
Banda Aceh - Pada 12 Januari 2025, Sekretariat Komnas HAM di Provinsi Aceh melaksanakan fungsi Pemajuan HAM dengan Kepala Sekretariat, Sepriady Utama menjadi Pemateri dalam kegiatan Pendidikan Paralegal yang diselenggarakan oleh Yayasan Advokat Rakyat Aceh (YARA) bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Jabal Ghafur. Dalam kegiatan yang berlangsung di Kota Sigli tersebut, Sepriady Utama didampingi oleh Penata Mediasi Sengketa HAM Ahli Pertama, Yacub Ubaidillah.
Dalam presentasinya dipaparkan definisi Hak Asasi Manusia, Pelanggaran HAM dan kategorisasi hak yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM serta Pelanggaran HAM Berat serta Tempat Kedudukan dan Kewenangan Pengadilan HAM berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Sepriady juga menjelaskan mengenai pengaturan tentang pembatasan hak, dimana dalam kondisi tertentu, hak-hak asasi manusia yang tidak termasuk non-derogable rights dapat dilakukan pembatasan dan pengurangan semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap HAM serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa.
Selain tentang instrumen-instrumen HAM, baik itu instrumen HAM nasional maupun instrumen HAM internasional, kedudukan negara dalam sistem HAM serta tanggung jawab negara dan kewajiban negara dalam HAM, juga disampaikan tentang apa itu Komnas HAM, fungsi dan tugas Komnas HAM, serta kewenangan Komnas HAM terhadap kasus-kasus yang terjadi di masyarakat.
Para peserta sangat antusias untuk menanyakan berbagai permasalahan HAM yang terjadi, baik itu peristiwa yang terjadi di sekitar maupun peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM yang mendapat perhatian dari media dan publik. Beberapa hal-hal yang ditanyakan oleh peserta antara lain: pertanggungjawaban komando dalam peristiwa penembakan yang dilakukan aparat penegak hukum; perspektif hukuman mati menurut HAM; adanya pandangan bahwa HAM bertentangan dengan nilai-nilai agama; dan kasus-kasus seperti apa yang merupakan kewenangan Komnas HAM.
Menanggapi beberapa pertanyaan dari peserta, Sepriady menjelaskan dengan bahwa tanggung jawab/hukum dapat dikenakan kepada komandan militer atau atasan sipil atas kejahatan yang dilakukan oleh pasukan atau bawahannya sepanjang komandan atau atasan gagal melakukan pengendalian terhadap pasukan atau bawahannya, dan disertai dengan bukti-bukti dan unsur-unsur yang harus dipenuhi seperti pertanggungjawaban komando dan atasan, “mens rea” dan unsur materiil lainnya.
Mengenai pandangan HAM yang identik bertentangan dengan nilai-nilai agama, Sepriady menekankan bahwa pada dasarnya HAM justru sejalan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam agama, misalnya dalam Islam dan HAM sama-sama mengandung prinsip-prinsip dasar tentang persamaan, kebebasan dan penghormatan terhadap sesama manusia. Ini dapat dilihat pada Piagam Madinah Tahun 622 dan Perjanjian Hudaibiyah Tahun 628.
Di akhir kegiatan, Sepriady menjelaskan bahwa
pada prinsipnya Komnas HAM tidak boleh menolak pengaduan dari masyarakat. Dalam
menjalankan kewenangannya, Komnas HAM mengedepankan prinsip imparsialitas dan
asas persamaan kedudukan di depan hukum (equality
before the law), asas praduga tak bersalah (presumption of innocent). “Untuk
kasus-kasus yang menjadi perhatian publik serta menimbulkan korban, Komnas HAM
dapat menindaklanjutinya tanpa harus adanya pengaduan dari masyarakat”, ungkap
Sepriady. (YU/SML)