Banda Aceh – Wakil Duta Besar Australia untuk Indonesia Stephen Scott, didampingi Sekretaris Bidang Politik, Ashton Papazaharialus, melakukan kunjungan kehormatan (Courtesy Call) ke Komnas HAM Perwakilan Aceh pada tanggal 13 November 2023, dan diterima langsung oleh Kepala Komnas HAM Perwakilan Aceh, Sepriady Utama bersama Kasubbag Umum, Cut Ernawati, Analis Kebijakan, Eka Azmiyadi, dan Penata Mediasi Sengketa HAM, Sari Melati. Turut hadir juga dalam pertemuan tersebut Ketua Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh, Masthur Yahya, dan Komisioner KKR Aceh, Yuliati.
Sepriady Utama menyambut
baik kunjungan Wakil Duta Besar Australia untuk Indonesia tersebut. Pertemuan dengan
Komnas HAM Perwakilan Aceh dan KKR Aceh merupakan salah satu rangkaian dari kunjungan
Wakil Duta Besar Australia untuk Indonesia ke Provinsi Aceh, yaitu ke Banda
Aceh, Sabang, dan Lhokseumawe dari tanggal 13 hingga 17 November 2023. Dalam
kesempatan tersebut, Stephen Scott memperkenalkan diri dan berdiskusi tentang
isu-isu HAM di Provinsi Aceh serta membahas kerjasama antara
Indonesia-Australia yang relevan. Selain itu ia mengungkapkan bahwa pertemuan
ini juga dimaksudkan untuk mendengar dan mengetahui lebih dalam tentang
Pelanggaran HAM yang Berat di Aceh dan kompleksivitas penyelesaiannya.
Menanggapi hal tersebut, Sepriady
menyampaikan bahwa penyelesaian pelanggaran HAM berat di Aceh diselesaikan
dengan menggunakan dua mekanisme. Pertama, mekanisme yudisial berdasarkan
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, dan kedua, mekanisme
non yudisial. Kedua mekanisme tersebut saling melengkapi. Sebagai informasi,
melalui Inpres Nomor 2 Tahun 2023, pemerintah saat ini sedang melaksanakan
Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM yang berat. Ditambahkan pula oleh Sepriady, secara
institusi Komnas HAM, sebagaimana yang disampaikan oleh Ketua Komnas HAM Atnike
Nova Sugiro menyambut baik sikap Presiden atas adanya pengakuan terhadap 12
peristiwa pelanggaran HAM yang berat. Apalagi komitmen pemulihan terhadap
korban pelanggaran HAM berat tersebut dilaksanakan tanpa menegasikan mekanisme
yudisial. Untuk konteks Aceh, ada tiga peristiwa pelanggaran HAM yang berat
yang diakui oleh pemerintah, yaitu Pereristiwa Simpang KKA, Rumoh Geudong dan
Jambo Kepok. Ketiga peristiwa tersebut telah diselidiki oleh Komnas HAM secara
projustisia, dan berkasnya telah diserahkan kepada Jaksa Agung.
Komnas
HAM juga telah menyampaikan rekomendasi kepada Pemerintah antara lain mengenai
adanya rumusan yang jelas tentang definisi korban sesuai peraturan perundangan
yang berlaku, adanya jaminan bahwa dalam proses tetap akan melindungi korban,
dilakukan dengan penuh kehati-hatian agar tidak menimbulkan retraumaisasi,
serta memberi kesempatan kepada korban untuk mendapatkan hak mereka.
Dalam kesempatan tersebut, Ketua KKR Aceh, Masthur Yahya yang turut hadir dalam pertemuan tersebut turut memberikan pernyataan terkait Peran KKR Aceh dalam Pelanggaran HAM yang Berat di Aceh sesuai dengan mandatnya. Sejak tahun 2017 hingga 2020, terdapat sekitar 5196 orang data korban pelanggaran HAM yang telah didata oleh KKR, namun KKR tidak berwenang untuk menentukan bahwa korban tersebut merupakan korban pelanggaran HAM yang Berat atau bukan, KKR hanya mendata para korban termasuk korban pada masa konflik di Aceh.
Selanjutnya
Masthur juga menyampaikan bahwa sejak diakuinya tiga Pelanggaran HAM yang Berat
di Aceh tersebut, KKR berkoordinasi dengan Tim PPHAM dan Komnas HAM dengan
memberikan data tambahan mengenai korban, untuk tiga kasus yang diakui
pemerintah maupun kasus Pelanggaran HAM yang Berat yang tengah diselidiki oleh
Komnas HAM, seperti untuk peristiwa Bumi Flora.
Mengenai isu HAM Aktual di Aceh, Sepriady menerangkan bahwa terjadi pergeseran isu HAM, dari semula terbatas isu hak sipil dan politik, bergeser kepada isu hak ekonomi sosial dan budaya. Untuk saat ini Komnas HAM Perwakilan Aceh juga sedang menangani kasus yang berdimensi Konflik Agraria dan Sumber Daya Alam serta Bisnis dan HAM. (SML/YU/SP)