Banda Aceh - Kepala Komnas HAM Aceh, Sepriady Utama menyampaikan pentingnya Kolaborasi Dalam Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat di Aceh. Hal ini disampaikannya melalui webinar dengan tema “Pelanggaran HAM di Aceh, sudah selesaikah penyelesaiannya?” yang dilaksanakan oleh Forum Mahasiswa Aceh Dunia (FORMAD) pada 15 Oktober 2024. Turut hadir narasumber lainnya dalam kegiatan ini adalah Ketua Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh, Mastur Yahya dan Komisioner Komnas HAM periode tahun 2012-2017, Otto Nur Abdullah atau yang juga dikenal dengan Otto Syamsuddin Ishak.
Sepriady mengawali pemaparannya dengan menerangkan 4 (empat) Hak-Hak Korban Pelanggaran HAM yang Berat sesuai dengan Standar Norma dan Pengaturan (SNP) Nomor 9 tentang Pemulihan Hak-Hak Korban Pelanggaran HAM yang Berat, yaitu Right to know the truth (hak untuk mengetahui kebenaran), hak atas reparasi, hak atas keadilan, dan jaminan tidak berulang.
Terkait mekanisme
penyelesaian Pelanggaran HAM yang Berat Sepriady menerangkan ada dua mekanisme
yaitu Mekanisme Yudisial yang diatur melalui Pasal 4 UU No 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan HAM dan Mekanisme Non Yudisial yang diatur melalui Pasal 47 UU
No 26 Tahun 2000 dan Keppres Nomor 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak
Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu. Untuk Mekanisme Yudisial. Komnas HAM,
sebagai penyelidik, telah menyelesaikan 4 (empat) kasus Pelanggaran HAM yang
Berat dan hasil penyelidikan tersebut telah diserahkan ke Kejaksaaan
Agung.
Menanggapi pertanyaaan salah peserta diskusi mengenai kendala yang dihadapi dalam Penanganan Kasus Pelanggaran HAM yang Berat di Aceh. Sepriady Utama menjelaskan bahwa masalah pertanggungjawaban atas pelanggaran HAM yang berat masa lalu merupakan salah satu isu yang sangat pelik dan dibutuhkan kolaborasi dan sinergitas dari berbagai pihak dalam mendorong percepatan penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang berat. Apabila dikaitkan dengan model penyelesaian, ada tiga model penyelesaian, yaitu Pertama, “to Forget and to forgive” (Melupakan dan memaafkan: artinya tidak ada pengadilan dan lupakan masa lalu), Kedua, “Never to forget, never to forgive”, (Tidak melupakan dan tidak memaafkan). Ketiga, Never to forget but to forgive” (Tidak melupakan, tetapi kemudian memaafkan).
Mengenai hal tersebut, Otto Syamsuddin Ishak juga memberikan tanggapan bahwa penyelesaian pelanggaran HAM yang berat khususnya di Aceh memerlukan energi dan nafas yang panjang. Hal ini dikarenakan memudarnya perhatian masyarakat Aceh terhadap sejarah/history masa lalu yang terjadi di Aceh. Selanjutnya, Mastur Yahya menyampaikan bahwa saat ini KKR Aceh sudah mengumpulkan data 5000 korban pelanggaran HAM yang berat, dan data tersebut telah dimuat dan dibukukan di dalam buku yang berjudul “Peulara Damèe” atau Merawat Perdamaian.
Di akhir kegiatan, Sepriady juga menegaskan bahwa Komnas HAM tidak terlibat pada pembangunan Memorial Living Park (di lokasi Rumoh Geudong) yang dalam beberapa hal dianggap menghilangkan barang bukti. Namun, sebelum dilakukan pembangunan Memorial Living Park tersebut, Komnas HAM telah merekomendasikan, bahwa living park tersebut harus bisa menggambarkan memorialisasi bagi generasi yang akan datang dan dapat menjadi catatan peristiwa/sejarah dari apa yang terjadi di tempat tersebut pada masa lalu. Selain itu Komnas HAM meminta pemerintah menjaga bukti-bukti (tulang belulang) yang ditemukan pada lokasi proyek pembangunan Memorial Living serta berharap Jaksa Agung selaku penyidik pelanggaran HAM berat melakukan uji forensik, termasuk tes DNA, guna memastikan identitas korban dengan keluarga yang masih ada (YMC/YU)