Oleh: Mimin Dwi Hartono
Komunitas Orang Rimba yang jumlahnya diperkirakan hanya tinggal 3.600 orang, dikhawatirkan berada di ambang kepunahan (extinction), sebagai akibat tingginya tingkat keterjangkitan mereka oleh penyakit hepatitis B dan malaria. Dua jenis penyakit tersebut tergolong mematikan menurut World Health Organization (WHO).
Tingginya keterjangkitan Orang Rimba oleh kedua penyakit mematikan tersebut merupakan hasil riset Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi dan Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) selama dua bulan. Mereka menemukan bahwa 4 dari setiap 10 Orang Rimba terjangkit oleh penyakit hepatitis B dan 2 dari setiap 10 Orang Rimba terjangkit oleh malaria.
Orang Rimba adalah masyarakat adat (indigenous people) yang wajib dilindungi oleh negara karena merupakan masyarakat asli yang hidup dan tinggal turun temurun di sutau wilayah yang saat ini secara administratif berada di Provinsi Jambi. Mereka telah eksis jauh sebelum Republik Indonesia berdiri, mempunyai pranata hukum, struktur pemerintahan adat dan kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan.
Sebagaimana dimuat di Harian Kompas (13/2), tingkat keterjangkitan hepatitis B pada Orang Rimba jauh di atas rata-rata penduduk Jambi maupun Indonesia, demikian juga prevalensi atas malaria yang ratusan kali lebih tinggi. Hal ini menunjukkan adanya indikasi kuat diskriminasi dalam pelayanan hak atas kesehatan terhadap Orang Rimba.
Hasil riset tersebut bisa jadi merupakan jawaban atas kematian beruntun 14 Orang Rimba pada akhir tahun 2014 dan awal tahun 2015, yang diduga kuat terserang diantaranya oleh penyakit malaria. Tingkat kematian Orang Rimba akibat berbagai penyakit mematikan diduga cukup tinggi namun tidak dilaporkan, berdasarkan fakta bahwa populasi mereka terus menurun dari waktu ke waktu.
Selama ini, pemenuhan hak atas kesehatan bagi Orang Rimba, terabaikan. Di samping persoalan minimnya layanan serta sarana dan prasarana kesehatan bagi Orang Rimba, rentannya (vulberability) kesehatan Orang Rimba adalah karena terkurangi dan hilangnya akses mereka atas rimba yang merupakan topangan dan ruang hidup mereka. Ratusan ribu hektar rimba yang sebelumnya adalah rumah mereka, kini sebagian besar telah berubah menjadi wilayah yang eksklusif berupa taman nasional, perkebunan kelapa sawit, dan industri kehutanan dalam luasan yang sangat masif.
Pemerintah wajib untuk memenuhi dan melindungi hak atas kesehatan bagi setiap orang, terkhusus bagi kelompok minoritas dan rentan seperti Orang Rimba. Kewajiban ini tertuang di dalam Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa setiap orang berhak mendapatkan layanan kesehatan jo. 9 ayat (3) Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia, bahwa setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Orang Rimba mampu bertahan hidup (survive) dan menjalani penghidupannya dari sumber daya alam yang disediakan oleh rimba. Ketika rimba sebagai ruang hidup mereka telah diambil dan/atau rusak, maka kemampuan mereka untuk bertahan dan beradaptasi, termasuk dari serangan penyakit malaria dan hepatitis B, menurun dan hilang.
Rimba yang menyediakan berbagai macam sumber keanekaragaman hayati termasuk obat-obatan, telah punah berganti menjadi hutan monokultur (sejenis) berupa kelapa sawit, pohon akasia, dan pohon karet. Saat ini, sebagian besar dari Orang Rimba hidup di luar rimba yang selama ini menjaga dan menghidupi mereka.
Padahal, Orang Rimba tidak bisa dipisahkan dari rimba. Memisahkan mereka dengan rimba, sama artinya dengan memutus hidup, interaksi budaya, dan ritual Orang Rimba. Menurut Butet Manurung (2007), definisi Orang Rimba adalah karena asal mereka dari rimba, mereka tidak mau keluar dari rimba, dan mereka melakukan kegiatan sehari-hari berdasarkan berkah dari rimba yang menyediakan kebutuhan hidup mereka.
Kebijakan jangka pendek dan mendesak (urgent and immediate) yang harus segera diambil oleh pemerintah untuk memenuhi hak atas kesehatan bagi Orang Rimba adalah menyediakan dan memenuhi fasilitas obat-obatan dan rumah sakit yang mamadai, sesuai dengan budaya mereka (culturally appropriate), terjangkau secara ekonomi dan fisik (affordability), dan tidak diskriminatif.
Pemerintah mesti menetapkan target agar angka prevalensi Orang Rimba terhadap penyakit malaria, hepatitis B, dan penyakit mematikan lainnya, dapat diturunkan secara bertahap dan signifikan.
Lebih lanjut, akar masalah munculnya persoalan yang dihadapi oleh Orang Rimba harus ditelusuri dan diselesaikan, dengan melakukan assessment terkait dengan kebutuhan akan ruang hidup yang layak dan memadai bagi Orang Rimba sampai dengan generasi mendatang. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 telah menegaskan bahwa hutan adat bukanlah hutan negara.
Pemerintah perlu melakukan audit atas izin-izin perkebunan dan kehutanan yang telah diterbitkan di atas lahan dan hutan yang merupakan bagian dari ruang hidup Orang Rimba dan selama ini saling bersinggungan (konflik).
Beserta dengan lembaga swadaya masyarakat, pemerintah perlu melakukan konsultasi menyeluruh dengan Orang Rimba untuk mendapatkan aspirasi dan memahami kebutuhan hidup Orang Rimba, termasuk dengan melibatkan penduduk lokal dan transmigran yang beberapa kali terlibat dalam konflik dengan Orang Rimba.
Sebagai pengemban kewajiban dalam perlindungan dan pemenuhan HAM, pemerintah harus menyusun road map pemulihan hak-hak Orang Rimba dan mengimplementasikannya secara bertahap dan progresif sehingga mampu memulihkan ruang hidup dan kehidupan Orang Rimba, sehingga bisa hidup secara layak, setara, dan bermartabat (live in dignity), dengan menghormati identitas kulturalnya.
(Pernah dimuat di Harian Kompas pada Senin, 28 Maret 2016)
Short link