Sekretariat Komnas HAM di Provinsi

Workshop Dialog Sosial Rangkul Stakeholders Tuntaskan Sengketa Ketenagakerjaan Kalimantan Barat

Kalimantan Barat adalah provinsi yang perputaran ekonominya masih didominasi sektor perkebunan. Sesuai data dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi Kalimantan Barat, terdapat 371 perusahaan perkebunan aktif di mana 366 perusahaan bergerak di sektor perkebunan kelapa sawit. Berkaitan dengan hal ini tidak hanya isu agraria yang masih menjadi topik hangat, namun juga isu ketenagakerjaan mengingat buruh merupakan mitra penggerak sektor tersebut. “Dialog sosial penting dibangun mengingat temuan di lapangan membuktikan bahwa masih banyak perusahaan yang tidak paham akan perundingan bipartite dan tripartite,” jelas Agus Sutomo selaku Direktur Eksekutif Lembaga Teraju Indonesia dalam Workshop Tripartite: Menyikapi Perselisihan Melalui Dialog Sosial yang diadakan di Hotel Golden Tulip Pontianak (Selasa, 25/03/2025).

Dalam diskusi ini hadir sebagai narasumber antara lain Direktur Eksekutif Lembaga Teraju Indonesia, Kepala Sekretariat Komnas HAM Provinsi Kalimantan Barat, Kepala Bidang Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Disnakertrans Provinsi Kalimantan Barat, Kepala Bidang Penyuluhan, Pengolahan, dan Pemasaran Pembinaan Usaha Perkebunan Dinas Perkebunan dan Peternakan Provinsi Kalimantan Barat, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Kalimantan Barat, dan Ketua Federasi Serikat Buruh Kebun Sawit Kalimantan Barat.

Penyebab banyaknya perselisihan antara buruh dengan perusahaan karena adanya hak-hak pekerja yang tidak dipenuhi, antara lain tidak didaftarkannya buruh dalam jaminan sosial tenaga kerja, struktur dan skala upah tidak direalisasikan, tidak dibayarkannya Tunjangan Hari Raya (THR), tidak dibayarkannya pesangon, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak, dan lain-lain. Salah satu upaya penyelesaian adalah melalui perundingan bipartit antara serikat buruh dan perusahaan. Namun, jika tidak tercapai kesepakatan dapat diselesaikan melalui perundingan tripartite yang difasilitasi mediator Disnakertrans kota/kabupaten. Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) merupakan upaya terakhir jika mediasi tidak tercapai kesepakatan. “Peran Disnakertrans Provinsi Kalimantan Barat adalah memberikan pelayanan, menetapkan pelaksanaan kebijakan, pengawasan, dan penindakan perusahaan yang abai terhadap peraturan ketenagakerjaan”, ungkap Pitter Bonis selaku narasumber dari Disnakertrans Provinsi Kalimantan Barat.

Hal ini sejalan dengan tanggung jawab negara yaitu dengan mengeluarkan regulasi di mana hak-hak pekerja dapat diakomodir atau dipenuhi. Tidak hanya itu, koorporasi juga bertanggung jawab menerbitkan peraturan perusahaan yang ramah terhadap hak-hak pekerja khususnya kelompok rentan, menetapkan proses pemulihan, dan lain-lain. Artinya, bisnis dan HAM merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan. Bisnis dan HAM merupakan salah satu isu prioritas Komnas HAM di mana Komnas HAM telah menyusun Standar Norma dan Pengaturan (SNP) Nomor 13 Tentang Bisnis dan HAM yang berisi norma dan aturan dari level nasional hingga internasional yang dapat diimplementasikan di Indonesia sebagai pedoman bagi pemerintah, pekerja, dan perusahaan.

“Di Kalimantan Barat sendiri, selama tahun 2024 kami menerima 44 pengaduan di mana 13 teradu dugaan pelanggaran HAM adalah koorporasi,” jelas Nelly Yusnita selaku narasumber dari Sekretariat Komnas HAM Provinsi Kalimantan Barat. Isu ketenagakerjaan menduduki posisi kedua teratas berdasarkan data pengaduan Sekretariat Komnas HAM Provinsi Kalimantan Barat. Peran Komnas HAM dalam hal ini adalah mendorong dan memastikan negara dan perusahaan untuk menyelesaikan permasalahan ketenagakerjaan.

Penyelesaian sengketa ketenagakerjaan juga menghadirkan tantangan tersendiri, yaitu serikat pekerja kurang paham tentang alur penyelesaian bipartite, tripartit, dan PHI, kurangnya staf mediator di Disnakertrans kota/kabupaten setempat, perusahaan tidak melaksanakan anjuran dan atau penetapan yang dikeluarkan Disnakertrans, dan lain-lain. Tantangan tidak hanya dialami negara dan pekerja, namun juga GAPKI Kalimantan Barat. “Kurangnya transparansi di GAPKI, adanya conflict of interest di mana anggota GAPKI masuk dalam manajemen perusahaan, dan adanya dugaan gratifikasi”, jelas perwakilan GAPKI Kalimantan Barat.

Menutup jalannya workshop, Lembaga Teraju Indonesia selaku penyelenggara mecatat empat rekomendasi. Pertama, melakukan join monitoring antara Lembaga Teraju Indonesia, Federasi Serikat Buruh Kebun Sawit Kalimantan Barat, dan GAPKI Kalimantan Barat. Kedua, hasil monitoring tersebut ditindaklanjuti sebagai bentuk itikad baik dengan prinsip berkelanjutan. Ketiga, agar pemerintah dapat memasukkan buruh perkebunan kelapa sawit ke rencana aksi daerah perkebunan kelapa sawit dari tingkat kabupaten hingga tingkat provinsi. Keempat, merumuskan peraturan daerah tentang pemenuhan dan perlindungan hak-hak buruh. (LA)