Latuharhary--Suasana riuh-rendah tiba-tiba hening seketika ketika suara Christina Widiantarti merendah. Senyap. Hanya terdengar satu suara dan semua yang hadir dalam ruangan langsung tertegun. Bahkan, ada juga yang mengusap matanya ketika mendengar kisah kuasa hukum dan pendamping terpidana mati asal Brasil, Rodrigo Gularte, ini ketika menjelang eksekusi mati.
Suasana diskusi kelompok terfokus (FGD) terkait hukuman mati dari perspektif etika medis dan psikologis hasil kerjasama Komnas HAM dan FIHRRST di Kantor Komnas HAM Jumat pekan lalu jadi langsung hening. Semua peserta terhenyak, beku, dan sesekali terdengar lirih suara mesin coffee maker di dalam ruangan. Suara pendingin ruangan pun jadi terdengar sangat jelas saat itu.
Dengan suara berat, Christina menceritakan pengalamannya ketika mendampingi Rodrigo di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Nusakambangan. Apa yang dia ceritakan sejatinya wajar terjadi karena siapa pun yang mengalaminya pasti akan merasakan hal serupa.
“Christina, please help.” Inilah kalimat yang terus terngiang di benak Christina ketika Rodrigo mengetahui segala upayanya terhindar dari eksekusi mati gagal. Kesedihan pun terus menyelimuti pendamping terpidana mati yang dieksekusi pada 28 April tahun ini.
“Jangan khawatir, jangan menangis,” kata Christina meniru Rodrigo ketika menenangkan dirinya yang kalut saat itu.
Selain itu, Christina juga berkisah tentang kondisi kejiwaan Rodrigo ketika tahu eksekusi mati tak bisa dihindari. Menurut dia, terpidana kasus narkoba ini mengalami gangguan kejiwaan akibat tekanan yang dihadapinya. Hal ini dibuktikan dengan hasil pemeriksaan psikiater yang menjelaskan kondisi kejiwaan yang terganggu.
Kejaksaan Agung melalui Polda dan Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah meresponnya dengan memeriksa kondisi kesehatan dan kejiwaan Rodrigo. Menurut berita yang dilansir kompas.com, Jaksa Agung HM Prasetyo saat itu menyatakan memiliki bukti jika Rodrigo Gularte bukan penyandang penyakit kejiwaan. Eksekusi di hadapan regu tembak pun akhirnya tetap dilaksanakan terhdap warga negara Brasil ini.
Psikolog Nani Nurrachman dan Tika Bisono membenarkan tentang dampak dari besarnya tekanan mental yang dihadapi oleh seseorang. Tekanan mental yang dialami oleh terpidana mati yang menunggu eksekusi pasti sangat besar. Besarnya tekanan mental tersebut bisa menyebabkan gangguan kejiwaan pada seseorang.
“Besarnya tekanan mental bisa menyebabkan seseorang mengalami gangguang kejiwaan,” ujar Tika Bisono.
Dampak Psiko-sosial
Kesedihan mendalam bukan hanya hinggap pada diri Christina. Menurut dia, beberapa petugas dari kejaksaan juga turut menangisi Rodrigo ketika eksekusi di depan regu tembak tinggal hitungan jam saja. Para petugas dari kejaksaan ini juga tersentuh ketika mereka tahu ajal seseorang bakal segera datang. Sangat manusiawi.
Petugas kejaksaan tentunya berinteraksi tak terlalu lama dengan para terpidana mati seperti yang dialami para penjaga Lapas. Para petugas Lapas ini memiliki keintiman tersendiri dengan terpidana mati. Lamanya waktu menunggu eksekusi mati dilaksanakan membuat mereka sangat dekat dan mengenal satu sama lain dengan baik. Eksekusi mati menyebabkan trauma tersendiri bagi petugas Lapas yang berada di lokasi.
“Kesehariannya sudah seperti keluarga dan mereka tertekan,” ujar Wahiddi dari Kemenkum HAM
Menurut Wahiddi, eksekusi mati membuat petugas lapas yang sudah berinteraksi sangat lama dengan terpidana mengalami trauma dan tersiksa mentalnya. Petugas Lapas mengetahui keseharian terpidana ketika berada di penjara dan tahu rutinitas masing-masing karena tingginya interaksi di antara mereka.
“Hukuman mati memberi tekanan psikologis kepada orang yang bergelut di dalamnya,” paparnya.
Psikolog Tika Bisono membenarkan penjelasan mengenai tekanan psikologis yang dialami petugas menjelang eksekusi mati dilaksanakan. Orang-orang yang pernah berinteraksi atau bersinggungan dengan terpidana mati, kata Tika, wajar jika mengalami goncangan dan merasa tertekan ketika mengetahui rencana eksekusi mati.
Tika menambahkan, goncangan dan tekanan mental yang dialami oleh mereka bisa jauh lebih menyakitkan dari hukuman mati itu sendiri. Aspek atau dampak psiko-sosial merupakan pekerjaan paling berat dari seluruh proses eksekusi terpidana mati.
“Stakeholder perlu cek psikologi dan hal itu merupakan hak mereka dan wajib untuk dilakukan,” tegasnya.
Lamanya waktu untuk eksekusi mati akibat banyaknya tahapan di dalamnya. Menurut Andi Iqbal dari Kejaksaan Agung, peraturan perundang-undangan yang berlaku mengatur cukup rinci terkait proses atau tahapan sebelum terpidana dihadapkan di depan regu tembak. Semua proses atau tahapan tersebut tak bisa ditinggalkan. “Aturan hukumnya harus diubah,” tegasnya.
Dampak psiko-sosial ini menyerupai konsep penjara panoptik Jeremy Bentham. Filsuf Perancis, Michael Foucault, menyebut hal ini sebagai suatu bentuk dari hukuman. Hukuman yang tak menyentuh badan, tapi “menyerang” sistem kesadaran. Arief Setiawan
Short link