Banda Aceh, Kepala Komnas HAM Perwakilan Aceh, Sepriady Utama menjadi pemateri/narasumber dalam diskusi publik dengan tema "Peluang dan Tantangan Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM yang Berat di Aceh". Selain Sepriady narasumber lain yang hadir adalah H. M Nasir Jamil yang biasa disapa Bang NJ (Anggota Komisi III DPR RI) dan Tgk. H. Irawan Abdullah (Anggota Komisi I DPRA). Diskusi publik ini diselenggarakan oleh Pengurus Daerah Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Banda Aceh, Sabtu, 19 Agustus 2023 di Aula Dinas Syariat Islam Aceh.
Sepriady dalam paparannya menjelaskan
secara teknis terkait dengan definisi HAM, pelanggaran HAM, pelanggaran HAM
yang berat, proses dan perkembangan penyelidikan yang sedang dan telah
dilakukan sesuai dengan peran dan kewenangan Komnas HAM dalam kasus-kasus
pelanggaran HAM yang berat di Indonesia serta lebih khusus di Aceh. Sepriady
menyebut bahwa Komnas HAM menyambut baik inisiasi pemerintah yang membuka
peluang penyelesaian pelanggaran HAM berat melalui mekanisme non yudisial dan mengapresiasi
langkah dan upaya pemulihan hak-hak korban yang dilakukan Pemerintah. Namun
demikian, dorongan dan penguatan terhadap instrumen dan mekanisme penyelesaian
yang komprehensif harus terus dilakukan untuk mempercepat penyelesaian
kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat di Indonesia termasuk di Aceh.
Lebih lanjut, Sepriady menerangkan
bahwa Komnas HAM saat ini telah menyelesaikan penyelidikan terhadap empat
peristiwa pelanggaran HAM yang berat di Aceh yaitu Peristiwa Rumoh Geudong, Peristiwa
Simpang KKA, Peristiwa Jamboe Keupok dan Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa
di Bener Meriah dan Aceh Tengah. Hasil
penyelidikan telah diserahkan kepada Jaksa Agung selaku Penyidik. Komnas HAM
berharap seluruh elemen bekerja sama dalam mendukung percepatan penyelesaian
kasus pelanggaran HAM yang berat di Aceh sesuai dengan peran masing-masing
tanpa menafikan mekanisme kontrol sebagai bagian dari checks and balances dalam pelaksanaan fungsi kelembagaan baik di
Komnas HAM maupun di lembaga legislatif (DPR RI dan DPRA).
H. M Nasir Jamil menjelaskan dalam
paparannya bahwa meskipun tantangan dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM
yang berat di Indonesia lebih besar dibandingkan peluangnya, namun mahasiswa
dan seluruh masyarakat tetap harus optimis akan penyelesaian kasus-kasus
tersebut. Hal itu dapat dilihat dari
adanya instrumen hukum yang tersedia yaitu UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan
UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Nasir juga mengapresiasi
penyelesaian non yudisial yang diinisiasikan oleh Pemerintah meskipun
menyesalkan terkait dengan adanya Surat Edaran kemendagri yang meminta Pemda
untuk memfasilitasi/penganggaran dalam pemulihan hak korban.
Sementara itu Tgk. H. Irawan Abdullah
menerangkan bahwa selama ini peran DPRA hanya bersifat koordinatif lintas
lembaga yang terkait dengan penyelesaian kasus pelanggaran HAM di Aceh yaitu
antara KKR Aceh dan BRA. Irawan menyebut bahwa saat ini terdapat persoalan
terkait dengan SOTK KKR Aceh dengan BRA dan ini menjadi salah satu hambatan
penyelesaian pelanggaran HAM yang berat di Aceh, karenanya dorongan ormas dan ormawa
justru menjadi salah satu peluang yang sangat besar dalam rangka mempercepat
penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat di Aceh. (EA/YU/SP)