Sekretariat Komnas HAM di Provinsi

Pentingnya Hukum Acara Peradilan HAM Bagi Para Advokat di Aceh

Banda Aceh-Kepala Komnas HAM Aceh, Sepriady Utama menyampaikan pentingnya pengetahuan Hukum Acara Peradilan HAM bagi para advokat dalam menjalankan fungsinya sebagai penegak hukum. Hal ini disampaikan Sepriady pada kegiatan Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala dengan Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN PERADI) pada 5 Oktober 2024.

Dalam paparannya, diterangkan tentang Pelanggaran HAM yang Berat, dan apa yang membedakannya dengan Pelanggaran HAM dan Tindak Pidana Umum. Sebagai pengadilan yang bersifat khusus dan terbatas, jurisdiksi Pengadilan HAM berdasarkan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM adalah memeriksa, mengadili dan memutus (perkara) Pelanggaran HAM yang Berat. Untuk saat ini telah ada Pengadilan HAM (pada Pengadilan Negeri) Jakarta Pusat, Surabaya, Makasar dan Medan berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 31 Tahun 2001.

Terkait dengan Pelanggaran HAM yang Berat, Sepriady menjelaskan bahwa Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM memang tidak mendefinisikan pengertian istilah Pelanggaran HAM yang Berat, tetapi mengelompokkan Pelanggaran HAM yang Berat dalam dua jenis kejahatan, yaitu kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang merupakan international crimes dengan konsekuensi bahwa penerapan jurisdiksi pidana pelaku kejahatan demikian merupakan kewajiban semua negara (erga omnes). Kedua kejahatan tersebut dapat diadili oleh Pengadilan Pidana Internasional atau Pengadilan Adhoc Pidana Internasional.

Sebelum masuk ke Hukum Acara, Sepriady menjelaskan secara ringkas hukum materil mengenai unsur-unsur umum dan unsur-unsur pidana dari kedua kategori Pelanggaran HAM yang Berat tersebut. Misalnya, untuk unsur umum, dijelaskan apa yang dimaksud dengan (1) Salah satu perbuatan; (2) dilakukan sebagai bagian dari serangan; (3) serangan dan unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk dapat disebut sebagai serangan dan (4) syarat meluas atau sistematis yang ditujukan kepada penduduk sipil.

Mengenai Hukum Acara Peradilan HAM, hal tersebut diatur dalam UU Pengadilan HAM yang terdiri dari 8 (delapan) bagian, antara lain: Umum (terkait dengan ketentuan yang menyebutkan bahwa sepanjang tidak diatur dalam UU 26/2000 maka berlaku KUHAP), Penangkapan [Pasal 11], Penahanan [Pasal 12-17], Penyelidikan [Pasal 18-20], Penyidikan {Pasal 21-22], Penuntutan [Pasal 23-25], dan Sumpah [Pasal 26], serta Pemeriksaan di Sidang Pengadilan [Pasal 27 -33].


Sepriady juga menerangkan bahwa mekanisme penyelesaian terhadap Pelanggaran HAM yang Berat adalah Pengadilan HAM. Untuk Mekanisme Yudisial, Komnas HAM, sebagai penyelidik, telah menyelesaikan 4 (empat) kasus Pelanggaran HAM yang Berat dan hasil penyelidikan tersebut telah diserahkan ke Kejaksaaan Agung.

“Komnas HAM selalu mengingatkan kepada semua pihak untuk memperhatikan serta mengedepankan prinsip-prinsip HAM pada setiap operasi/tindakan apapun dalam penanganan konflik bersenjata” terang Sepriady dalam menanggapi salah satu pertanyaan peserta yang berhubungan dengan konflik bersenjata internal.

Salah satu peserta juga menanyakan bagaimana jika peristiwa Pelanggaran HAM yang Berat terjadi sebelum UU Pengadilan HAM disahkan. “Apabila kasus Pelanggaran HAM yang Berat terjadi sebelum disahkannya UU Pengadilan HAM, maka sebagaimana ketentuan yang diatur dalam Pasal 43 Ayat (1) UU Pengadilan HAM, kasus Pelanggarasn HAM yang Berat tersebut diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM Ad Hoc yang bertujuan untuk mengadili pelaku pelanggaran HAM yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000”, tegas Sepriady. Selain mekanisme yudisial, penyelesaian Pelanggaran HAM Berat masa lalu dapat diselesaikan secara non judisial melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagaimana tersebut pada pasal 47 ayat (1) Undang-undang Pengadilan HAM. (YMC/YU)