Oleh: Mimin Dwi Hartono
Tak terbantahkan bahwa air adalah komponen paling mendasar dan esensial bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Tanpa air, manusia tidak akan bisa bertahan hidup dalam hitungan hari, sehingga air menjadi modal paling utama untuk menjamin dan melindungi hak untuk hidup serta untuk memenuhi hak asasi manusia yang lain.
Tanpa air yang layak, bersih, dan menyehatkan, manusia tidak akan bisa mencapai tahap kesejahteraan hidup yang layak untuk tumbuh dan berkembang serta berpartisipasi dan menikmati hasil pembangunan. Pasal 11 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menegaskan bahwa setiap orang berhak atas pemenuhan kebutuhan dasarnya untuk tumbuh dan berkembang secara layak.
Sebagai komoditas yang esensial dan menyangkut hajat hidup manusia secara keseluruhan, pemerintah punya kewajiban dan tanggung jawab untuk menjamin agar air tersedia dalam jumlah dan kualitas yang baik dan dapat diakses oleh semua orang tanpa diskriminasi.
Lantas bagaimana dengan tanggung jawab dan kewajiban pemerintah dalam melindungi dan memenuhi hak asasi manusia atas air, terkait dengan momentum Hari Air Internasional pada 22 Maret?
Meskipun sebagian besar permukaan bumi terdiri atas air, hanya satu persennya yang layak dikonsumsi. Sembilan puluh sembilan persen yang lain berupa air asin dan es di kutub, yang tidak layak dikonsumsi. Ketersediaan air yang sangat terbatas tersebut semakin tidak bisa memenuhi kebutuhan manusia yang jumlahnya semakin besar yang pada tahun 2015 mencapai 7,3 milyar.
Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa, populasi dunia diperkirakan akan mencapai 8,5 miliar pada tahun 2030, kemudian sebesar 9,7 miliar pada tahun 2050, dan melampaui 11 miliar pada tahun 2100.
Manusia yang semakin bertambah menimbulkan konsekuensi semakin besarnya tingkat kebutuhan akan air yang bersih dan layak untuk hidup dan aktivitas kehidupan lainnya. Pada saat yang sama, kualitas air yang bersih dan menyehatkan semakin terbatas dan langka akibat tercemarnya air oleh aktivitas industri, kegiatan pertambangan, kegiatan rumah tangga, dan perilaku individu yang tidak bertanggung jawab.
Terjadi ketimpangan antara kebutuhan air dan ketersediaan air dalam jumlah dan kualitas yang memadai sehingga menimbulkan kompetisi perebutan sumber daya air, yang mencuatkan konflik dan kekerasan. Di sisi lain, ketimpangan ini dilihat sebagai peluang bisnis oleh sebagian pihak yang kemudian mengarah pada privatisasi air atau komersialisasi air.
Privatisasi air menjadi ancaman serius oleh karena air ditempatkan sebagai komoditas, sehingga makin menjauhkan fungsi esensial air sebagai komoditas publik. Dengan privatisasi, hanya mereka yang berkemampuan ekonomi yang bisa mengakses air. Privatisasi yang hanya bertujuan mencari profit bukan menjadi solusi bagi kelangkaan air, melainkan menjadi masalah baru dan menjerumuskan negara dalam jebakan utang yang semakin dalam. Sebanyak 114 PDAM (perusahaan daerah air minum) menanggung hutang sebesar Rp 3,2 trilyun, meskipun kemudian dihapuskan atas kebijakan pemerintah pada awal tahun 2016.
Perusahaan daerah air minum yang terjerat hutang tersebut dianggap tidak kapabel dalam mengelola dan mengembangkan sumber daya air, sehingga muncul opsi pelayanan oleh pihak swasta, sebagaimana terjadi di Jakarta oleh PT. Palyja, yang menjalin kerjasama dengan PAM Jaya selama 25 tahun sejak 1 Februari 1998.
Tarif air di Jakarta sebesar Rp 7.800/M3 termasuk yang paling tinggi dibandingkan dengan negara-negara lain, misalnya Singapura seharga Rp 3.500/M3 dan Malaysia dengan harga Rp 2.200/M3. Tingginya tarif air tersebut tidak menjamin adanya pelayanan dan kualitas air yang baik. Menurut Koalisi Air Jakarta, layanan air minum di Jakarta masih buruk dan air pun tidak bisa langsung dikonsumsi.
Secara umum, air sebagai bagian dari hak mendasar (fundamental right) semakin digeser fungsinya menjadi komoditas bisnis dan politik sehingga mengancam pemenuhan hak asasi manusia bagi 1,5 miliar jiwa manusia di dunia yang belum bisa mengakses air bersih dan 3 miliar jiwa lainnya yang tidak punya fasilitas sanitasi memadai, yang sebagian besar hidup di Benua Afrika dan Asia.
Hal ini diperparah oleh manajemen air di dunia yang sangat buruk sehingga mengakibatkan tidak efisiennya distribusi air berupa kebocoran air yang sangat besar. Di Asia, tingkat kebocoran air mencapai 42 persen, di Afrika 39 persen, di Amerika Latin 42 persen, dan di Amerika Utara 15 persen. Kebocoran air ini diduga dilakukan secara sengaja guna dijual secara ilegal untuk kepentingan memperkaya diri para pejabat yang bertanggung jawab dalam penyediaan air bersih.
Kesenjangan kemampuan ekonomi antara negara-negara Barat dan Timur juga menimbulkan ketidakadilan atas akses air yang sangat serius. Di Amerika Serikat setiap orang mengkonsumsi 158 galon air setiap hari, sedangkan di Senegal hanya 7,6 galon per orang. Artinya, konsumsi air untuk satu orang di Amerika bisa untuk delapan orang di Senegal. Pola konsumsi yang boros dan tidak fair ini pada akhirnya akan menjerumuskan pada ketidakadilan yang lain, karena perilaku sebagian kecil manusia yang boros akan sumber daya air akan ditanggung oleh sebagian besar umat manusia lainnya.
Akibatnya, penyakit yang muncul sebagai akibat kekurangan air (water shortage) dan ketidakadilan atas akses terhadap air pun semakin bertambah dan menelan korban jiwa yang semakin meningkat. Menurut laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sekitar 80 persen penyakit di dunia (kolera, disentri, hepatitis) adalah akibat manusia mengonsumsi air yang tidak memenuhi standar kesehatan.
Industrialisasi yang dipusatkan di perkotaan telah menciptakan permukiman kumuh yang sangat sulit dijangkau jaringan air bersih dan menyebabkan semakin akutnya tingkat pencemaran air. Tingkat pencemaran air di kota-kota di Asia sangat tinggi karena 90 persen limbah air langsung dibuang ke sungai tanpa proses pengolahan.
Dalam Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia, hak atas air diakomodasi dalam Pasal 24, yaitu"Negara wajib melakukan tindakan untuk memerangi penyakit dan kekurangan gizi pada anak melalui penyediaan nutrisi yang berkecukupan dan air minum yang bersih, dan juga memperhatikan bahaya dan risiko dari polusi lingkungan."
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals) 2015-2030 yang menggantikan Tujuan Pembangunan Milenium (2000-2015) menargetkan tercapainya akses air minum yang aman dan terjangkau untuk semua orang pada 2030.
Untuk itu, diperlukan langkah-langkah kongkret untuk merealisasikan tujuan SDGs tersebut di atas, baik di tingkat nasional dan internasional. Di tingkat nasional, paska dibatalkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air oleh Mahkamah Konstitusi karena bertentangan dengan UUD 1945 melalui Putusan Nomor 85/PUU-XII/2013, belum ada langkah dari pemerintah untuk menyusun regulasi baru yang berperspektif pada HAM.
Dalam Putusannya, Majelis Hakim KM menegaskan bahwa pemerintah hanya dapat memberikan izin pengusahaan air apabila penyediaan air untuk berbagai kebutuhan pokok telah terpenuhi.
Untuk itulah kiranya menjadi penting bagi pemerintah untuk mensegerakan penyusunan undang-undang yang mengatur sumber daya air yang sesuai dengan semangat UUD 1945 dan hak asasi manusia, yaitu mengatur tentang pemenuhan dan perlindungan hak atas air yang mencakup prinsip kualitas, keterjangkauan, dan ketersediaan air untuk setiap orang tanpa terkecuali.
Selain itu, adalah kebijakan untuk memproteksi sumber-sumber air yang ada yang semakin terancam oleh kepentingan pembangunan dan pertambangan. Sumber air tersebut diantaranya adalah kawasan karst (bukit kapur) yang tersebar di banyak tempat di Indonesia. Akan tetapi, kawasan karst yang berfungsi sebagai “tandon” air raksasa tersebut terancam untuk ditambang untuk kepentingan industri semen.
Oleh karenanya, proteksi atas kawasan karst menjadi mutlak, sehingga seyogianya undang-undang sumber daya air yang baru nanti tidak hanya mengatur aspek pengelolaan, akan tetapi juga perlindungan sumber-sumber air agar tetap lestari dan mampu memberikan kesejahteraan bagi masyarakat.
Short link