatan politik. Koordinasi intensif dan konstruktif antara Komnas HAM selaku penyelidik dan Kejagung selaku penyidik harus dilakukan sebagai bentuk langkah kongkret merealisasikan janji Presiden Jokowi untuk menyelesaikan tujuh kasus pelanggaran HAM yang berat yang masih tertunggak penyelesaiannya, termasuk Tragedi Trisakti dan Tragedi Mei.
Publik berharap Presiden Jokowi berani membuka kebenaran dan menuntaskan proses hukum atas Tragedi Trisakti dan Tragedi Mei. Penundaan atas proses hukum dalam Tragedi Trisakti dan Tragedi Mei yang berlarut-larut adalah bentuk dari pengabaian hak atas keadilan yang melekat pada korban sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia dan instrumen HAM internasional yang lain. Justice delayed is justice denied!
Short link