Kantor Perwakilan

Program Sekolah Ramah HAM, Untuk Siapakah?

Banda Aceh – Program Sekolah Ramah HAM, untuk Siapakah? Pertanyaan tersebut selalu muncul dalam diskusi di setiap sesi Diseminasi Sekolah Ramah HAM (SRHAM) di Aceh, tidak terkecuali pada Diseminasi SRHAM (Sesi IV) yang diperuntukkan bagi lingkup Kantor Kemenag Kota Banda Aceh dan Aceh Besar.

Diseminasi SRHAM Sesi IV yang diselenggarakan pada 5 November 2024 ini merupakan sesi akhir dari Kegiatan Diseminasi SRHAM di Aceh yang digelar oleh Kantor Komnas HAM Aceh pada tahun 2024, bertempat di Kantor Komnas HAM Aceh. Kali ini Kantor Komnas HAM Aceh mengundang 14 orang peserta yang berasal dari Kantor Kemenag Kota Banda Aceh (1 orang), Kantor Kemenag Kabupaten Aceh Besar (1 orang), serta para Kepala Sekolah dan Guru dari MTsN 2 Banda Aceh (2 orang), MTsN 4 Aceh Besar (2 orang), MTsS Keutapang Dua (2 orang), MAN 1 Banda Aceh (2 orang), MAN 2 Banda Aceh (2 orang), dan MAN 5 Aceh Besar (2 orang).

Sebelumnya, Diseminasi SRHAM Sesi I telah dilaksanakan pada tanggal 30 September 2024 yang diperuntukkan bagi lingkup Dinas Pendidikan Aceh, kemudian Sesi II dan III pada tanggal 29 s.d. 30 Oktober 2024 menargetkan lingkup Dinas Pendidikan Dayah Kota Banda Aceh dan Dinas Pendidikan Dayah Kabupaten Aceh Besar.

Diseminasi SRHAM Sesi IV dibuka oleh Kepala Kantor Komnas HAM Aceh dan paparan disampaikan oleh Kasubbag Umum, Cut Ernawati. Dalam paparan tersebut disampaikan materi mengenai pengertian HAM, macam-macam bentuk pelanggaran HAM, bullying/perundungan, dan penjelasan tentang Program Sekolah Ramah HAM. Program SRHAM merupakan program yang digagas Komnas HAM RI dalam rangka menjalankan fungsi pemajuan HAM sebagaimana yang diatur dalam Pasal 89 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia tersebut. SRHAM adalah sebuah sekolah yang mengintegrasikan nilai-nilai HAM sebagai prinsip-prinsip inti dalam organisasi dan pengelolaan sekolah, di mana nilai atau prinsip HAM menjadi pusat atau ruh dari proses pembelajaran dan pengalaman serta hadir di semua sendi-sendi kehidupan sekolah tersebut.

Sama halnya seperti Diseminasi SRHAM Sesi I, II, dan III, pada Sesi IV ini peserta dari Kemenag juga sangat aktif mengikuti kegiatan. Pertanyaan yang selalu hadir di tiap sesi tersebut pun tidak luput dari pertanyaan, “Program Sekolah Ramah HAM ini diperuntukkan untuk siapa? Murid atau Guru?”, atau pertanyaan “Apakah HAM hanya ada untuk siswa, tidak untuk Guru?, “Mengapa Guru selalu dianggap sebagai Pelaku Pelanggaran HAM?”, serta pertanyaan-pertanyaan lainnya termasuk pertanyaan bagaimana sekolah dapat menerapkan aturan pendisiplinan yang  tepat bagi siswa/i dan tidak melanggar HAM.

Menanggapi hal tersebut, Sepriady menyampaikan bahwa HAM diperuntukkan untuk semua orang. Hal ini telah disebutkan dalam definisi HAM pada Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan bahwa “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahkluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.

Lebih lanjut disampaikan Sepriady bahwa siapapun dapat menjadi pelaku pelanggaran HAM atau pelaku perundungan dan kejahatan lainnya di sekolah, tidak hanya guru, namun juga siswa/i, orang tua/wali, kepala sekolah, ataupun oknum lainnya. Senada dengan pernyataan tersebut, Cut Erna juga kembali mengulang materi yang telah dipaparkan sebelum diskusi tanya/jawab dimulai, yaitu mengenai bentuk-bentuk pelanggaran HAM dan siapa saja yang dapat menjadi pelaku pelanggaran HAM, serta perlunya sosialisasi mengenai aturan-aturan sekolah kepada orang tua/wali ketika masa penerimaan siswa baru. Hal ini disampaikan sebagai salah satu bentuk antisipasi agar tidak ada pemahaman yang salah dari orang tua/wali siswa/i mengenai penerapan aturan pendisiplinan yang kerap kali dianggap melanggar HAM.

Sepriady juga menambahkan, bahwa penerapan aturan pendisiplinan di sekolah/madrasah diperbolehkan selama masih dalam batas wajar, bukan merupakan tindak pidana, dan tidak dapat dibenarkan hukuman yang bersifat fisik. Oleh karena itu, dengan adanya program SRHAM ini diharapkan mampu menyelesaikan persoalan pelanggaran HAM di sekolah/madrasah yang kompleks dan multi dimensi serta meminimalisir terjadinya pelanggaran HAM di sekolah/madrasah seperti kasus-kasus perundungan, kekerasan seksual maupun intoleransi.

Dalam Closing Statement-nya, Sepriady menyatakan bahwa Komnas HAM bersedia dilibatkan dalam kegiatan ataupun sosialisasi yang diadakan oleh Kemenag baik provinsi maupun kabupaten/kota, dan madrasah-madrasah di Aceh, serta dapat menjadi narasumber apabila dibutuhkan dalam memberikan penyuluhan mengenai HAM, SRHAM, dan Bullying/Perundungan. Pernyataan tersebut menjawab harapan-harapan dari para peserta kegiatan dan dianggap merupakan salah satu solusi agar HAM dapat dipahami oleh setiap orang dan diharapkan dapat meminimalisir terjadinya pelanggaran HAM di sekolah/madrasah ke depannya. (SML/YU)